103
Dafka dan Gista saling pandang saat melihat Geya yang terus mengecek ponselnya, seolah menunggu pesan dari seseorang.
“Lo ngapain bolak-balik buka hp sih?” tanya Gista penasaran karena biasanya Geya tidak bertingkah aneh seperti ini.
Geya mematikan ponselnya lalu meletakannya di meja kantin. “Ngecek jam.”
Dafka menunjuk jam dinding yang sengaja di tempel di dinding dekat mereka bertiga duduk. “Itu ada jam, ngapain lihat di hp.”
Dafka dan Gista tertawa pelan saat Geya diam, gadis itu terlihat kebingungan harus menjawab seperti apa. “Nanti dia datang, tunggu aja,” ujar Gista lembut.
Dafka mengambil tasnya lalu menyenggol lengan Gista. “Ayo, balik, lo mau nugas di perpustakaan kan, gua ikut ya.”
“Lah, iya gua mau nugas.” Gista mengambil tasnya dan bangkit. “Lo di sini sendiri gak papa, Ya?”
Geya mengangguk mantap. Dia sudah besar, tidak masalah ditinggal sendiri di kantin seperti ini. “Gak papa, pergi aja gih, tugas lo jangan sampai telat dikumpulin.”
“Maaf ya, Ya. Gua sama Dafka duluan, ya.” Gista melambaikan tangannya lalu segera berjalan keluar kantin bersama Dafka.
Geya menghela napas pelan saat melihat kedua punggung sahabatnya itu perlahan menghilang.
Jujur hari ini dia merasa agak kesal karena Auriga yang tiba-tiba menghilang dan dia yang terpaksa ditinggal Dafka dan Gista ke perpustakaan.
Tiba-tiba ada sebuket bunga yang diletakan di mejanya. Bunga itu benar-benar indah.
“Beautiful flowers for beautiful girl.” Suara berat milik seorang pemuda yang dia kenali sebagai mantan kekasihnya selama satu minggu itu berhasil membuat gadis itu mengangkat wajahnya agar bisa menatap si pemilik suara.
Auriga tersenyum manis lalu duduk di sebelah Geya. “Gua memohon maaf sebesar-besarnya karena buat lo nunggu. Tadi bunga ini telat datang ke toko, jadi, gua tungguin sebentar, eh, malah gua yang telat ketemu lo,” jelas pemuda itu tanpa diminta. “Jadi, gua dimaafin nggak, ya?”
“Terus kenapa pesan gua gak dibales?” tanya Geya dengan nada kesal. Sepertinya dia benar-benar kesal karena Auriga yang tiba-tiba menghilang tadi.
Pemuda itu tertawa canggung. “Takut dimarahin lo.” Auriga memasang wajah sok imut agar Geya merasa iba. “Jangan marah, ya, Eya.”
Geya menghela napas pasrah kemudian mengangguk. Dia tersenyum manis sampai pemuda yang melihatnya itu ikut tersenyum. “Iya, nggak marah, udah jangan sok imut gitu.”
Auriga menatap lamat wajah gadis itu lalu menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangannya. “Lo manis banget, gua nggak kuat.”
Geya tertawa gemas karena tingkah Auriga. “Lo gemes banget sih.” Setelahnya mengusap pelan rambut tebal pemuda tampan yang tengah mengisi hatinya saat ini. “Jadi suka deh.”