11
Perempuan yang lebih tua tiga tahun itu meletakan teko berisi air dingin dan gelas di meja ruang tamu. “Teman-temanya Abi, ya?” tanyanya sambil tersenyum manis.
“Iya, Mbak, kita juga teman sekelasnya di sekolah.” Galih mengangguk seraya tersenyum, wajah kakak Abi benar-benar mirip seperti Abi.
“Panggil Mbak Aya aja.” Perempuan itu tersenyum lalu duduk di sofa kosong yang berada di sana. Dia melirik ke arah dapur di mana Abi tengah mencuci beberapa piring yang kotor. Setelah memastikan Abi tidak akan datang mendekat, Mbak Aya mulai berbicara. “Kalian beneran temannya Abi?”
Sahya mengerutkan keningnya, merasa bingung karena pertanyaan dari Mbak Aya terdengar seperti meragukan kalau mereka teman Abi. “Maaf, tapi kenapa Mbak nanya kayak gitu ya?”
Mbak Aya menggeleng kemudian tersenyum senang. “Saya pikir Abi bohong tentang dia yang punya teman di sekolah, ternyata nggak.”
Batara dan Khalil saling tatap, mereka menyadari apa yang terjadi sekarang.
“Kalau boleh tanya lagi.” Mbak Aya berucap menggantung. “Abi di sekolah baik baik aja kan?”
Kelima pemuda itu saling tatap, bingung merespon seperti apa. Akhirnya Hussain bersuara, mewakilkan yang lainnya. “Maksudnya gimana, Mbak?”
Raut wajah Mbak Aya berubah drastis. Wajah yang sebelumnya terlihat senang mendadak jadi murung. “Beberapa kali saya temuin Abi pulang dalam keadaan babak belur. Dia... gak di-bully kan?”
Sahya menelan ludahnya kasar. Dia harus menjawab seperti apa jika sudah begini. Haruskah dia mengatakan kalau Abi dipukul Angga beberapa hari lalu di rooftop? Atau haruskah dia mengatakan kalau Abi di cap sebagai anak miskin belagu oleh warga sekolah?
Hussain menarik napas dalam. “Abi gak di-bully kok, Mbak. Abi anak baik.”