12
“Hai, Geya,” sapa Auriga dengan suara lembut, membuat Radeva dan Dafka yang mendengarnya begidik ngeri.
“Ya, halo,” balas Geya singkat. Gadis itu tengah fokus mengerjakan tugasnya dan terlihat enggan untuk diajak bicara.
Auriga memasang wajah cemberut karena Geya sibuk dengan tugasnya. “Geya.”
Gadis yang namanya dipanggil itu berdecak pelan. “Apa?”
“Auriga modusnya jelek banget, payah,” celetuk Gista yang tengah memakan cheesecake miliknya. Ucapannya barusan mengundang tawa dari Radeva dan Dafka, sedangkan pemuda itu hanya menggeram kesal.
“Geya kok lihatin kertas—”
“Lo mau ngomong apaan cepet,” potong Geya cepat karena Auriga yang terus bicara tidak jelas.
“Percuma cantik kalo gak bisa dimiliki.” Auriga tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Matanya fokus menatap gadis yang duduk tepat di seberangnya.
Sadar jika itu merupakan apa yang dari tadi ingin diucapkan Auriga, gadis itu dengan cepat menegakkan tubuhnya. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Kata siapa? Nyoba aja belum.”
Ucapan Geya barusan membuat semua orang di sana terkejut. Mereka menatap Geya dan Auriga bergantian, menunggu salah satu dari mereka membuka mulut kembali.
Pemuda dengan hoodie hitam itu tersenyum lebar. “Ayo coba,” ajaknya dengan semangat.
“Oke.” Geya mengangguk setuju dengan ajakan Auriga, tidak ada salahnya menerima ajakan itu bukan.
Auriga menyisir rambutnya dengan tangan. “Taman kota jam tujuh, first date.”
“Iya. Jangan ngaret.” Geya kembali mengerjakan tugas kuliahnya yang menumpuk, mengabaikan teman temannya yang kebingungan.
Gista, Radeva, dan Dafka saling pandang kemudian menghela napas berat. “Anjir segampang itu?” tanya Gista bingung.
“Pawang buaya ketemu buaya begini jadinya.” Dafka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Geya dan Auriga bukan kombinasi yang bagus.
“Aneh emang.” Radeva menghela napas berat. Mau tidak mau dia harus ikut terlibat dengan permainan Auriga lagi.