120
“Ayo pulang.” Auriga berdiri di hadapan Geya kemudian memakaikannya jaket yang sengaja dia bawa. “Dingin banget, ya, di sini? Kita pulang sekarang, ya.”
Dapat Geya lihat wajah pemuda itu yang khawatir padanya dan itu membuat hatinya menghangat. Pemuda itu dengan telaten memakaikannya jaket dan berusaha memastikan dia merasa hangat. Sesaat kemudian, Auriga merangkulnya dan mengajaknya berjalan menuju mobil pemuda itu yang terparkir tepat di depan halte.
“AC-nya perlu gua matiin?” tanyanya begitu mereka ada di dalam mobil. Dia mengambil selimut yang ada di kursi belakang lalu menyelimuti Geya dengan itu. “Kalau masih dingin dimatiin aja AC-nya, ya.”
“Iya, makasih, Auriga.” Geya mengangguk seraya tersenyum manis pada pemuda yang pernah menjadi kekasihnya itu.
Auriga yang melihat senyum manis Geya malah ikut tersenyum. Melihat senyum gadis itu selalu membuatnya ikut tersenyum. “Sama-sama, Eya. Kita pulang sekarang, ya.”
“Kita gak mau jalan-jalan dulu?” tanya Geya cepat, dia benar-benar malas jika harus pulang sekarang karena di rumah tidak ada siapa-siapa.
Kening Auriga berkerut bingung. “Ini hujan, lo gak mau langsung pulang aja? Apa lagi lo kedinginan,” jawabnya sedikit tidak setuju dengan pertanyaan gadis itu. Sebenarnya bisa saja dia mengiyakan ucapan gadis itu, tapi perlu diingat jika gadis itu sedang kedinginan karena hujan, lebih baik tidak mengambil kesempatan itu dibanding melihat pujaan hatinya sakit bukan.
“Gua malas pulang, di rumah gak ada orang.” Geya menjawab pelan lalu memalingkan wajahnya menuju jendela.
Auriga menoleh pada gadis itu lalu menghela napas pelan. Otaknya terpaksa berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia mengulum bibirnya, merasa ragu untuk bertanya pada gadis cantik itu. “Mau ke rumah gua dulu? Ada bunda gua di rumah.”
Geya sontak menoleh ke arah Auriga kemudian menggeleng cepat. “Jangan, gua gak enak ngerepotin lo terus. Anter gua pulang aja, gua gak papa di rumah sendiri.”
Auriga tersenyum sampai matanya membentuk sabit. “Gak ngerepotin kok. Gua yang kenapa-napa kalau biarin lo di rumah sendiri,” balasnya lalu mengusap rambut panjang Geya lembut.
“Assalamualaikum.” Auriga membuka pintu rumah keluarga Bimantara dan mempersilakan Geya masuk. Mereka berjalan beriringan ke dalam rumah. “Duduk dulu aja, gua panggil Bunda sebentar.”
Geya mengangguk lalu berjalan menuju sofa di ruang tamu. Dia menatap takjub ruang tamu keluarga ini, banyak sekali foto-foto masa kecil Auriga dan beberapa foto keluarga yang sengaja ditata rapih di lemari.
“Oh, ini yang namanya Geya.” Bunda Auriga berjalan mendekat ke arah Geya lalu tersenyum ramah. “Cantik banget, pantes si Auriga klepek-klepek,” lanjutnya sambil tertawa pelan.
Bunda Auriga berbalik menghadapa anak sematawayangnya itu kemudian memukul bahunya pelan. “Bikin teh sana, kasihan ini Geya kedinginan,” suruh Bunda sambil tertawa kecil.
“Bunda kalau lihat cewek cantik, anaknya dilupain,” balas Auriga sambil berjalan ke arah dapur untuk membuat teh. Sesekali mencuri pandang pada Geya yang sedang asik mengobrol dengan Bunda.
“Teh hangat buatan Aa Auriga udah jadi.” Auriga meletakan segelas teh itu di meja ruang tamu kemudian duduk di sebelah Bunda. “Kalau gak manis, lihat senyum gua aja,” ucapnya sambil tertawa.
Geya yang mendengar candaan Auriga langsung tertawa. Bukan hanya karena candaannya, tapi juga karena tawa pemuda itu yang menurutnya sangat lucu. “Lo lucu banget sih.”
Auriga yang melihat tawa Geya langsung menyembunyikan wajahnya dibalik tubuh Bunda. “Geya, gemes banget,” ucapnya dengan suara bergetar karena salah tingkah.