145
Geya berjalan cepat turun menuju ruang tamu. Senyumnya mengembang begitu melihat Auriga tengah duduk di ruang tamu dengan kantung pelastik berwarna merah berukuran sedang di hadapannya.
Pemuda tampan itu menoleh ke samping saat merasakan seseorang berjalan mendekat ke arahnya. “Berhenti di situ!” perintah Auriga memberhentikan Geya yang tinggal beberapa langkah darinya. “Diem di situ dulu, gua mau ngomong.”
Auriga menarik napas dalam, mendadak gugup. Dia berani bersumpah jika ini merupakan momen paling menegangkan sepanjang hidupnya. Dia mengulum bibirnya lalu berucap, “Gua yakin lo udah baca suratnya. Gua cuman mau ngomong beberapa hal aja.”
Pemuda itu kembali menarik napas dalam. “Gua gak tau gimana caranya ngutarain perasaan yang bener, tapi gua cuman mau bilang kalau gua merasa nyaman saat bareng lo dan gua ngerasain apa itu cinta saat bareng lo. Gua tau pertemuan kita memang terhitung singkat, tapi cinta itu gak bisa dihitung dari seberapa lama lo kenal orang itu kan. Ini mungkin kedengaran agak alay, tapi gua suka lo dari awal pertemuan kita di koridor waktu itu.”
Auriga tertawa pelan mengingat kejadian di koridor beberapa bulan lalu, pertemuan awal mereka berdua. Dia tersenyum lembut pada gadis pujaan hatinya itu. “Gua gak tau gimana bilang ini ke lo, tapi gua bener-bener cinta sama lo. Every day I fall in love with you more and more.”
Pemuda itu mengambil kantung pelastik yang tadi dia bawa kemudian menatap Geya lagi. “Kalau lo terima perasaan gua dan bersedia untuk jadi pacar gua, ambil kantung ini, kalau lo gak terima dan gak bersedia jadi pacar gua, lo bisa ninggalin gua di sini sendiri dan balik lagi ke kamar lo.”
Geya meneguk ludahnya gugup, perasaannya menjadi campur aduk setelah mendengar pengakuan dari Auriga barusan. Dia menatap kantung pelastik yang dipegang Auriga dan pemuda itu bergantian. Jantungnya berdegup kencang, apakah pilihannya ini benar atau tidak.
Geya mengambil satu langkah mundur, membuat Auriga yang sedari tadi memperhatikannya menahan napas. Apa dia akan ditolak?
Tiba-tiba tubuh pemuda itu terhuyung kebelakang saat Geya tiba-tiba memeluknya. Gadis itu mengambil kantung yang dipegang Auriga lalu meletakannya di meja, kemudian melingkarkan tangannya di tubuh tegap milik pemuda itu.
Auriga yang sudah sadar dari keterkejutannya langsung membalas pelukan gadis yang berstatus sebagai kekasihnya beberapa detik lalu itu dengan erat. Dia terus menggumamkan kata terima kasih sambil mengusap lembut kepala Geya.
Geya melonggarkan pelukannya dan mendongakan kepalanya agar dapat menatap wajah Auriga. “Makasih, ya, udah mau jujur tentang perasaan lo dan mau memperjelas hubungan kita,” dia berujar sambil tersenyum manis.
“Harusnya gua yang bilang terima kasih. Makasih udah mau terima perasaan gua.” Auriga tersenyum kemudian mencium kening Geya lembut, menyalurkan rasa cinta dan terima kasihnya pada gadis itu.