15. “Aku ikut hancur”

Dengan napas yang masih terengah, Juna menatap sekelilingnya dengan seksama guna mencari keberadaan Adena di pemakaman itu.

Perempuan itu tidak berada di makam Juan, tapi botol air mawar dan bunga-bunga yang baru ditabur menunjukkan kedatangan Adena tadi.

Juna beralih menuju ruangan penjaga makam yang berada tak jauh dari sana. Dia bertanya pada salah satu pengurus makam yang ada di sana apakah dia melihat Adena atau tidak. Pengurus makam itu mengatakan jika Adena sudah pergi dari sana sejak jam dua belas dan sekarang sudah pukul 16.40, artinya sudah kurang lebih empat jam Adena pergi dari sana.

Juna mengucapkan terima kasih kemudian kembali ke mobilnya. Jarinya mengetuk-ngetuk kemudi di hadapannya sembari otaknya berpikir cepat ke mana Adena pergi. Dia memutuskan untuk menyusuri sepanjang jalan dari pemakaman menuju rumah Adena, barangkali menemukan perempuan itu sedang berjalan di trotoar.

Baru setengah jalan, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan adanya telepon masuk. Juna menepikan mobilnya dan langsung mengangkat panggilan itu.

“Juna,” panggil Adena dengan suara sengau.

Juna membulatkan matanya. Akhirnya Adena menghubunginya. “Kamu di mana, Adena? Kasih tahu aku, jangan bikin khawatir.”

Adena terisak pelan. “A-aku gak tahu ini di mana. Tolong….”

Share location kamu, Na. Aku ke sana sekarang.” Juna dengan cepat memakai seat belt-nya dan langsung menuju lokasi Adena ketika perempuan itu mengirimkan lokasinya.

Sepanjang jalan itu Juna tidak mematikan panggilan telepon mereka. Sesekali dia mengajak bicara Adena untuk memastikan perempuan itu masih di sana.

“Sial.” Juna mengumpat pelan ketika air hujan mulai turun secara perlahan. Dia melirik ponselnya. “Adena, kamu cari tempat berteduh, sekarang hujan. Jangan sampai kehujanan.”

“Tapi di sini gak ada tempat yang bisa dipakai untuk neduh.”

Juna menjilat bibir bawahnya sekilas. “Ya udah, tahan sebentar aku ke sana secepatnya—”

“Jangan ngebut, Juna,” potong Adena cepat. Napas perempuan itu terdengar memburu. “Jangan ngebut, aku gak mau kehilangan kamu juga.”

Juna terdiam sesaat sampai akhirnya berdeham sebagai balasan. Dia merasa senang Adena merasa takut kehilangannya.

Sesampainya di sana, Juna langsung menepikan mobilnya. Dia mengambil payung dan segera keluar menjemput perempuannya yang tengah berjongkok di sebuah jembatan. “Maaf aku lama, ayo kita pulang.”

Adena bangkit dan dipapah menuju mobil Juna. Lelaki itu mematikan AC mobilnya dan memberikan selimut pada Adena. Dia bahkan melepas jasnya dan memakaikannya pada Adena agar perempuan itu merasa hangat.

“Kamu tidur aja kalau capek. Aku punya kunci cadangan rumahmu dari Bang Juan,” ucap Juna dengan lembut setelah memakaikan seat belt Adena.

Juna melajukan mobilnya memecah jalanan kota sore itu. Dia sesekali melirik ke arah Adena yang terlelap di sampingnya. Saat lampu merah, dia menyempatkan dirinya menggenggam tangan perempuan itu yang terasa dingin. “Jangan kayak gini lagi, aku ikut hancur.”