164

Alma memencet bel rumah bercat abu-abu muda yang ada di hadapannya. Beberapa menit kemudian seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu sambil tersenyum. Itu Mama Laskar.

“Alma, ya? Sini masuk.” Mama Laskar membukakan pintu pagar dan mempersilahkan alma masuk. “Tadi ke sini sama siapa? Sendiri?” tanyanya ramah.

Alma mengikuti Mama Laskar masuk ke dalam rumah. “Sama teman, Tante, tapi dia langsung pulang.”

“Oalah. Kalau gitu langsung ke kamar Laskar aja, ya, kamarnya ada di lantai dua, di pintunya ada namanya kok. Kayaknya dia masih tidur, kamu langsung masuk aja, ya.” Mama Laskar tersenyum seraya mengusap bahu Alma. “Tante ke dapur dulu, ya, mau masak cuci piring dulu, udah numpuk soalnya.”

“Iya, Tante.” Alma mengangguk kemudian tersenyum sekali lagi pada Mama Laskar sebelum akhirnya berjalan ke lantai dua, kamar Laskar.

Dia berjalan pelan mencari pintu kamar Laskar lalu memutar gagang pintunya pelan agar si penghuni kamar tidak terganggu. Mama Laskar benar, pemuda itu masih tidur sekarang. Gadis itu berjalan pelan mendekat ke ranjang Laskar. Tangannya terulur memegang kening pemuda itu, panas.

“Lo tuh ngeyel banget sih, udah dikasih tau Dafi jangan ke rumah gua semalam, tapi gak nurut,” omel Alma pada Laskar walau dia yakin Laskar tidak mendengar ucapannya karena masih tertidur.

Dia membenarkan selimut Laskar kemudian mengusap kepalanya hati-hati. “Bangun dong, gua penasaran lo mau ngomong apa semalam.”

Tiba-tiba Laskar memegang tangan Alma yang tengah asik mengusap kepalanya kemudian digenggam erat. Perlahan matanya terbuka menampilkan mata yang memerah khas orang sakit. “Alma,” panggilnya dengan suara serak.

Bukannya menjawab panggilan dari Laskar, Alma malah mengambil gelas berisi air yang berada di meja nakas kemudian memberikannya pada Laskar. “Minum dulu, tenggorokan lo kering kayaknya.”

Alma membantu Laskar untuk duduk kemudian membiarkan pemuda itu meminum habis air di gelas. “Lo mau ngomong apa tadi?” tanyanya begitu Laskar selesai minum.

Laskar maju dan menyenderkan kepalanya di bahu Alma. Pemuda itu hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Beberapa detik kemudian dapat Alma rasakan bahunya basah, Laskar menangis di bahunya.

“Laskar, lo gak papa?” tanya Alma khawatir. Dia benar benar khawatir sekarang, apa laskar kesakitan hingga dia menangis?

“Jangan pergi sama langit,” ujarnya parau. “Jangan pergi sama langit. Jangan tinggalin gua, Alma. Jangan.”

Alma mengusap kepala belakang Laskar, mencoba membuat pemuda itu lebih tenang. “Gua cuman nemenin dia beli bahan praktek, Laskar. Jangan takut kayak gitu.”

“Tapi dia mau ngambil lo dari gua.”

“Ya, emangnya kenapa kalau dia mau ngambil gua dari lo? Gua kan bukan milik lo,” ujar Alma santai, tapi setengah menyindir.

Laskar semakin menangis ketika mendengar ucapan Alma, bahkan kini tangannya melingkar di pinggang Alma, memeluk gadis itu erat seolah takut kehilangan. “Jangan ngomong gitu.”

Alma memutar matanya malas. “Sekarang mending lo berhenti nangis, kita omongin ini dengan benar.”

Dengan enggan Laskar melepas pelukannya kemudian mundur kembali ke posisi semula. Dia menatap Alma yang wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Gua rasa gua bakal omongin ini sekarang.” Alma menarik napas dalam. “Jujur gua pengen banget anjing-anjingin lo. Lo selalu bertingkah seolah gak mau kehilangan gua, tapi lo juga selalu nolak perasaan gua.”

Gadis itu menatap Laskar tepat di matanya. Mata gadis itu memancarkan kesedihannya. “Lo pikir perasaan gua ini apa, Laskar? Pelarian? Kalau lo emang mau nolak gua sekiranya kasih gua alasan yang jelas. Lo bahkan gak pernah kasih gua alasan.”

Gadis itu menunduk sambil menggigit bibir bawahnya menahan tangis. “Sekarang menurut lo, kalau gua berpaling ke Langit itu salah. Di lain sisi lo bahkan gak pernah ngehargain perasaan gua.”

“Maaf, Alma. Gua gak pernah bermaksud kayak gitu.” Langit menatap sendu Alma. “Sekarang biarin gua jelasin semua yang lo mau, Alma.”

“Alma, gua suka lo dari pertama kali kita ketemu. Bukan saat MOS, tapi jauh sebelum itu. Gua gak yakin lo inget ini atau nggak, kita pernah ketemu di pinggir jalan dekat sekolah lo dulu. Lo nolong gua yang hampir aja keserempet mobil.” Laskar tersenyum lembut ketika melihat wajah terkejut Alma. “Awalnya gua berpikir kalau kita gak akan ketemu lagi, tapi ternyata nggak. Gua malah satu sekolah sama lo, bahkan satu kelas sampai sekarang.”

“Kalau lo juga suka gua, kenapa lo selalu nolak gua?” tanya gadis itu bingung.

Lasar tersenyum miris. “Hendery suka lo. Gua gak mau pertemanan kita jadi berantakan karena ini.”

Alma tertawa sambil menutup wajahnya dengan tangan dan membuat Laskar menatapnya penuh tanda tanya. “Maaf banget ini mah, ya Allah ngakak.”

Laskar menautkan alisnya. “Kok lo ketawa sih?”

“Gua juga tau kali kalau Hendery sempet suka sama gua, tapi sekarang kan dia naksir Yeri.” Alma menyeka air matanya yang sedikit keluar karena tertawa.

“Apa? Hendery naksir Yeri? Sejak kapan?” tanya Laskar berturut turut.

“Udah dari kelas sepuluh semester dua, Kar,” jawab Alma gemas sambil mencubit pipi Laskar yang kebingungan.