18
“Mau?” tawar Geya karena Auriga yang terus menatap penjual balon tanpa berkedip.
“Mau apaan?” tanya pemuda itu balik.
Geya menunjuk penjual balon itu dengan matanya. “Lo dari tadi ngelihatin itu terus. Mau?”
“Nggak.” Auriga mengalihkan wajahnya dari Geya, dia malu sekali karena terciduk menatap penjual balon itu. Salahkan penjual itu karena menjual balon pororo, itu kan kartun kesukaannya.
“Geya, ayo jalan lagi.” Auriga menoleh dan tidak menemukan Geya di sampingnya. Dia menatap sekitarnya berusaha mencari Geya di antara orang orang yang berada di tempat itu.
Dia menoleh ketika merasakan seseorang menyelipkan sesuatu digenggamannya. Sebuah batu yang dibungkus pelastik dan diikatkan pada sebuah balon. Auriga menatap balon bergambar pororo itu. “Ini....”
“Balonnya lucu,” Geya berujar santai seolah hilangnya dia selama beberapa menit tadi bukan masalah besar. Gadis itu juga memegang balon bergambar Hello Kity. “Ayo lanjut jalan lagi.”
Auriga menatap gadis yang mulai berjalan mendahuluinya itu dan balon yang berada di tangannya bergantian. Diluar kenadalinya, kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman. Dia berjalan cepat agar kembali beriringan dengan gadis itu kemudian menggengam tangannya. “Eya. Gua panggil lo Eya aja boleh? Panggilan sayang ceritanya.”
“Boleh.” Geya balas menggengam tangan pemuda tinggi itu. “Gua panggil lo Iga aja boleh nggak? Panggilan sayang juga. Masa lo doang yang punya panggilan sayang buat gua.”
Auriga tersenyum lebar, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Geya berbeda dengan para mantannya sebelumnya, dia benar benar berbeda. Dan Auriga menyukai perbedaan itu. “Boleh kok, apa sih yang nggak buat lo.”