185. 1000 pertanyaan, 1001 jawaban

Juna hanya bisa menghela napas berat, dia mundur selangkah untuk memakai bajunya sembari merangkai kata bagaimana menjelaskan semuanya tanpa menyakiti perasaan Adena. Kemudian dia membawa Adena untuk duduk di lantai dengan kotak kayu itu di antara mereka. “Aku rasa kamu udah baca bukunya,” ujar Juna memulai penjelasannya. “Abang ninggalin buku itu untuk aku supaya aku bisa mengerti kamu dengan baik. Abang tulis semua tentang kamu di sana, berharap itu bisa jadi guide untuk aku. Abang gak pernah sekalipun berpikir untuk ninggalin kamu, dia bener-bener sayang kamu. Waktu itu Abang ajak aku untuk tes kesehatan, dia juga suruh aku untuk ngelakuin tes kesuburan. Aku masih belum paham apa maksud dia sampai suruh aku ngelakuin tes kesuburan. Setiap ditanya, dia gak jawab dan malah ceritain tentang kamu yang suka anak kecil. Aneh emang. Sampai akhirnya Abang minta aku untuk gantikan dia—jika sesuatu terjadi. Waktu Abang bilang dia mungkin gak bisa suatu saat nanti dan minta aku untuk gantikan posisi dia, aku berpikir Abang orang paling gila yang ada di dunia. Bisa-bisanya dia pesimis kalau dia gak bisa nikah sama kamu.

“Waktu itu aku marah, berhenti ngomong sama dia, bahkan jarang pulang ke rumah karena gak mau ketemu Abang. Menurutku, Abang itu orang yang paling sulit dimengerti, dia cuman suka kasih kode dan biarin itu semua kejadian. Mungkin waktu itu Abang sadar kalau aku gak menangkap kode dari dia, jadi, dia ajak aku ketemu untuk bahas hasil lab. Aku pikir waktu itu dia cuman lagi alasan biar aku mau ketemu dia, tapi waktu dia kirim foto amplop rumah sakit ini aku langsung pulang. Waktu aku udah duduk manis di depan dia, Abang gak langsung kasih tunjuk hasil lab-nya. Dia lagi-lagi ceritain kalau kamu suka anak kecil, dia juga bilang kalau kamu mau punya dua anak, yang pertama harus laki-laki katanya.

“Awalnya aku pikir Abang memang bohong supaya aku mau ketemu dia, tapi waktu aku mau pergi dari sana akhirnya Abang kasih aku hasil lab-nya. Nggak, Abang gak sakit, dia sehat. Dan waktu itu, untuk pertama kalinya aku nangkap kode yang Abang kasih sejak kemarin. Kenapa aku diminta tes kesuburan, kenapa dia ceritain kamu yang suka anak kecil, dan mungkin juga kenapa dia minta aku untuk gantikan dia suatu saat nanti.” Juna menatap lamat-lamat wajah Adena untuk sesaat. “Abang dinyatakan tidak bisa memiliki keturunan.”

Juna tiba-tiba berhenti bercerita, dia menunduk dan memejamkan matanya sejenak. Menceritakan ini semua membuatnya sakit, tapi dia tahu Adena lah yang lebih sakit dari pada dirinya. “Aku rasa itu yang buat Abang merasa berat untuk tetap nikah sama kamu, karena dia tau kamu akan sangat cocok jadi ibu untuk dua anak. Kebetulan hasil lab punyaku waktu itu bagus, jadi aku berpikir Abang minta bantuanku karena itu. Tapi ternyata Abang tau sesuatu yang aku coba sembunyikan, dan dia merasa tambah yakin untuk jadikan aku penggantinya. Aku gak pernah setuju sama dia, dan dia juga kelihatan gak butuh persetujuan aku. Mungkin karena tau aku bakal tetap ngelakuin itu untuk dia, setuju atau nggak sama sekali. Aku pikir waktu itu Abang cuman bakal mundur dari pernikahan kalian dan menjalankan hidupnya kayak biasa, tapi ternyata takdir berkata lain. Abang… kecelakaan.

“Aku gak bisa berpikir waktu itu. Abang benar-benar minta aku untuk gantikan dia dengan cara yang paling aku benci. Aku gak bisa nangis waktu itu, rasanya campur aduk. Aku marah, sedih, bingung, dan itu semua jadi satu hari itu. Aku tau aku bisa aja gak ngelakuin apa yang Abang minta, ngelupain gitu aja dan pura-pura gak terjadi apa-apa itu bukan hal yang sulit harusnya. Tapi lihat kamu yang kayak mayat hidup di makam Abang buat aku berubah pikiran. Aku tau sekali kalau aku gak akan semudah itu untuk masuk ke hidup kamu, tapi aku tau kamu juga gak pantas merasa sendirian. Aku sempat beberapa kali mau nyerah dan lepasin kamu, tapi lihat kamu yang bisa senyum waktu sama aku buat niat itu aku buang jauh-jauh.”

Juna menarik sudut bibirnya ke atas selagi tangannya meraih tangan Adena yang terdapat cincin pertunangan mereka. “Dan akhirnya perjuangan aku berakhir dengan ini, cincin ini. Walau aku tau aku hampir aja ngehancurin semuanya hanya karena pekerjaan dan rasa tanggung jawab yang sebenarnya gak perlu banget aku lakukan waktu itu. Aku tau permintaan maafku gak akan menghilangkan rasa kecewa kamu, tapi tolong terima permintaan maafku ini. Karena aku gak mau kehilangan kamu.”