187
Auriga menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu bercat hitam di hadapannya. Dia berusaha tersenyum tipis, meminimalisir degupan jantungnya yang kian bertambah cepat.
Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya berwajah mirip dengan kekasihnya. “Kamu Auriga, ya? Sini masuk.” Mama Geya mempersilakan pemuda berstatus pacar anak perempuannya itu untuk masuk dan duduk di ruang tamu.
“Tante, ini ada makanan buat Tante dan keluarga.” Auriga menyodorkan kantung pelastik yang dibawanya pada Mama Geya.
Mama Geya tersenyum sumringah menatap pemberian Auriga. “Kayaknya kamu pandai buat orang tersanjung, ya. Terima kasih makanannya, ya, Nak Auriga.” Dia tersenyum sekali lagi pada Auriga sebelum berjalan pergi menuju dapur untuk membuat minum. “Tunggu sebentar, ya. Papa Geya lagi siap-siap.”
Auriga hanya mengangguk seraya tersenyum manis sebagai balasan. Dia meremat jarinya sendiri kala mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Tepat saat dia mengangkat wajahnya, seorang Pria paruh baya berjalan menujunya diikuti Bang Atma di belakangnya.
“Jadi, kamu yang namanya Auriga.” Papa Geya duduk di sofa yang berada di hadapan Auriga. Matanya menatap tajam pemuda itu. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya. “Oh, ya sudah kalau begitu. Salam kenal, ya, Nak.”
Auriga menatap tangan Papa Geya dan Bang Atma bergantian lalu mencium tangan pria yang lebih tua darinya itu. “Iya, Om.”
Papa Geya tertawa. “Jangan panggil Om, panggil Papa aja biar samaan kayak Geya.” Pria paruh baya itu kemudian mulai mengajak Auriga berbincang-bincang hal sederhana, seperti umurnya berapa, rumahnya di mana, kuliah jurusan apa, dan lain-lain.
Di sisi lain Geya menatap aneh sang papa. Sejak kapan papanya bisa seramah itu dengan orang baru.
“Mama yang bilang ke Papa untuk ramah sama Auriga.” Mama Geya tiba-tiba muncul, membuat gadis cantik itu menatapnya. “Abang udah cerita semuanya sama Mama. Gimana Auriga jagain kamu di sini selama kita ada di Jepang. Ya, Mama rasa dengan ceritain itu ke Papa bisa buat dia nerima Auriga sebagai pacar kamu.”
“Mama ….” Geya langsung memeluk tubuh sang mama erat. Dia merasa bersyukur karena secara tidak langsung mamanya menerima Auriga. “Terima kasih, Ma.”