189

“Cie yang disukain sama Papa.” Geya menyenggol lengan Auriga yang sedang berjalan di sebelahnya, menggoda pemuda itu. “Papa gak nyeremin kan.”

Auriga tertawa pelan mengingat kejadian pagi tadi. Papa Geya ternyata tak semenyeramkan itu. Dia adalah pria paruh baya dengan selera humor yang bagus. “Papa kamu baik.”

Geya mengangguk-anggukan kepalanya pelan. “Menurut kamu happy ending itu ending yang kayak gimana? Yang tokoh utamanya nikah atau apa?” tanya Geya sambil menatap novel yang baru saja dia ambil.

Auriga menatap Geya sesaat lalu kembali menatap rak berisi buku-buku di hadapan mereka. “Yang semua tokohnya bahagia, bukan cuman tokoh utamanya aja. Kebahagiaannya mencakup seluruh tokoh cerita.”

Geya mengangguk paham, dia cukup puas dengan jawaban sang kekasih. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, bersiap bertanya kembali. “Menurut kamu cerita sad ending itu ending yang kayak gimana? Yang tokoh utamanya meninggal atau tokoh utamanya gak sama pasangannya?”

Auriga terdengar menghela napas pelan. “Sedih itu gak cuman tentang kematian atau gak berjodoh.” Dia menatap lekat Geya, menunggu gadis itu merespon.

“Terus apa?”

“Sebenarnya itu tergantung pandangan kamu terhadap ending itu,” jawab Auriga. “Coba kamu pikir, kalau menurut kamu endingnya sedih, tapi membahagiakan buat sebagian tokoh, itu bakal jadi sad atau happy? Kalau endingnya bahagia, tapi kedua tokoh gak bersama, itu bakal jadi sad atau happy?”

Geya terdiam, berusaha mencerna ucapan Auriga barusan. Ucapan pemuda itu memang ada benarnya.

“Kalau kamu lihat dari perspektif yang berbeda pasti makna sad atau happy itu juga bakal beda,” ucap Auriga lembut sebagai penutup penjelasannya.

Geya mengangkat wajahnya dan menatap serius Auriga, dia menatap tepat pada mata pemuda itu. “Kalau gitu, ending kita bakal termasuk yang mana? Sad atau happy?”

Auriga mengusap kepala Geya dalam diam kemudian tersenyum lembut. “Happy. Kita bakal jadi happy ending dari semua perspektif yang ada.”