28. Kucing
Sepasang cucu adam itu berjalan beriringan menuju sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari tempat penjual bakso tadi.
“Kucing.” Adena bergumam pelan, tapi masih bisa didengar oleh Juna. Pemuda itu menoleh pada Adena kemudian mengikuti arah pandangnya menuju seekor kucing liar berwarna oranye.
“Mau pegang?” tanya Juna yang dibalas tawa kecil dari Adena. Tanpa menjawab, gadis itu langsung menghampiri kucing itu dan berjongkok di sebelahnya.
Juna tersenyum ketika menyadari Adena yang nampak takut-takut saat memegang kucing itu. Dia menghampiri gadis itu dan ikut berjongkok di sebelahnya. “Kalau takut bilang, jangan sok-sokan berani.” Juna menarik tangan Adena kemudian meletakkan tangan gadis itu di atas punggung tangannya. Kemudian dia mengelus bulu kucing itu dengan perlahan.
“Emang gak sama rasanya kayak pas ngelus secara langsung, tapi kalau lo takut, lo bisa pakai tangan gua sebagai perantara.” Juna berucap tanpa memandang Adena. Pandangannya terpaku pada tangannya sekaligus tangan Adena yang tengah mengusap kucing itu. Tangan Adena terasa hangat di atas tangannya, dan itu terasa nyaman.
Adena menatap Juna dengan perasaan campur aduk. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini, saat bersama Juna, dan saat tangannya memegang tangan pemuda itu.
“Lo suka kucing?” tanya Adena akhirnya. Dia penasaran apa Juna memang benar-benar menyukai kucing atau hanya sekedar berpura-pura untuk mendapatkan hatinya.
Juna melirik sekilas Adena kemudian mengangguk. “Suka, tapi gua alergi bulu kucing. Jadi—” Ucapan Juna terputus ketika dengan tiba-tiba Adena menarik tangannya dari kucing itu.
“Kalau lo alergi bulu kucing terus ngapain megang kucing?” Nada bicara Adena meninggi. Dia menatap tajam Juna yang memperhatikan kucing tadi yang berlari pergi karena terkejut.
Adena menangkup pipi Juna kemudian mengarahkan wajah pemuda itu agar menatapnya. “Kalau lagi diajak ngomong jangan nengok ke arah lain!”
Juna meneguk ludahnya susah payah. Adena nampak menyeramkan saat marah seperti ini. Dia tiba-tiba mengerutkan hidungnya. Sial, kenapa hidungnya gatal sekali.
Adena terdengar mengehela napas berat ketika melihat hidung Juna yang mulai memerah. “Bawa obatnya nggak?” tanyanya pasrah.
“Ada di mobil.”
“Oke, ayo kita ke mobil.” Adena langsung menarik Juna ke mobil. Dia merasa tidak tega melihat pemuda itu yang hidungnya mulai memerah karena gatal. Dia merasa harus bertanggung jawab karena sudah membuat alergi pemuda itu kambuh walau secara tidak sengaja.
Diam-diam Juna tersenyum menang. Dia kembali dikhawatirkan oleh Adena. Bonusnya lagi, tangan dan wajahnya sempat disentuh gadis itu.
Juna jadi senang.