42. Reuni dadakan
“Loh, lo masih di sini?” Adena menatap heran Juna yang tengah memainkan ponselnya di salah satu meja yang berada di cafe. “Gua pikir lo langsung pergi.”
Juna yang diajak bicara Adena langsung mematikan ponselnya dan menyimpannya di saku. Dia menatap Adena yang berdiri di samping mejanya. “Gua nunggu Reynald dulu, dia mau ngasih titipan buat kantor.”
Adena mengangguk paham. “Lo minum kopi?” tanyanya yang dibalas anggukan kepala Juna. “Mau gua bikinin?”
“Boleh. Americano aja satu,” jawab Juna diakhiri senyuman. Adena kembali mengangguk dan langsung berjalan menuju dapur untuk membuatkan Juna kopi. Diam-diam dia tersenyum, ini terasa seperti dia yang membuatkan kopi di pagi hari untuk suaminya.
“Ini kopinya.” Adena meletakkan cangkir berisi americano itu di meja. Dia hendak berbalik kembali menuju dapur, tapi tangannya ditahan oleh Juna.
“Gak bisa duduk dulu di sini?” tanyanya pelan. “Temenin gua minum kopi di sini.”
Adena mengurungkan niatnya dan menarik kursi yang berada di depan Juna. Baru saja dia ingin duduk, pintu cafe tiba-tiba terbuka menandakan adanya pengunjung yang datang.
Bukan pelanggan yang diharapkan Adena, tapi Narendra lah yang berdiri di depan pintu cafe sembari tersenyum. Wajah gadis itu mendadak berubah menjadi datar.
“Selamat pagi, Nana,” sapa Narendra sambil berjalan mendekat ke arah Adena dan Juna. Dia melirik sekilas Juna yang tengah menyesap kopinya. “Selamat pagi, Mas,” sapanya pada Juna.
Juna mengangguk kemudian ikut berdiri. Dia sadar Adena mulai merasa tidak nyaman akan kehadiran Narendra di sana. Dia mengusap bahu Adena lembut. “Bisa tolong ambilin tas gua di mobil?” pintanya sambil menyodorkan kunci mobilnya pada Adena.
Adena mengangguk pelan kemudian berjalan keluar menuju mobil Juna yang terparkir rapi di halaman cafe.
Sedangkan itu di dalam sana Narendra menatap aneh Juna. “Kayaknya saya pernah lihat kamu sebelumnya,” ucap Narendra sedikit ragu. “Kita pernah ketemu sebelumnya?”
“Nggak. Ini pertama kalinya saya ketemu Anda,” jawab Juna dengan dingin. Sejujurnya dia tidak suka berbincang dengan Narendra. Ya, pemuda itu sudah melabeli Narendra sebagai musuhnya. Mana mungkin dia akan senang ketika berbincang dengan musuhnya itu.
Narendra mengangguk kecil. “Kamu pacarnya Rana?” tebaknya yang langsung dibalas gelengan oleh Juna. Tapi ucapan pemuda itu setelahnya membuat Narendra diam tak bergeming.
“Saya calon tunangannya Adena.”
Narendra menatap Juna dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia tidak menyangka jika akan bertemu dengan calon tunangan Adena secepat ini.
Pintu cafe kembali terbuka. Bukan Adena yang datang, tapi Reynald dengan tas laptop milik Juna. Pemuda yang seumuran dengan Adena itu hendak mengomel sampai matanya mendapati sosok yang nampak familiar di matanya. “Narendra? Lo udah pulang?”
Narendra tersenyum sembari mengusap kepala belakangnya. “Eh, Reynald. Iya, gua baru aja sampai di Jakarta empat hari lalu.”
Reynald melirik sekilas Juna yang berdiri diam di tempatnya dengan wajah datar. Sekiranya dia paham kenapa wajah sang adik bisa seperti itu.
“Wah, ada reuni dadakan, ya.” Rana tiba-tiba berjalan masuk bersama Adena. Dia menatap ketiga pemuda itu bergantian kemudian berkacak pinggang. “Pertemuan yang gak disangka-sangka, ya.”
Rana berjalan mendekat ke arah ketiga pemuda itu kemudian menunjuk Juna yang sedari tadi diam. “Dia calon tunangannya Adena,” ucapnya dengan penekanan. Dengan maksud mempertegas status Adena yang sudah memiliki calon tunangan. “Besok lo harus dateng ke acara tunangannya Adena, Ren,” ucapnya sembari menepuk bahu Narendra yang wajahnya nampak masam.
Juna menatap keluar jendela sembari meminum kopinya yang mulai mendingin. Di hadapannya berada Narendra yang duduk sambil menatap kosong meja di depannya.
“Kamu beneran calon tunangan Adena?” tanya Narendra penuh harap jika jawaban Juna adalah tidak.
“Memangnya saya gak terlihat meyakinkan di mata Anda?” tanya Juna balik. “Saya memang calon tunangan Adena.”
Narendra tertawa canggung kemudian mengangguk pelan. Dia kehilangan kesempatan.
“Saya gak tahu Anda beneran pure mau bantu Rana dan Adena di cafe ini atau nggak, tapi saya harap Anda tidak bertindak diluar batas selama menjalin kerja sama dengan mereka. Saya juga berharap Anda tidak melakukan sesuatu yang membuat perempuan saya merasa tidak nyaman.” Juna berkata dengan tenang membuat Narendra menaikkan sebelah alisnya. “Ini bukan ancaman, hanya pemberitahuan dini kalau Anda berani membuat perempuan saya merasa tidak nyaman, Anda akan berurusan dengan saya.”
Narendra berdecak pelan. Merasa terhina karena secara tidak langsung pemuda itu menganggap kehadiran dirinya hanya pengganggu di hidup Adena.
“Juna Bagaspati,” ucap Juna tiba-tiba. “Barangkali Anda mau mengumpati saya, itu nama saya.” Juna tersenyum tipis kemudian bangkit dan mengambil tasnya. Dia akan pergi ke kantor sekarang.
Adena yang sedari tadi memperhatikan Juna dan Narendra dari dapur bersama Rana dan Reynald langsung berjalan keluar menghampiri Juna. “Mau berangkat sekarang?” tanyanya sembari mengikut langkah pemuda itu menuju parkiran.
Juna berhenti berjalan kemudian menatap Adena. “Iya. Gua kerja dulu, ya.”
Adena mengangguk kecil kemudian berkata, “Hati-hati di jalan, Juna.”
Juna tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar ucapan Adena. Dia mengusap puncak kepala gadis itu lembut. “Iya, lo juga semangat kerjanya. Kalau ada yang bikin lo gak nyaman atau marah, kasih tahu gua.”
“Gua berangkat, ya,” pamit Juna kemudian berjalan menuju mobilnya. Meninggalkan Adena yang berdiri di depan cafe sembari menatap ke arah mobilnya yang perlahan menjauhi area cafe itu.