43
Geya berjalan mengikuti Radeva masuk ke dalam kediaman keluarga Auriga. Mereka berjalan menuju kamar yang berada di paling belakang, kamar Auriga.
“Lo masuk aja, anaknya paling lagi main game. Gak usah diketuk pintunya, langsung masuk aja, biar surprise,” ucap Radeva sambil berbisik. Dia tersenyum sekali sebelum berjalan kembali ke ruang tamu.
“Auriga, ini Geya.” Dengan hati-hati gadis itu membuka pintu kamar milik pemuda tinggi yang berstatus sebagai kekasihnya itu.
Auriga yang mendengar suara sang kekasih buru-buru menyembunyikan ponselnya kemudian berpura-pura lemas. “Masuk aja, Eya.”
Setelah dipersilahkan, Geya masuk dan merapatkan pintu kamar si pemuda tanpa menutupnya. Dia berjalan mendekat ke arah Auriga. “Udah mendingan?”
Auriga yang masih pura-pura lemas itu mengangguk lemah. “Masih,” ucapnya dengan suara serak yang dibuat-buat.
Geya tersenyum simpul. “Mau pura-pura sampai kapan? Tadi aja udah main game.”
Pemuda itu membulatkan matanya terkejut. Dia buru buru menggeleng. “Cuman main game, ini masih sakit kok.” Dia mengambil tangan Geya lalu menempelkannya di lehernya. “Panas kan.”
Gadis itu tertawa melihat wajah pemuda itu berubah menjadi panik karena ucapannya. Dia menarik tangannya lalu mengacak surai hitam Auriga gemas. “Muka panik lo lucu.”
Auriga mengalihkan pandangannya kemudian membenamkan wajahnya di bantal yang berada di sampingnya. Dapat Geya dengar teriakan heboh pemuda itu yang teredam bantal.
“Lo udah makan? Mau gua ambilin gak?” tawar Geya seraya bangkit dari duduknya hendak pergi ke dapur mengambil makan untuk Auriga.
Auriga mengangkat kepalanya kemudian mengangguk. “Hati-hati.”
Alis gadis itu berkerut. Wajahnya benar-benar kebingungan. “Gua cuman ke dapur.”
“Gua gak ngomong ke lo.” Pemuda itu menegakan tubuhnya lalu tersenyum lebar. “Gua ngomong ke diri gua sendiri supaya hati-hati biar gak kangen lo.”