54
Sepasang kekasih itu berjalan beriringan menyusuri tempat permainan itu. Pemuda itu menggengam tangan Geya. “Terakhir sebelum pulang, mau taruhan nggak? Kita main permainan, yang menang bisa minta satu permintaan. Gimana?”
“Apa aja kan permintaannya?” tanya Geya balik yang dibalas anggukan kepala pemuda di sampingnya. “Mau main apa?”
Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu menunjuk ke arah tempat permainan bola basket. “Yang gampang aja, basket gimana? Mau nggak?”
“Mau. Ayo ke sana.” Geya mengangguk dan menarik tangan Auriga agar ikut berjalan bersamanya. “Kalau menang beneran boleh minta satu permintaan kan?” tanyanya lagi.
Pemuda yang jauh lebih tinggi itu tertawa gemas. “Iya beneran. Emangnya lo mau minta apa sih.”
“Ada deh,” jawab gadis itu dengan nada meledek.
Lima belas menit sudah terlewati dan permainan mereka sudah selesai. Berdasarkan skor yang di dapat, skor Geya lebih tinggi beberapa angka dari pada Auriga yang berarti gadis itu pemenangnya.
“Lo kalah.”
“Gua tau.” Pemuda itu melipat tangannya sambil menatap wajah senang sang kekasih. “Lo mau minta apa?”
Geya tersenyum simpul, berusaha terihat biasa-biasa saja. “Jangan jatuh cinta sama gua.”
Pemuda berparas tampan itu sontak membulatkan matanya kemudian menggeleng. “Gak bisa,” tolaknya cepat.
“Kenapa?” tanya gadis itu seraya memiringkan kepalanya.
Tatapan pemuda yang menjadi lawan bicaranya itu berubah. Tidak ada lagi tatapan jahil dan menggodanya, hanya ada tatapan serius yang tidak pernah pemuda itu tunjukan padanya selama ini. “Karena gua udah ngelakuin itu.”
Geya tertawa pelan berusaha mengembalikan keadaan agar tidak canggung seperti ini. “Cukup mengejutkan, ya. Gombalan lo oke juga.”
“Kenapa kaget? Bukannya wajar, lo kan pacar gua,” balas Auriga dengan agak menekankan kata ‘pacar’.
Dia tertawa renyah. “Ini udah seminggu kan,” ucap Geya menggantung. “Sebenarnya gua nungguin kapan lo putusin gua.”
Pemuda itu diam, tidak tau harus membalas seperti apa. Takut salah berucap dan berakhir hubungan mereka harus selesai saat ini juga.
“Lo kan selalu putusin cewek lo setelah seminggu, ini udah seminggu, berarti kita putus sekarang ya,” tutur gadis bersurai panjang itu santai seolah itu merupakan hal biasa.
Tubuh pemuda itu membeku, nafasnya tercekat sesaat. Kalimat yang sejak semalam dia khawatirkan akan diucapkan oleh gadis itu akhirnya terucap. Ia tidak memiliki pilihan lain. Auriga tersenyum canggung seraya mengangguk. “Iya, kita putus.”
Geya mengangguk puas dengan ucapan Auriga. “Kalau gitu gua pamit pulang, ya. Keburu macet nanti.” Gadis itu hendak berbalik dan berjalan pergi, tapi lengannya lebih dulu ditahan Auriga.
“Eya, maksud gua, Geya, mau pulang bareng?” tawarnya dengan nada ragu. “Terakhir kali setelah itu kita gak pulang bareng lagi kan.”
Mobil hitam milik pemuda itu terparkir rapi di depan kediaman gadis itu, tapi si pemilik rumah tidak kunjung turun dari mobil.
“Kalau gak jadi ngomong gua keluar sekarang,” ujar Geya sedikit kesal karena Auriga yang tidak juga membuka suara padahal dia menahannya di mobil lebih dari lima belas menit karena ada yang ingin pemuda itu sampaikan.
Auriga menyisir surainya dengan jari kemudian menarik napas dalam. “Kita… harus putus, ya?”
“Iya,” jawab Geya tanpa pikir panjang. “Dari awal gua nerima lo bukan karena suka, Auriga. Konyol banget baru ketemu tiga kali langsung suka.”
Wajah pemuda itu berubah murung. Entah kenapa mendengar penuturan gadis itu membuatnya sedih. “Selama seminggu ini gak bisa buat lo punya perasaan sama gua?”
Gadis itu menggeleng. “Nggak. Memangnya apa yang bisa bikin gua jatuh cinta sama orang yang baru gua kenal dalam waktu satu minggu?”