55

“Kenapa nangis?” Kak Abrar duduk di pinggir kasur Kayla. Matanya bergerak menatap seisi kamar adiknya itu.

“Gak usah nanya-nanya! Kita gak kenal,” sewot Kayla dengan suara tak jelas karena menangis.

Kak Abrar tersenyum kecil kemudian mengusap kepala Kayla dari atas selimut. “Siapa yang buat adik Kak Abrar nangis kayak gini?”

“Dibilangin gak usah nanya-nanya! Kita tuh gak kenal, ya!”

“Lo emang salah, Kay. Wajar kalau mereka marah sama lo.” balas Kak Abrar masih sambil mengusap kepala adiknya. “Malah harusnya gua juga ikut marah sama lo, tapi kalau gua ikut marah sekarang nanti lo malah berpikir gak ada yang sayang lo.”

Kak Abrar melirik Kayla yang mulai berhenti menangis kemudian menghela napas perlahan. “Kalau salah itu, ya diterima aja. Toh, lo emang salah 'kan karena udah gak ngabarin semua orang kalau lo mau pergi sama teman baru lo itu.”

“Kalau lo lupa, ada Ghazi yang harus pulang telat karena nyari lo. Sebagai orang yang dipercayain buat pulang-pergi sama lo, dia merasa lo itu tanggung jawabnya. Kalau dipikir-pikir, dia malah bisa aja langsung pulang dan bodo amat sama lo yang gak ada di depan sekolah. Tapi dia milih buat nyari lo dulu baru pulang.”

Kayla membuka sedikit selimutnya dan menatap Kak Abrar yang duduk di sampingnya.

“Kalau dilihat-lihat, masalah utamanya itu karena temen baru lo, ya.”

Kayla hendak protes, tapi Kak Abrar kembali melanjutkan ucapannya.

“Gua pribadi setuju sama teman-teman lo. Teman baru lo ini bawa dampak buruk buat lo.”

“Tapi dia baik kok sama gua.” Kayla akhirnya membalas. Dia bangun dan duduk dengan benar di kasur. “Jihan baik kok sama gua. Lo percaya 'kan, Kak?”

Kak Abrar mengangguk kecil. “Iya, gua percaya.”

“Tapi gua gak melihat dan ngalamin secara langsung gimana baiknya teman lo itu,” lanjutnya membuat Kayla mengernyit bingung.

“Lo tuh cuman anak kecil naif yang gak bisa bedain mana beneran baik sama yang cuman pura-pura, Kayla.” Kak Abrar menatap serius adiknya itu. “Kalau Kak Abrar minta kamu jauhin teman baru kamu itu... kamu bisa?”