97
“Ini pempek lo.” Bang Atma meletakan kantung plastik berisi makanan khas kota Palembang itu di meja makan. Dia berjalan memutari meja dan duduk tepat di hadapan sang adik.
“Ngapain lo ketemu Auriga?”
Bang Atma tersenyum aneh kemudian memasang wajah pura pura berpikir. “Hm, gua ngapain, ya, ketemu dia.”
“Yang bener, Bang Atma!” Gadis itu mulai kesal. “Ganti pertanyaan, lo ngomong apa sama Auriga?”
Bang Atma tersenyum miring. “Gua ngomong kalau dia gak boleh deket deket sama lo.” Pemuda itu tersenyum menang ketika melihat Geya mengepalkan tangannya.
“Mulai sekarang lo berangkat bareng gua atau Dafka. Gak ada lagi berangkat sendiri naik ojol dengan alasan membantu perekonomian orang lain.”
“Gak bisa gitu dong!” pekik gadis itu tidak setuju. Dia memejamkan matanya seraya menarik napas perlahan, Auriga melarangnya bertengkar dengan Bang Atma. “Gua lagi gak mau berantem sama lo, Bang. Jadi, jangan pancing emosi gua.”
Bang Atma menaikan sebelah alisnya. “Kenapa emosi? Bukannya lo gak suka si Auriga? Bagus dong, gua bantu lo jauh-jauh dari dia.” Pemuda itu tersenyum karena Geya kembali diam, dia bangkit dan hendak berjalan menuju kamarnya.
“Gua nggak.”
Pemuda yang lebih tua itu berhenti berjalan dan berbalik menatap adiknya. “Lo ngomong apa barusan?”
“Gua nggak bilang nggak suka Auriga,” ucap Geya penuh penekanan. “Dan lo udah kelewatan karena ikut campur masalah percintaan gua, Bang.”
Geya ikut bangkit dari duduknya dan mengambil semua barang-barangnya, setelah itu berjalan menuju kamarnya. Tapi sebelum masuk ke dalam kamar, dia berbalik dan menatap serius sang kakak. “Satu lagi, gua mulai suka Auriga. Kalau lo menghargai gua sebagai adik lo, gua harap lo gak ikut campur lagi.”