Haikal

Namanya Haikal, rambutnya sedikit ikal, memiliki sepasang netra berwarna cokelat gelap yang senang menatap tajam orang lain, tapi selalu menatap penuh cinta sang pujaan hati.

Namanya Haikal, si penyuka musik yang mengaku tak paham dengan musik. Senang duduk di balkon kamarnya sambil memetik gitar dan menyanyikan berbagai lagu kesukaan sang pujaan hati.

Namanya Haikal, dia kekasihku.


“Katanya orang Jakarta itu suka baper kalau ada yang ngomong pakai aku-kamu.” Haikal tiba-tiba berucap, membuat Ayyara yang awalnya sedang asik menulis itu mengangkat wajahnya dan menatap Haikal. “Aku kan ngomong pakai aku-kamu, kamu baper gak?” lanjutnya sambil tersenyum.

Ayyara menggeleng mantap. “Nggak.” Dia meletakan pulpennya sejenak di meja kemudian menatap serius Haikal. “Kalau kamu baper gak aku ngomong pakai aku-kamu padahal aku orang Jakarta?”

Senyum di wajah Haikal semakin melebar ketika mendengar pertanyaan itu. Dia menyisir surainya dengan jari lalu menjawab, “Kayaknya kamu gak perlu bicara aku-kamu untuk buat aku baper. Lihat kamu aja udah bikin jantungku detak gak karuan.”

Ayyara tertawa mendengar penuturan pemuda itu. Terdengar sedikit menggelikan, tapi apapun hal yang dikatakan Haikal pasti terdengar lucu baginya. Dia mengambil pulpennya dan kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi. “Apa sih, aneh-aneh aja.”

“Aku beneran, loh,” balas Haikal sambil tertawa. “Kamu mau coba dengerin nggak?” tawarnya sambil menaik turunkan alisnya menggoda Ayyara.

“Gimana caranya?”

Haikal membuka kedua tangannya lebar-lebar, seolah memberi kode Ayyara untuk memeluknya. “Peluk aku. Nanti kamu bakal dapat dua hal. Pertama, dengar detak jantung aku. Kedua, dapat pelukan sayang dari aku.”

Ayyara berusaha menahan bibirnya agar tidak terangkat membentuk senyuman. Haikal dan segala kata-kata manisnya bukanlah kombinasi yang baik. Dia mengalihkan pandangannya pada buku yang ada di meja dan berniat kembali melanjutkan kegiatan belajarnya.

“Gak mau nih?” tanya Haikal kembali karena Ayyara malah kembali melanjutkan belajarnya. Dia menggoyangkan kedua tangannya yang masih terbuka lebar. “Tanganku pegel loh ini.”

Ayyara memutar matanya malas lalu meraih sebelah tangan Haikal dan menggenggamnya. “Sebentar, ya, Haikal. Aku mau belajar dulu.” Setelahnya dia kembali belajar dengan sebelah tangannya yang menggenggam tangan sang kekasih.

Haikal sontak tersenyum lebar. Wajahnya memerah bahkan hingga merambat ke telinga, jantungnya berdegup kencang, perutnya terasa seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu. Rasanya dia seperti ingin berteriak memberi tahukan semua orang di muka bumi ini jika Ayyara, kekasihnya, menggenggam tangannya saat ini. “Kamu lucu banget, aku gak kuat,” bisiknya.

“Aku cuman genggam tangan kamu, Kal,” balas Ayyara tak habis pikir dengan ucapan Haikal.

“Gak apa-apa, intinya kamu lucu.” Haikal menyelipkan poni Ayyara ke belakang telinga agar tidak menghalangi pandangan gadis itu. Dia menopang wajahnya dengan sebelah tangannya yang menganggur. “Kamu mau sampai kapan belajarnya?”

“Sampai aku capek,” jawab Ayyara. Dia mengangkat wajahnya kemudian bertanya, “Kamu bosen?”

Haikal menggeleng cepat. “Aku gak bosen. Mana mungkin aku bisa bosen kalau yang aku lihat itu wajah kamu,” jawabnya sambil tersenyum manis. “Ya udah kalau gitu aku tunggu kamu sampai selesai.”

Ayyara terkekeh pelan mendengar jawaban Haikal. “Biar apa kayak gitu?”

“Biar aku bisa peluk kamu, terus ngusap kepala kamu kayak gini.” Haikal mengangkat tangannya lalu mengusap kepala Ayyara lembut dan penuh kasih sayang. “Jadi, nanti capeknya hilang terus diganti jadi yang lain.”

“Jadi apa?”

“Jadi makin sayang sama aku.” Haikal mencubit gemas hidung Ayyara seraya tersenyum menggoda.

Ayyara menyembunyikan wajahnya yang memerah di meja. Pertahanannya runtuh, ia sudah tidak tahan mendengar segala kata-kata manis dari Haikal. “Kamu kenapa godain aku terus sih?” tanyanya dengan nada merajuk.

Haikal memasang wajah berpikir, berusaha mengingat-ingat kata-kata yang dia temukan di internet beberapa hari lalu. “Apa ya bahasa gaulnya. I… i… ihacoy! Iya, ihacoy, I have crush on you.” Haikal terkekeh pelan kemudian mengusap tangan Ayyara yang masih digenggamnya. “Karena I have crush on you, Ayyara.”

Gadis cantik itu mengangkat wajahnya malu-malu. Dapat dia lihat Haikal yang tengah menatapnya lembut dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya. “Kenapa suka aku?” tanyanya pelan.

“Gak tahu.” Haikal mengedikan bahunya tanda tak tahu. “Coba tanya sama diri kamu, kenapa kamu bisa bikin aku jatuh cinta sejak pertama kali bertemu.”


Sepasang kekasih itu menatap takjub kota Bandung di malam hari dari atas sini. Lampu lampu dari bangunan yang berada di bawah sana terlihat indah menghiasi gelapnya kota di malam hari.

“Aku baru tahu Bandung seindah ini di malam hari,” ujar Ayyara mengagumi pemandangan di hadapannya. Dia menoleh ke arah Haikal saat pemuda itu merangkul bahunya.

“Bandung memang indah, tapi kamu jauh lebih indah,” balas Haikal sambil tersenyum penuh makna. “Jadi, kamu nyesal gak pindah ke Bandung?” tanyanya mengingat Ayyara sempat tak suka tinggal di Bandung saat pertama kali pindah ke kota ini tiga tahun lalu.

Gadis cantik itu menggeleng pelan lalu kembali menatap lurus ke depan, ke arah kota. “Nggak.”

“Kenapa?”

Ayyara menarik napas dalam kemudian menatap Haikal. Ia tersenyum. “Soalnya bisa ketemu kamu. Aku merasa bersyukur ikut papa pindah ke Bandung, kalau waktu itu aku nekat balik ke Jakarta pasti kita gak bakal ketemu.”

Haikal mengangguk-anggukan kepalanya seraya mengusap bahu Ayyara lembut. “Harusnya aku yang bersyukur bisa ketemu kamu.”

Hening sesaat sampai tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya, “Kalau kamu pulang ke Jakarta gimana?”

“Kamu mau aku pulang ke Jakarta?” tanya Ayyara balik. Dia tahu ada rasa khawatir dan takut kehilangan dari pertanyaan Haikal barusan.

“Nggak lah, aku gak mau,” sanggah Haikal cepat. Pemuda itu melepaskan rangkulannya dan beralih menggenggam tangan Ayyara erat. “Jangan tinggalin aku, ya.”

Ayyara membalas genggaman tangan Haikal. Dia juga tidak ingin meninggalkan pemuda kesayangannya itu. “Tapi seandainya papa bawa aku pulang ke Jakarta, kamu bakal gimana?”

Haikal menghela napas berat, dia diam sesaat sampa akhirnya berbicara, “Aku ke Jakarta, susul kamu sama keluarga aku.”

“Mau ngapain sama keluarga kamu?” tanya gadis berparas cantik itu bingung.

Haikal memutar tubuhnya menghadap Ayyara. Ditatapnya netra milik sang lawan bicara dengan pandangan yang sulit diartikan. “Mau lamar anak gadisnya papa kamu biar ikut tinggal di Bandung terus sama aku,” jawabnya mantap.

“Gak harus di Bandung sih, tapi yang penting sama aku terus,” lanjutnya sambil tertawa kecil. Dia kembali mentap Ayyara tepat di netranya kemudian mengusap rambut gadis yang dicintainya itu lembut. “Akan aku pastikan di mana bumi dipijak, di situ selalu ada kamu di samping aku.”