Jeanoura
Pemuda tampan yang memakai hoodie hitam itu mengetuk pelan pintu kamar sosok terkasihnya, dapat dia dengar isakan pelan yang berasal dari gadis itu. Suara isakan itu cukup membuat hatinya terasa nyeri, gadisnya menangis karenanya, dia pacar yang buruk. “Noura, boleh keluar kamar? Gua di sini, kangen kan?”
Sesaat setelahnya isakan gadis itu tidak terdengar lagi, berganti dengan suara rusuh dari dalam sana. “Lo ngapain ke sini? Pulang aja, capek kan habis rapat,” ucapnya dengan suara serak khas orang yang baru saja menangis.
Jeno menghela napas tertahan mendengar suara Noura, separah itu kah kesalahannya sampai membuat gadis itu menangis hingga suaranya serak seperti itu. “Karena gua capek makanya ke sini, mau ketemu lo,” ucapannya terjeda. “Lo mau ketemu gua nggak?”
Diam. Gadis itu tidak menjawab apapun, bahkan tidak ada suara dari dalam kamar itu, sedangkan Jeno ikut diam menunggu gadis itu bersuara, tapi nyatanya gadis itu tetap diam dan tak bersuara sama sekali. “Gak mau, ya? Kalau gitu gua pamit pulang, ya. Nanti kalau gua udah pulang, lo turun ke bawah, ada roti bakar di meja makan. Lo bilang lo suka roti bakar buatan gua kan, udah gua buat tadi, jangan lupa dimakan, ya.”
Pemuda tinggi itu menghela napas berat, gadis itu tidak merespon sama sekali. Dia berbalik hendak berjalan turun, tapi baru satu langkah, pintu kamar itu terbuka dan dengan cepat si penghuni kamar memeluk tubuh tegap si pemuda dari belakang. Dapat pemuda itu dengar sang kekasih kembali terisak pelan. “Noura.”
“Jangan balik badan!” larang gadis itu cepat karena Jeno yang berusaha memutar tubuhnya agar menghadap Noura.
“Kenapa?”
“Malu,” cicit gadis itu pelan. Dia berani bersumpah pasti sekarang wajahnya merah dan ingus yang mengalir dari hidung, benar-benar menjijikan.
Jeno terkekeh gemas kemudian memutar tubuhnya, mengabaikan larangan gadis itu tadi. Dia merengkuh tubuh itu erat dan menyembunyikan wajah cantik si gadis dalam dekapannya. “Lo malu?” tanyanya yang dibalas anggukan Noura. “Lo ikutin langkah gua, gua anterin ke kamar mandi.”
Senyum manis terbit di bibir gadis itu seraya mengikuti langkah Jeno menuju kamar mandi yang ada di lantai dua rumah itu. “Kenapa harus lo anterin? Kan gua bisa pergi sendiri, lo tinggal tutup mata aja,” tanya Noura bingung karena Jeno mempersulit acara ke kamar mandinya.
Jeno mendekatkan bibirnya ke telinga gadis pemenang hatinya itu. “Karena gua masih mau meluk lo, jarang-jarang bisa peluk lo kayak gini soalnya.” Dia tersenyum lebar karena menyadari telinga gadis itu yang memerah.
Setelah sampai di depan kamar mandi dan menyalakan lampunya, Jeno melepas pelukannya dan berjalan menjauh dari kamar mandi, membiarkan gadis itu mencuci wajahnya sampai dia tidak merasa malu lagi dengan penampilannya. “Kalau udah selesai bilang, ya.”
Lima menit kemudian gadis itu keluar dari kamar mandi dan menepuk pelan bahu si pemuda. “Udah.”
Jeno menoleh lalu mengangguk, dia menautkan jarinya dengan jari milik Noura. “Tangan lo enak digenggam, besok-besok gua genggam lagi ya,” ucapnya santai lalu menarik gadis itu agar turun ke ruang tamu.
Pemuda itu meminta Noura untuk duduk di ruang keluarga sementara ia pergi ke dapur untuk mengambil roti bakar milik gadis itu. “Dimakan roti bakarnya, spesial buat lo karena bisa menangin hati gua.”
“Apa banget dih,” ujar gadis itu tergagap karena salah tingkah. Dia bahkan mengalihkan pandangannya dari Jeno karena dia yakin wajahnya pasti memerah.
Jeno tersenyum lebar melihat respon malu-malu gadis itu. “Gua izin buka hoodie, ya.” Dia bangkit lalu membuka hoodie yang dikenakannya dan menyisakan kaus putih polos yang melekat pada tubuh atletisnya.
Noura yang melihat sang kekasih hanya mengenakan kaus putih polos mendadak gelagapan. “Lo pakai lagi aja deh hoodie-nya, gak gua izinin lepas hoodie.”
“Kenapa?” Sebelah alis pemuda itu terangkat bingung.
“Lo ganteng banget, gua bisa mimisan kayaknya,” ucap gadis itu polos membuat Jeno tertawa gemas lalu menarik pelan hidung si cantik.
“Ganteng banget emangnya?” tanya pemuda itu menggoda. “Nanti gua sering-sering pakai kaus kayak gini pas bareng lo deh.”
Noura membulatkan matanya kemudian menyilangkan tangannya membentuk tanda silang. “Nggak, gak usah kayak gitu. Gua gak mau mati muda, ya.”
“Ya udah nggak, sekarang habisin dulu roti bakarnya.” Dia menunjuk roti bakar milik Noura yang masih tersisa satu suap.
“Kenapa buru-buru banget? Lo mau pulang?” tanya gadis itu beruntun.
Jeno menggeleng. Dia beralih menatap netra cokelat gadis itu. “Gua belum mau pulang. Ada yang mau gua lakuin pas lo udah selesai makan, jadi, jangan coba-coba dilama-lamain makannya.”
Noura tertawa karena ucapan Jeno yang seolah tau jika dia akan memperlambat acara makan roti bakarnya. “Emang lo mau ngapain?” tanyanya kemudian memasukan suapan terakhir roti bakar ke dalam mulutnya.
Jeno tersenyum penuh makna. “Rahasia.” Dia memberikan gelas berisi air pada gadis itu ketika selesai makan. “Udah selesai kan?”
Gadis itu mengangguk seraya menelan air yang berada di mulutnya. “Jadi, apa yang mau lo lakuin?”
Bukannya menjawab Jeno malah mengubah posisi duduk gadis itu menjadi menghadapnya. “Nah, gini baru pas,” ucapnya puas. “Lo tadi nanya kan gua mau ngapain, sekarang siap gak?”
Gadis itu mengangguk kikuk, bingung dengan apa yang akan pemuda itu lakukan, tapi di lain sisi dia juga penasaran.
Jeno mengambil tangan gadis itu lalu menggenggam tangan itu lembut. “Selamat malam, Noura. Gimana harinya? Ada kabar baik apa hari ini? Ada masalah gak?”
Noura mengerjapkan matanya terkejut dengan tingkah Jeno. Apa benar ini Jenonya?
Pemuda itu tersenyum simpul melihat ekspresi bingung dan kaget yang begitu ketara di wajah Noura. “Tadi pelajaran di sekolah ada yang susah nggak? Tadi katanya ada ulangan kimia, ya? Bisa ngerjainnya nggak?”
Kening gadis itu berkerut bingung. “Jeno….”
Pemuda itu tidak membalas ucapan Noura, dia malah mengusap tangan kecil gadis itu sebagai respon.
“Lo kenapa tiba-tiba kayak gini? Gua… bingung….” Gadis itu berujar pelan. Dia tidak mengerti kenapa sifat Jeno bisa seberubah ini.
Samar pemuda itu tersenyum kecut, dia terlalu dingin pada sang kekasih hingga saat dia memperlakukannya seperti ini gadis itu malah kebingungan. “Gua terlalu cuek, ya, sampai lo ngerasa ini bukan gua? Maaf, ya, karena jadi terlalu cuek padahal lo pacar gua.”
Noura diam, otaknya sibuk mencerna apa yang terjadi sekarang, Semua inderanya bekerja berusaha memahami keadaan yang terjadi sekarang.
Jeno menarik napas tertahan setelah itu memeluk tubuh mungil sang kekasih dengan lembut seolah dapat menghancurkannya jika tidak berhati-hati. Dia meletakan kepalanya di pundak sang kekasih. “Maaf, Noura. Maaf karena jadi terlalu cuek, maaf karena ngalihin pembicaraan kita sore tadi, maaf karena gak ngabarin lo, maaf karena udah buat mata yang selalu gua tatap malam nangis, maaf buat lo harus nahan rindu, maaf untuk semuanya, Noura.”
“Jeano…”
“Maaf, Noura. Gua sayang banget sama lo, tapi gua bingung gimana cara nunjukin itu ke lo. Kalau lo pikir gua gak kangen lo, itu salah besar, gua selalu kangen lo setiap tarikan napas gua. Gua benar benar sayang lo, Noura. Selalu.”