Mi amor
“Ambil tas lo, kita pulang sekarang.”
“Gak usah sok ngelarang gua kalau badan lo aja masih bau rokok,” ucap gadis itu diakhiri tawa sarkas. “Gua gak punya urusan sama lo. Pergi.”
Pemuda berjaket kulit itu menjilat pipi bagian dalamnya kemudian terkekeh pelan. “Gua gak punya urusan sama lo? Serius?” Dia menarik dagu gadis itu. “Do i not have anything to do with you? But you're too attractive to ignore.”
Rachel menepis tangan Julian dari dagunya. “Banyak bacot.” Si cantik beralih mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rooftop yang sedari tadi dia gunakan untuk menatap pemandangan kota.
“Apa gua harus kayak gini dulu baru lo mau pulang?” tanya Julian setengah berteriak karena Rachel mulai berjalan turun. Senyum tersungging di bibirnya kemudian menyusul gadis itu turun ke lantai dasar.
Julian memeluk pinggang Rachel posesif ketika mereka sampai di lantai dasar. Tempat itu benar benar ramai karena merupakan restoran makanan tradisional yang cukup ramai diminati.
Rachel mencoba melepas pelukan tangan Julian dari pinggangnya. “Gua gak bakalan hilang, lo gak harus meluk pinggang gua kayak gini,” bisiknya. Jujur saja dia agak risih dengan tingkah Julian yang satu ini.
Bukannya melepas pelukan tangannya, Julian malah semakin mengeratkan tangannya itu. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Rachel lalu berbisik, “Bukan takut hilang, gua cuman mau nunjukin kalau lo itu milik gua.”
“Brengsek,” desis Rachel kesal.
Julian yang diumpati Rachel hanya tersenyum manis. “Kita lihat seberapa banyak bibir manis lo itu bisa ngumpatin gua hari ini sampai akhirnya dia dapat hukuman.”
Julian melirik Rachel yang tengah membaca majalah yang baru gadis itu beli beberapa jam yang lalu. Dia menjauhkan rokoknya lalu berbalik agar dapat menatap si gadis dengan jelas. “Chel.”
Sunyi, tidak ada balasan dari gadis itu.
“Rachel.”
Masih sama, gadis itu tidak menjawab panggilan dari Julian.
“Mi amor, querido mi amor.” (Sayangku, sayangku cintaku)
Rachel menutup kesal majalahnya kemudian menatap tak minat pada Julian. “Apa?”
“Por qué eres tan hermosa mi amor,” (Kenapa kamu cantik sekali sayangku) ucap Julian sambil tersenyum lembut. Dia tertawa kecil sebelum kembali mengeluarkan kata kata manis yang menyebalkan dari kedua belah bibirnya. “Gua bukan seorang penyair yang jago dalam merangkai kata, tapi gua yakin gabungan nama lo dan gua adalah rangkaian kata paling indah yang pernah ada di dunia.”
Wajah gadis itu bersemu merah. Dia mengalihkan wajahnya, menahan gejolak aneh yang muncul di perut dan hatinya karena ucapan manis, tapi menyebalkan dari Julian.
“Did you get stupid butterflies in your stomach, mi amor?” tanya Julian menggoda. “Lo tau, gua selalu memuja lo. Lo adalah sosok paling indah yang gua temui di dunia ini. Aphrodite bahkan kalah sama lo.”
Rachel tersenyum miring, berusaha menyembunyikan senyum malu malu yang sialnya terus tersungging di bibirnya. “Apa yang sebenarnya mau lo omongin?”
“Do you want to know, mi amor?” Julian tersenyum kemudian menunjukkan rokoknya pada gadis itu. “Gimana kalau gua ngerokok tapi gak langsung rokok ke bibir gua.”
Kening Rachel berkerut bingung, dia tidak tau. “Emangnya bisa?”
“Bisa.” Julian mengangguk mantap. Dia menarik Rachel agar berdiri di hadapannya kemudian memeluk pinggang gadis itu dengan sebelah tangannya. “Pertama, dari rokok ke bibir lo baru ke bibir gua,” lanjutnya sambil berbisik di telinga Rachel.
“Brengsek,” umpat Rachel ikut berbisik.
“I think i know the right punishment for your sweet lips, mi amor.” Julian mengusap bibir Rachel pelan kemudian samar tersenyum miring.
Rachel balas tersenyum miring. Tiba tiba dia melingkarkan tangannya di leher Julian. “So, when are you going to start? I’m waiting.”
Julian tersenyum kemudian mencium kening Rachel lembut. “I won't do that, it's just dirty talk.”
“Why?”
Pemuda itu mematikan rokoknya. Dia beralih menatap manik jernih milik gadis di hadapannya. “Because you are too precious, mi amor.”