2. Pemakaman dan orang baru

Adena tidak bisa mengingat segalanya dengan jelas. Semuanya terjadi begitu cepat sampai membuat dirinya sendiri linglung.

Juan, kekasihnya, tengah dikebumikan di hadapannya saat ini juga. Lelaki yang lebih tua darinya dua tahun itu menjadi korban kecelakaan saat pulang kerja kemarin. Adena tidak menangis saat di pemakaman. Terlalu lelah dan tak memiliki sisa air mata setelah menangisi kepergian Juan semalaman.

Ini terasa seperti mimpi. Semuanya baik-baik saja kemarin. Juan masih menghubunginya sebelum dia pulang dari kantor.

Reynald, teman satu SMAnya sekaligus adik Juan mengusap bahu Adena berusaha menyemangatinya. “Semangat, Na. Lo kelihatan mengenaskan,” ujarnya diakhiri tawa kecil. Padahal dirinya sendiri lah yang lebih mengenaskan dibanding Adena.

Adena tidak menjawab, dia hanya balas mengusap tangan Reynald di bahunya dalam diam. Adena merasa dirinya tak kuat berdiri lagi dan akhirnya berpamitan pada Reynald untuk pulang lebih dulu.

Reynald mengerti dan membiarkan Adena untuk pulang dan beristirahat. Dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar perempuan itu pulang karena dia tidak yakin Adena masih memiliki tenaga untuk mengendarai mobilnya. Tapi Adena menolak dan mengatakan dia bisa naik kendaraan umum jika dirasa dirinya tak kuat. Reynald mengangguk pasrah dan membiarkan Adena berjalan keluar dari area pemakaman.

Baru setengah jalan, Adena merasa pandangannya berkunang-kunang dan kepalanya terasa sakit sekali. Kakinya juga terasa lemas dan tak bisa lagi menopang berat tubuhnya. Detik berikutnya tubuh perempuan itu jatuh ke tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Seorang laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Adena langsung berlari menghampiri perempuan itu dan menggendongnya menuju mobilnya. Dia harus segera membawa perempuan itu ke rumahnya untuk istirahat.

Sore harinya saat Adena bangun dari pingsannya, dia menemukan dirinya sudah terbaring nyaman di kasur miliknya. Selimut tebal miliknya juga lengkap menyelimuti tubuhnya.

Adena melirik ke arah nakas, ada mangkok besar berisi air dan sapu tangan basah di dalamnya. Sepertinya itu air bekas kompresan. Dia menurunkan kakinya dan berjalan keluar kamar. Alangkah terkejutnya dia saat mendapati seorang laki-laki tengah memasak di dapurnya. Dia terlihat mirip dengan Juan. “Juan….”

Laki-laki itu menoleh ketika mendengar suara Adena. Dia menatap sendu perempuan itu. “Gua Juna, bukan Juan.”

Adena tersenyum tipis, berusaha menutupi kesedihannya di hadapan laki-laki itu. “Lo mirip Juan,” ujarnya dengan suara serak karena tenggorokannya terasa kering.

Dengan sigap Juna mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Dia memberikan gelas itu pada Adena dan meminta perempuan itu untuk minum perlahan, “Pelan-pelan aja, gak ada yang minta minum lo.”

Adena tidak membalas dan meneguk habis airnya. Dia meletakan gelasnya di meja Kemudian mengamati apa yang dilakukan Juna di rumahnya. Baru saja ingin bertanya, tiba-tiba Juna berjalan menuju meja makan dan menarik salah satu kursinya. “Duduk sini, lo harus makan.”

Adena diam tak berkutik. Otaknya masih mencerna apa yang terjadi sekarang.

Tidak mendapat balasan dari Adena yang malah sibuk melamun, Juna langsung menghampiri perempuan itu dan menggendongnya. Katanya siapa tahu Adena tidak punya tenaga untuk berjalan lagi, jadi dia dengan suka rela menggendong perempuan itu ke meja makan.

“Di makan.” Juna mendorong mangkok berisi bubur ke hadapan Adena agar perempuan itu memakannya.

“Gak mau.”

Juna memutar matanya malas mendengar penolakan dari Adena. “Gua tahu lo sedih atas kepergian Bang Juan, tapi bisa gak usah lebay? Makan makanan lo.”

Adena mendelik kesal. “Lo siapa sebenarnya?” tanyanya ketus.

“Gua Juna, adiknya Bang Juan.”

Mata Adena sontak membulat. Dia menatap tajam Juna di sampingnya. “Nomor tiga?”

Juna mengangguk. Dia adik kedua dari Juan, kekasih Adena, atau anak ketiga dalam keluarga Bagaspati. “Mulai sekarang gua yang bakal gantiin Bang Juan—ini wasiat dari dia. Gua harap lo paham dan bisa kerja sama,” ujarnya dengan suara tenang.

Adena menggeram. Dia mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. “Gua gak mau!”

“Mau gak mau semuanya tetap berjalan,” kata Juna sedikit terjeda, “pertunangannya diundur sampai tiga bulan lagi.”

Kepalan tangan Adena semakin kuat. Dia menatap nyalang Juna yang terlihat santai. “Gua gak mau nikah sama lo,” ucapnya dengan menekankan setiap katanya.

Juna mengurut batang hidungnya. Berbicara dengan Adena membuatnya pusing. “Gua udah bilang 'kan, tolong kerjasamanya. Lo pikir gua mau nikah sama lo?”

“Gua cuman ngikutin wasiat Bang Juan,” lanjutnya memelan diakhir.

Adena menundukan kepalanya, merasa sedih dan bersalah di saat bersamaan.

“Yang tersiksa di sini bukan cuman lo, gua juga.” Nada bicara Juna terdengar frustasi. Laki-laki itu menyugar rambutnya ke belakang kemudian menatap lamat Adena yang masih menunduk. “Cukup nurut dan ikutin aja alurnya.