Solitude : Somewhere Only We Know

by aeadyvyn

This could be the end of everything. So why don't we go somewhere only we know?


Pemuda itu berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai ditumbuhi rumput liar, sesekali bibirnya terangkat membentuk senyuman karena teringat kenangan yang ada pada setiap bagian tempat itu.

Dia terus berjalan hingga danau yang berada di sana. Pandangannya mengedar, menatap tempat itu dengan perasaan campur aduk. Tatapannya kini beralih pada bangku kayu yang sengaja diletakan di tepi danau, posisinya masih sama seperti satu tahun lalu. Kakinya melangkah perlahan menuju bangku itu, menghampiri salah satu saksi bisu kisah mereka dulu.

Tubuh pemuda bertubuh tegap itu bergetar pelan, dia menangis. Tangannya terulur mengusap bangku itu kemudian mendudukinya. Dia tersenyum masam, merasa déjà vu dengan hal ini. Bangku yang sama, tempat yang sama, perasaan yang sama, tapi yang berbeda hanya ketidakhadiran sosok itu di sini, di sebelahnya.

“Rasanya aku jadi satu-satunya orang yang tetap diam dan gak bergerak sama sekali. Harusnya aku bisa mulai semuanya dari awal. Tapi maaf, perasaanku selalu tertuju ke kamu.” Pemuda itu berujar entah pada siapa. “Sendiri itu nggak enak.”

Pemuda bersurai kelam itu kembali menangis, dia menutup wajahnya dengan tangannya. Jika ada hal yang lebih besar dari menangis bisa mendeskripsikan perasaan rindunya, dia pasti akan melakukan itu. Dia benar-benar merindukan sosok gadis itu.

Dia berharap di tengah tangisnya gadis itu akan datang dan merengkuh tubuhnya penuh sayang, membisikan kata-kata penenang yang akan membuat pikirannya lebih tenang. Tapi itu semua hanya harapan belaka, yang dia dapatkan hanya ruang hampa di sekitarnya, tidak ada rengkuhan penuh sayang dan bisikan kata penenang. Dia sendiri.

“Jangan menangis.” Suara yang sangat dia kenal itu membuat tangisnya terhenti. Sontak kepalanya terangkat menatap sosok yang baru saja berujar itu, tapi kosong, dia hanya berhalusinasi. Tangis pemuda itu semakin keras dan terdengar memilukan.

Di lain sisi, sosok itu menatap pemuda yang tengah duduk di bangku kayu sambil tersenyum tipis. Sebagian perasaannya merasa senang karena pemuda itu masih mengingat tempat ini, tapi sebagian perasaannya merasa sedih melihat pemuda kesayangannya itu menangis. Dengan hati-hati dia berjalan mendekati si pemuda. “Kamu di sini juga.”

Pemuda itu tidak menjawab dan semakin menangis. “Sekarang aku dengar suaranya lagi, pasti halusinasi lagi,” racau pemuda itu sambil memukuli kepalanya sendiri. “Aku rindu kamu, aku rindu kamu.”

“Jangan kayak gini.” Gadis itu menggenggam kedua tangan pemuda itu agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. Dia mengangkat wajah si pemuda agar menatapnya kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipi pemuda berparas tampan itu. “Kamu gak halusinasi, aku di sini.”

Spontan pemuda itu langsung memeluk erat tubuh gadis terkasihnya. Dalam pelukan itu segala rindu dan cinta yang dia simpan baik-baik selama satu tahun ini dia salurkan pada gadis itu. Dipeluknya erat daksa itu seolah tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

“Aku juga rindu kamu,” ucap gadis itu sambil membelai surai kelam pemuda yang memeluknya erat.

Si tampan melepas pelukannya. Ditatapnya netra cokelat milik lawannya, tatapan yang menyiratkan rindu, cinta, dan rasa takut kehilangan itu terpancar dari netra si pemuda. “Jangan pergi lagi.”

Gadis itu terlihat tidak setuju dengan ucapan lawan bicaranya dan pemuda itu menyadari hal tersebut.

Pemuda itu tersenyum getir kemudian bertanya dengan suara parau, “This could be the end of everything. So why don't we go somewhere only we know?

![] (https://i.imgur.com/dWXO95Q.jpg)