tw // blood

“Bara.” Azka berdiri di ujung koridor. Pakaian pemuda itu nampak sedikit kotor dengan noda darah dan tanah. “Gua gak tau lo masih mau peduli atau nggak, tapi—”

“Tapi apa?” Pemuda itu, Bara, memotong cepat ucapan sang sahabat. “Cepetan ngomong, jangan banyak basa basi.”

Azka menghela napas berat. “Bani, dia ada di klinik sekarang.”

“Kenapa lagi bocah lemah itu?” tanya Bara sambil tertawa mengejek. Mau Bani ada di mana pun itu bukan urusannya. Tidak penting.

“Dipukulin Arya,” cicit Azka. Sedetik kemudian Bara langsung melempar buku yang tengah dia pegang lalu berlari entah kemana. Bisa Azka lihat wajah pemuda itu yang berubah panik. “Gengsi lo gede banget, Bar,” gumamnya.


Bara mengatur napasnya yang tidak beraturan karena panik. Setelah merasa lebih baik, dia merapikan penampilannya lalu masuk ke dalam bangunan yang bertuliskan klinik itu. Dapat dilihatnya Rama yang tengah membopong tubuh Bani.

“Lo ngapain di sini?” tanya Rama sedikit tidak suka.

Bara yang diberi pertanyaan seperti itu mengangkat sebelah alisnya. “Maksud lo apa? Lagian ini tempat umum, terserah gua mau ngapain.”

Rama menghela napas kesal lalu membantu Bani berjalan keluar klinik, tapi dengan cepat langkahnya dihentikan oleh Bara. “Lo mau ke mana?”

“Gua mau nganter dia pulang,” jawab Rama kesal karena tingkah tidak jelas Bara.

“Gua gak nanya lo.” Bara melayangkan tatapan tidak sukanya pada Rama. “Lo, Bani. Jawab gua, cuman digebukin doang gak bikin lo gagu kan.”

“Aku mau pulang, Bara.” Pemuda itu menjawab sambil meringis pelan. Tubuhnya benar-benar sakit dan yang sekarang dia butuhkan hanya istirahat di rumahnya dengan tenang.

“Lebay,” ejek Bara ketika mendengar ringisan sang kakak kembar. Dia berjalan ke hadapan Bani kemudian berbalik dan berjongkok. “Naik. Lo pulang sama gua.”


Bara menarik kasar Bani masuk ke dalam rumah. Dia melempar asal tasnya lalu meninju Bani hingga pemuda itu tersungkur ke lantai rumah yang dingin. Kakinya terangkat bergerak menendang tubuh tegap itu.

Yang ditendang hanya bisa meringkuk menahan sakit di tubuhnya karena tendangan yang didapatnya dari pemuda itu. Bisa dipastikan luka di tubuhnya akan berdarah kembali, mengingat lukanya baru saja dia dapat beberapa jam yang lalu.

“Berlutut.” Bara menarik tangan Bani agar berlutut di hadapannya. Kakinya melangkah menuju meja dan mengambil sekaleng biskuit. Bara melempar kaleng itu ke kepala Bani dengan sepenuh tenaganya. Matanya memerah karena amarah.

Bani yang kepalany dilempar kaleng hanya bisa meringis menahan sakit. Dia merasa sesuatu mengalir dari dahinya dan terus mengalir hingga menetes ke lantai. Kepalanya kembali berdarah.

Bara menarik rambut Bani kasar dan membuat pemuda itu mendongak menatapnya. Bani tersentak. Bukan karena tarikan kasar di rambutnya, tapi tatapan yang dilayangkan adik kembarnya. Tidak ada yang benar benar berubah dari tatapannya, masih sama, tatapan penuh benci. Tapi ada yang sedikit berbeda kali ini, tersirat rasa khawatir di mata pemuda yang lebih muda sepuluh menit darinya itu.

“Lo selalu selemah ini, hah!” tanyanya sambil berteriak. Suara pemuda itu terdengar bergertar entah karena apa. “Arya mukulin lo kenapa gak lo balas! Lo tuh emang suka banget dipukulin ya!”

“Maaf, Bara,” lirih Bani. Jauh dalam lubuk hatinya dia membenarkan ucapan pemuda itu. Adiknya benar, dia memang lemah.

Bara mengalihkan pandangannya lalu mengusap wajahnya kasar dengan sebelah tangannya. Perlahan dia berlutut menyamakan tingginya dengan Bani yang juga berlutut. Dengan hati-hati dia mengusap pipi Bani yang terlihat lebam. “Maaf,” lirihnya. Perlahan cengkraman tangannya di rambut Bani terlepas dan berganti dengan usapan lembut di kepala sang kakak. Dia memeluk tubuh tegap pemuda itu sambil terisak pelan. “Maaf.”

Bani tersenyum lebar, ini pertama kalinya Bara memeluknya setelah sekian lama. Dia benar benar bahagia. Dia rasa dia akan menandai hari ini sebagai hari terbahagia dalam hidupnya. “Bunda… Bara peluk Bani. Bani gak bohon kan, Bara sayang Bani, Bunda.