Your lips
Kelas yang kosong dan hanya dihuni dirinya sendiri membuat Ghava mengantuk. Dia yang memang tidak ingin menahan kantuk langsung melipat tangannya dan menjadikannya sebagai bantal di atas meja. Kemudian menyamankan posisinya sebelum akhirnya memejamkan matanya yang kian berat.
Suara pintu terbuka dengan kasar terdengar beberapa menit kemudian dan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di sana. Ghava yang terkejut langsung mengangkat kepalanya dan menatap pelaku pembuka pintu itu. Jareth pelakunya. Pemuda bermata sipit itu berdiri di depan pintu dengan sebelah tangan di dalam saku.
Ghava mendengus kesal karena kembali bertemu Jareth sendirian seperti ini. Dia ingin pergi, tapi rasanya malas sekali mengangkat tubuhnya dan berjalan keluar dari kelas. Lagi pula dia yang lebih dulu berada di kelas, jadi, satu-satunya yang harus pergi dari sini adalah Jareth. Ghava memilih mengabaikan pemuda itu dan kembali meletakkan kepalanya untuk melanjutkan tidurnya yang terganggu.
Jareth sadar Ghava mengabaikannya. Dia menutup pintu kelas dengan sedikit kasar agar Ghava merasa terusik dan kembali menatapnya. Tapi nyatanya Ghava malah asyik memejamkan matanya dan tak merespon tindakannya barusan. Jareth kesal. Dia tidak suka diabaikan, terlebih oleh Ghava—entah kenapa seperti itu. Maka dengan pasti dia berjalan menghampiri meja Ghava dan ikut meletakkan kepalanya di meja seperti yang pemuda itu lakukan.
Ghava yang kali ini benar-benar merasa jengkel karena meja yang dipakainya bergerak langsung membuka matanya. Dan yang pertama kali ditatapnya saat matanya terbuka adalah wajah Jareth. Di posisi seperti ini, Ghava bisa mengamati dengan jelas wajah Jareth. Alis yang tajam, mata sipit yang selalu menatap sinis orang-orang, hidung yang mancung, dan terakhir bibirnya yang tipis. Atau mungkin Ghava bisa menyelipkan sedikit opini tentang manis bibir pemuda itu.
Jareth menarik salah satu sudut bibirnya ketika menyadari pandangan Ghava berhenti di bibirnya. “Sweet isn't it?“
“Apa?” tanya Ghava karena kebingungan dengan konteks pembicaraan mereka.
“My lips.“
Ghava memutar matanya malas. Dia benar-benar kesal jika kembali membahas kejadian kemarin. “Stop bahas itu brengsek.”
Jareth tertawa kecil kemudian menjilat bibirnya. Dia mengangkat tangannya dan menyelipkan rambut Ghava yang sedikit menghalangi pandangan pemuda itu. Lalu dengan tiba-tiba dia mengusap pipi Ghava, membuat pemuda yang pipinya diusap langsung menahan napas. “Your lips, my lips, apocalypse,” bisiknya.
Hanya tiga kata sederhana, tapi mampu membuat jantung Ghava berdebar keras. Matanya mengikuti pergerakan Jareth yang kian mendekat dengan tangan yang kini turun menuju tengkuknya.
Dan tanpa disadarinya, kedua birai itu kembali bersatu tanpa halangan. Saling mengecap manis satu sama lain.