“Lo udah lihat beritanya?” tanya satu dari empat pemuda SMA yang tengah duduk santai di rooftop sekolah menengan atas itu.
“Berita apaan?” tanya balik pemuda bername tag 'Gian'. Pemuda itu menatap satu persatu teman temannya, menunggu salah satu dari mereka yang menjawab pertanyaan darinya barusan.
Bukan jawaban yang Gian dapat, tapi sebuah pukulan kencang di punggungnya dari Gibran. “Lo nonton berita gak sih? Beritanya lagi ramai banget.”
“Berita pembunuhan lima orang dalam waktu tiga minggu terakhir. Lokasi kejadiannya di dekat sini,” tambah pemuda bernama Yuma. “Pelakunya belum ketemu sampai sekarang. Malah kemarin baru aja ada kasus baru.”
Gian bergidik ngeri karena mengetahui tempat kejadian perkara berada di dekat sekolahnya. “Serem amat dah. Emang sesusah apa sih cari pelakunya sampai polisi butuh waktu lama.”
Gibran menggeleng gelengkan kepalanya tidak setuju dengan ucapan Gian barusan. “Buktinya gak ditemukan di lokasi. Sidik jari pelaku aja gak ketemu. Dia terlalu jago untuk seorang pembunuh amatir.”
“Gibran bener. Dia bukan sekedar pembunuh biasa.” Naka yang dari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara. “Dia bunuh korbannya dengan zat kimia alias diracuni.”
“Pasti pelakunya tertarik sama kimia,” celetuk Yuma. Itu cukup masuk akal karena si pelaku membunuh menggunakan zat kimia.
Gibran menggeleng lagi. “Dia belum tentu suka kimia.”
“Gua kesel banget!” Rian yang baru datang menendang kesal kaleng kosong yang berada di dekat kakinya.
“Lo kenapa lagi?” tanya Naka bingung.
Raja muncul dari balik pintu rooftop kemudian menutupnya. “Biasa lah, remedial kimia.”
Gian menatap bingung Raja. Remedial kimia? Bukannya Raja suka dan cukup pandai di pelajaran itu. “Lo remedial?”
Raja menggeleng cepat sambil membuat tanda silang dengan tangannya. “Bukan gua. Noh, si Rian.”
Yuma tertawa meledek. “Gak kaget sih si Rian remedial kimia. Setiap ulangan aja jawabnya pakai capcipcup.”
“Lo gak usah menghina, ya! Tapi bener sih,” balas Rian santai mengundang tawa dari kelima pemuda lainnya.
Naka menyenderkan tubuhnya ke sofa tua yang berada di belakangnya. “Kali ini nilai kimia lo berapa?”
Rian memasang wajah berpikir yang terlihat menyebalkan di mata Gian. “Lo gak usah sok-sokan pakai wajah mikir gitu. Kayak bisa mikir aja.”
“Heh, gua nih bisa mikir ya, cuman agak lambat aja,” balas Rian tidak terima. “Nilai gua seharga tujuh gorengan Bi Imah plus es teh manis.”
“Dua belas,” ucap Raja mewakili. “Itu nilai atau jumlah hutang si Yuma di kantin dah.”
Rian tertawa. “Ya, nilai dong, kalau hutang Yuma mah bukan dua belas, lebih dari itu.”
“Kenapa jadi bahas hutang gua sih. Mending kita bahas pelaku pembunuhan kemarin, gua masih pena—” Ucapan Yuma terputus karena tiba-tiba ada yang melempar batu cukup besar ke arah mereka dari bawah.
Raja yang kesal buru-buru mencari siapa pelaku pelemparan batu itu. Untung saja tidak ada yang terkena lemparan batu itu. “Siapa sih yang lempar batunya? Kurang kerjaan aja, gimana kalau kena kepala salah satu dari kita!”
“Santai, Ja.” Rian menarik tangan Raja agar duduk di sampingnya. “Eh, tapi itu batunya di bungkus sesuatu gak sih.” Pemuda itu menunjuk batu yang beberapa menit lalu terlempar ke arah mereka.
Naka mengambil batu itu lalu membuka pembungkusnya. Itu adalah kertas berisi beberapa kalimat yang cukup membuat sakit kepala karena berpikir.
Di muka di pucuk hidung. Dia berada di dekat kita semua, bermain peran dengan baik seolah tak terlibat sama sekali. Dia si pembunuh yang dicari, berada di antara kalian.
SPU 88
Yuma berdecak tidak percaya. “Apaan sih maksudnya? Gak jelas.”
Gian menatap aneh Yuma yang nada bicaranya terdengar aneh. “Lo kenapa? Ada masalah? Nada bicara lo aneh.”
“Gua takut.” Yuma menyisir rambutnya dengan jari. “Ini kita baru aja disuruh cari pembunuh itu kan? Apa lo gak takut berurusan sama si pembunuh itu? Gua sih takut, apa lagi katanya dia ada di antara kita.”
Rian mengambil kertas itu kemudian membacanya ulang. “Di muka di pucuk hidung. Dia berada di dekat kita semua, bermain peran dengan baik seolah tak terlibat sama sekali. Dia si pembunuh yang dicari, berada di antara kalian. SPU 88. Maksudnya apa?”
“Di muka di pucuk hidung artinya dekat sekali di depan orang.” Naka menautkan kesepuluh jarinya, dia menatap teman temannya itu bergantian dengan pandangan yang sulit diartikan. “Maksudnya, dia ada di depan kita.”
Gibran terkekeh pelan. “Ternyata lo jago juga nafsirin peribahasa kayak gitu,” pujinya mengundang tatapan aneh dari Naka.
Naka hanya memasang wajah tanpa ekspresi, menurutnya pujian dari Gibran terdengar sarkastik. “Gua pernah baca pribahasa itu.”
“Kalau SPU itu singkatan dari apa?” tanya Rian berusaha meredakan suasana tidak mengenakan dari Gibran dan Naka.
Raja menautkan alisnya, dia berujar ragu, “SPU? Sistem periodik unsur? Gua cuman kepikiran itu sih.”
Semua mata kini tertuju pada Raja, tatapan dengan berbagai makna tertuju padanya. Semuanya terdiam, terlebih Gian yang teringat ucapan Naka tadi bahwa si pelaku membunuh dengan zat kimia. Bukankah sistem periodik unsur itu bagian dari kimia?
“Kalau gitu 88 itu apa?” tanya Rian lagi. Satu langkah lagi maka mereka akan tau siapa si pembunuh itu.
Raja terdiam, berusaha mengingat-ingat unsur bernomor 88 itu. “Nomor atom 88, radium. Simbolnya Ra.”
Seketika suasana di antara mereka menegang. Ra, ada tiga orang di sini yang namanya terdapat huruf r dan a, yaitu Gibran, Raja, dan terakhir Rian.
“Itu inisial nama kan?” tanya Gian memecah keheningan di rooftop. Tapi pertanyaan itu terasa tidak tepat karena lebih terdengar seperti pernyataan. “Di sini yang namanya ada huruf 'R' dan 'A' itu kalian bertiga, Gibran, Raja, dan Rian.”
Yuma mengangguk setuju dengan pernyataan Gian barusan. “Dan jangan lupa kalau si pelaku membunuh dengan racun, berarti dia adalah orang yang cukup mengerti di bidang kimia.”
“Lo nuduh gua?” tanya Raja tak terima karena merasa dituduh secara tidak langsung. “Tuduhan lo gak berdasar.”
Naka menjilat bibirnya yang kering. “Yuma gak nuduh lo, dia nuduh orang yang cukup paham di bidang kimia. Dan ternyata lo jago di bidang ini, gua rasa wajar kalau kita naruh curiga sama lo.”
“Apa-apaan sih lo! Bukan gua pelakunya!” geram Raja. Karena dia pandai di pelajaran kimia bukan berarti dia pelakunya.
Gian tertawa mengejek. “Wih, santai dong, biasa aja. Jujur aja sih, gua curiga sama Gibran dan Raja karena mereka cukup jago di pelajaran kimia. Kalau Rian mah kayaknya nggak, nilai kimia dia aja seharga gorengan.”
Gibran menghela napas berat. “Kayaknya gua udah bilang tadi, membunuh dengan zat kimia bukan berarti dia pandai di bidang kimia,” ucapnya penuh penekanan.
“Ya, tapi lo berdua itu paling memungkinkan,” tambah Yuma yang disetujui Gian dan Rian.
“Lo gak perlu pandai di bidang kimia untuk tau apa zat yang beracun,” ujar Naka dengan suara beratnya. “Gak bermaksud membela siapa-siapa, tapi ucapan Gibran masuk akal. Lagi pula kita gak ada yang tau usaha si pelaku untuk tau tentang zat kimia itu kan.”
Rian tersenyum miring. “Apa yang coba lo omongin, Naka.”
Naka menatap Rian dengan pandangan yang sulit diartikan. “Zaman udah modern, gak butuh waktu lama untuk cari tau zat kimia beracun di internet kan.” Tepat pada akhir kalimat Naka beralih menatap Gibran dengan seutas senyum miring di wajahnya.
Gibran mengangkat sebelah alisnya sebagai respon. Naka tau sesuatu. Gibran tersenyum simpul lalu membuka kaleng kopi instan miliknya kemudian meneguk sepertiga dari isinya.
“Apa cuman itu clue-nya? Gua rasa si pengirim gak ninggalin satu doang. Terlalu ambigu kalau hanya ada satu clue karena di antara kita ada tiga orang yang cocok dengan clue pertama.” Raja mengambil kertas itu lalu memperhatikannya dengan seksama. Tak lupa tangannya meraba permukaan kertas itu, barangkali terdapat cetakan tulisan yang membekas di kertas. Dan benar saja, di bagian bawah kertas terdapat bekas cetakan tulisan. “Ada yang bawa pensil?”
Yuma mengeluarkan pensil dari dalam tasnya kemudian memberikannya pada Raja. Pemuda dengan rambut hitam pekat itu dengan cepat mengarsir bagian bawah kertas. Perlahan arsiran itu menunjukkan tulisan 'Ricinus communis'.
“Itu apa lagi?” tanya Rian cepat.
“Ricinus communis, tanaman jarak, penghasil racun risin.” Bukan Raja yang menjawab, melainkan Gibran. “Racun ini lebih mematikan enam ribu kali dibandingkan racun sianida dan lebih berbahaya 12.000 kali dibandingkan racun ular derik. Racun ini bahkan disebut-sebut nggak memiliki obat penawar.”
Yuma dan Gian menatap Gibran penuh selidik. “Kok lo bisa tau?” tanya Yuma dengan nada menuduh.
“Polisi baru aja bilang itu beberapa hari lalu di konferensi pers,” jelas Gibran membuat Yuma dan Gian bungkam.
“Gimana kalau ternyata pembunuh itu gak ada di antara kita dan si pengirim batu ini cuman mau ngadu domba kita?” tanya Rian setelah lama diam. Dia menatap teman temannya bergantian, menunggu respon mereka terhadap ucapannya barusan.
Naka tertawa singkat. “Tapi gimana kalau ternyata yang dikatakan kertas itu benar?”
Gian mengacak rambutnya frustasi, kepalanya terasa pening memikirkan ini. “Mending kita berhenti aja, berhenti cari tau siapa pembunuhnya. Itu bukan urusan kita kan.”
Tiba tiba kaleng kopi instan milik Gibran tumpah mengenai kertas itu dan membasahi hampir seluruh kertasnya.
“Maaf, gua gak sengaja,” ucap Naka tidak enak hati pada Gibran yang kopinya tidak sengaja dia senggol hingga tumpah seluruhnya.
“Yah, kertasnya basah.” Raja mengangkat kertas itu agar tidak semakin basah karena kopi Gibran barusan. “Eh, tunggu dulu, ada tulisan di sini.”
Raja kembali meletakkan kertas itu di tanah dan membiarkan kertas itu basah seluruhnya. Beberapa huruf kembali muncul saat kertas itu basah, kini bertuliskan 'OGLG'.
“Ini apaan lagi,” keluh Gian kesal. Kepalanya sudah sangat pusing, tapi teman temannya tidak kunjung berhenti mencari siapa pelakunya.
Yuma mengerutkan keningnya, berusaha meneliti tulisan itu. “Itu kayak sandi gak sih? Sandi apa yang kayak gitu?”
“Kayaknya gua pernah lihat ini,” celetuk Rian. “Kita pernah belajar ini waktu kelas sepuluh.”
“Itu sandi merah putih,” jawab Naka dan Gibran bersamaan. “Gua rasa tanda garis bawah itu nandain ada huruf sebelumnya,” tambah Naka.
“Berarti nama si pelaku ada empat huruf maksud lo?” tanya Yuma memastikan ucapan pemuda kelahiran bulan delapan itu.
Naka mengangguk mantap. “Iya. Dan berarti Gibran bisa kita coret dari daftar.”
“Ini arti sandinya apa?” tanya Gian mengingatkan mereka semua pada tujuan awal. “Cari di internet aja sana, kepala gua udah pusing mikirin ini.”
Naka tersenyum simpul, dia menatap serius teman temannya kemudian berdeham pelan. “OG itu I, LG itu N. Iya kan, Rian?” Naka beralih menatap Rian dan tersenyum manis namun terlihat menyeramkan di mata yang lainnya.
Rian tertawa terbahak-bahak sambil menepuk tangannya. Dia menyeka air matanya yang keluar karena tertawa. “Yah, ketahuan, ya?” tanyanya dengan nada meledek.
Naka terkekeh pelan. “Kayaknya lo pantas menangin oscar deh, akting lo bagus banget sampai kita gak sadar kalau lo pelakunya.”
“Oh, iya dong, apa sih yang Rian gak bisa lakuin,” ucap pemuda itu bangga. “Siapa sih si keparat yang berani ngebongkar gua? Kurang ajar banget.”
Gian meneguk ludahnya gugup. “Gua gak nyangka lo kayak gini,” dia berujar pelan. “Ini bohong kan? Lo anak baik-baik, Rian, gak mungkin kayak gini.”
“Sayangnya itu benar.” Rian tertawa kemudian bangkit dari duduknya. “Gua mau mengucapkan terima kasih sama Raja karena mau ngajarin gua kimia. Makasih, ya, berkat lo gua tau tentang racun racun.”
“Gua bantu lo buat belajar pelajaran sekolah, bukan buat bunuh orang, Rian!” geram Raja. Dia tidak menyangka sahabatnya itu menjadi pembunuh berantai yang sedang ramai dibicarakan.
“Jangan lari! Lo harus mempertanggungjawabkan perbuatan lo di penjara,” peringat Yuma karena Rian yang tersenyum simpul seraya berjalan mundur menuju pinggir rooftop.
“Gimana, ya... gua sih mending langsung ke neraka dari pada harus ke penjara. Dadah.” Rian melambaikan tangannya sambil terkikik pelan, tepat setelah itu dia meloncat dari atas rooftop dan membuat Gian, Yuma, Raja, dan Naka panik.
Sedangkan itu Gibran malah tertawa pelan. “Gak semudah itu, Rian.”
Di bawah sana tubuh Rian terjatuh di atas matras yang sengaja diletakkan di sana untuk berjaga-jaga barang kali dia akan mencoba bunuh diri setelah kejahatannya terungkap.
Pemuda itu mengumpat pelan. Beberapa detik kemudian para polisi yang sudah berjaga di bawah sana langsung memborgol tangan Rian dan membawanya menuju kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.
“Dia masih hidup kan?” tanya Raja khawatir, apapun yang terjadi Rian tetap sahabatnya. “Loh, kok ada polisi.”
“Ada yang udah manggil mereka dari tadi kayaknya,” ucap Gibran santai. Dia mengambil tasnya kemudian memakainya. “Gua balik duluan, ya, udah ditunggu orang tua gua di rumah.” Gibran berlari keluar dari rooftop dan turun ke parkiran untuk segera pulang.
Yuma mengangguk singkat kemudian menatap curiga Naka. “Kok lo bisa tau kalau Rian pembunuhnya? Atau jangan-jangan lo yang ngirim batu itu dan manggil polisi?”
Naka menggeleng, dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Bukan gua orangnya, tapi Gibran.”
“Hah? Gibran?” beo Gian bingung.
“Korban ketiganya, kakak angkat Gibran,” jawab pemuda itu. “Ya, anggap aja ini bentuk dia balas dendam.”
Gian tertawa miris. “Gua gak nyangka kita bakal berakhir kayak gini.” Matanya mulai berkaca-kaca, memangnya siapa yang tidak sedih jika sahabatmu ternyata seorang pembunuh yang sedang menjadi buronan seluruh warga kota.
Raja menatap mobil mobil polisi yang mulai meninggalkan kawasan sekolah. “Gak ada yang pernah nyangka kita bakal berakhir kayak gini, Gian.”
Yuma mengusap bahu Gian, mencoba menenangkan pemuda itu. “Kita coba ambil hikmahnya aja. Kita juga gak tau apa alasan Rian ngelakuin itu, kita coba dengar alasannya dulu.”
Naka menghela napas berat saat mobil polisi terakhir meninggalkan sekolah. “Hidupterlalu serius untuk kita yang terlalu suka bercanda, tapi kadang hidup terlalubercanda untuk kita yang terlalu serius.”