vyn

“Percuma cantik kalo gak bisa jadi punya gua.” Riga tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Matanya fokus menatap gadis yang duduk tepat di seberangnya.

Sadar jika itu merupakan apa yang dari tadi ingin diucapkan Riga, gadis itu dengan cepat menegakkan tubuhnya. Geya menaikkan sebelah alisnya. “Kata siapa? Nyoba aja belum.”

Pemuda dengan hoodie hitam itu tersenyum lebar. “Ayo coba,” ajaknya dengan semangat.

“Oke.” Geya mengangguk setuju dengan ajakan Riga, tidak ada salahnya menerima ajakan itu bukan.

Riga menyisir rambutnya dengan tangan. “Taman kota jam tujuh, first date.”

“Lo udah lihat beritanya?” tanya satu dari empat pemuda SMA yang tengah duduk santai di rooftop sekolah menengan atas itu.

“Berita apaan?” tanya balik pemuda bername tag 'Gian'. Pemuda itu menatap satu persatu teman temannya, menunggu salah satu dari mereka yang menjawab pertanyaan darinya barusan.

Bukan jawaban yang Gian dapat, tapi sebuah pukulan kencang di punggungnya dari Gibran. “Lo nonton berita gak sih? Beritanya lagi ramai banget.”

“Berita pembunuhan lima orang dalam waktu tiga minggu terakhir. Lokasi kejadiannya di dekat sini,” tambah pemuda bernama Yuma. “Pelakunya belum ketemu sampai sekarang. Malah kemarin baru aja ada kasus baru.”

Gian bergidik ngeri karena mengetahui tempat kejadian perkara berada di dekat sekolahnya. “Serem amat dah. Emang sesusah apa sih cari pelakunya sampai polisi butuh waktu lama.”

Gibran menggeleng gelengkan kepalanya tidak setuju dengan ucapan Gian barusan. “Buktinya gak ditemukan di lokasi. Sidik jari pelaku aja gak ketemu. Dia terlalu jago untuk seorang pembunuh amatir.”

“Gibran bener. Dia bukan sekedar pembunuh biasa.” Naka yang dari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara. “Dia bunuh korbannya dengan zat kimia alias diracuni.”

“Pasti pelakunya tertarik sama kimia,” celetuk Yuma. Itu cukup masuk akal karena si pelaku membunuh menggunakan zat kimia.

Gibran menggeleng lagi. “Dia belum tentu suka kimia.”

“Gua kesel banget!” Rian yang baru datang menendang kesal kaleng kosong yang berada di dekat kakinya.

“Lo kenapa lagi?” tanya Naka bingung.

Raja muncul dari balik pintu rooftop kemudian menutupnya. “Biasa lah, remedial kimia.”

Gian menatap bingung Raja. Remedial kimia? Bukannya Raja suka dan cukup pandai di pelajaran itu. “Lo remedial?”

Raja menggeleng cepat sambil membuat tanda silang dengan tangannya. “Bukan gua. Noh, si Rian.”

Yuma tertawa meledek. “Gak kaget sih si Rian remedial kimia. Setiap ulangan aja jawabnya pakai capcipcup.”

“Lo gak usah menghina, ya! Tapi bener sih,” balas Rian santai mengundang tawa dari kelima pemuda lainnya.

Naka menyenderkan tubuhnya ke sofa tua yang berada di belakangnya. “Kali ini nilai kimia lo berapa?”

Rian memasang wajah berpikir yang terlihat menyebalkan di mata Gian. “Lo gak usah sok-sokan pakai wajah mikir gitu. Kayak bisa mikir aja.”

“Heh, gua nih bisa mikir ya, cuman agak lambat aja,” balas Rian tidak terima. “Nilai gua seharga tujuh gorengan Bi Imah plus es teh manis.”

“Dua belas,” ucap Raja mewakili. “Itu nilai atau jumlah hutang si Yuma di kantin dah.”

Rian tertawa. “Ya, nilai dong, kalau hutang Yuma mah bukan dua belas, lebih dari itu.”

“Kenapa jadi bahas hutang gua sih. Mending kita bahas pelaku pembunuhan kemarin, gua masih pena—” Ucapan Yuma terputus karena tiba-tiba ada yang melempar batu cukup besar ke arah mereka dari bawah.

Raja yang kesal buru-buru mencari siapa pelaku pelemparan batu itu. Untung saja tidak ada yang terkena lemparan batu itu. “Siapa sih yang lempar batunya? Kurang kerjaan aja, gimana kalau kena kepala salah satu dari kita!”

“Santai, Ja.” Rian menarik tangan Raja agar duduk di sampingnya. “Eh, tapi itu batunya di bungkus sesuatu gak sih.” Pemuda itu menunjuk batu yang beberapa menit lalu terlempar ke arah mereka.

Naka mengambil batu itu lalu membuka pembungkusnya. Itu adalah kertas berisi beberapa kalimat yang cukup membuat sakit kepala karena berpikir.

Di muka di pucuk hidung. Dia berada di dekat kita semua, bermain peran dengan baik seolah tak terlibat sama sekali. Dia si pembunuh yang dicari, berada di antara kalian.

SPU 88

Yuma berdecak tidak percaya. “Apaan sih maksudnya? Gak jelas.”

Gian menatap aneh Yuma yang nada bicaranya terdengar aneh. “Lo kenapa? Ada masalah? Nada bicara lo aneh.”

“Gua takut.” Yuma menyisir rambutnya dengan jari. “Ini kita baru aja disuruh cari pembunuh itu kan? Apa lo gak takut berurusan sama si pembunuh itu? Gua sih takut, apa lagi katanya dia ada di antara kita.”

Rian mengambil kertas itu kemudian membacanya ulang. “Di muka di pucuk hidung. Dia berada di dekat kita semua, bermain peran dengan baik seolah tak terlibat sama sekali. Dia si pembunuh yang dicari, berada di antara kalian. SPU 88. Maksudnya apa?”

“Di muka di pucuk hidung artinya dekat sekali di depan orang.” Naka menautkan kesepuluh jarinya, dia menatap teman temannya itu bergantian dengan pandangan yang sulit diartikan. “Maksudnya, dia ada di depan kita.”

Gibran terkekeh pelan. “Ternyata lo jago juga nafsirin peribahasa kayak gitu,” pujinya mengundang tatapan aneh dari Naka.

Naka hanya memasang wajah tanpa ekspresi, menurutnya pujian dari Gibran terdengar sarkastik. “Gua pernah baca pribahasa itu.”

“Kalau SPU itu singkatan dari apa?” tanya Rian berusaha meredakan suasana tidak mengenakan dari Gibran dan Naka.

Raja menautkan alisnya, dia berujar ragu, “SPU? Sistem periodik unsur? Gua cuman kepikiran itu sih.”

Semua mata kini tertuju pada Raja, tatapan dengan berbagai makna tertuju padanya. Semuanya terdiam, terlebih Gian yang teringat ucapan Naka tadi bahwa si pelaku membunuh dengan zat kimia. Bukankah sistem periodik unsur itu bagian dari kimia?

“Kalau gitu 88 itu apa?” tanya Rian lagi. Satu langkah lagi maka mereka akan tau siapa si pembunuh itu.

Raja terdiam, berusaha mengingat-ingat unsur bernomor 88 itu. “Nomor atom 88, radium. Simbolnya Ra.”

Seketika suasana di antara mereka menegang. Ra, ada tiga orang di sini yang namanya terdapat huruf r dan a, yaitu Gibran, Raja, dan terakhir Rian.

“Itu inisial nama kan?” tanya Gian memecah keheningan di rooftop. Tapi pertanyaan itu terasa tidak tepat karena lebih terdengar seperti pernyataan. “Di sini yang namanya ada huruf 'R' dan 'A' itu kalian bertiga, Gibran, Raja, dan Rian.”

Yuma mengangguk setuju dengan pernyataan Gian barusan. “Dan jangan lupa kalau si pelaku membunuh dengan racun, berarti dia adalah orang yang cukup mengerti di bidang kimia.”

“Lo nuduh gua?” tanya Raja tak terima karena merasa dituduh secara tidak langsung. “Tuduhan lo gak berdasar.”

Naka menjilat bibirnya yang kering. “Yuma gak nuduh lo, dia nuduh orang yang cukup paham di bidang kimia. Dan ternyata lo jago di bidang ini, gua rasa wajar kalau kita naruh curiga sama lo.”

“Apa-apaan sih lo! Bukan gua pelakunya!” geram Raja. Karena dia pandai di pelajaran kimia bukan berarti dia pelakunya.

Gian tertawa mengejek. “Wih, santai dong, biasa aja. Jujur aja sih, gua curiga sama Gibran dan Raja karena mereka cukup jago di pelajaran kimia. Kalau Rian mah kayaknya nggak, nilai kimia dia aja seharga gorengan.”

Gibran menghela napas berat. “Kayaknya gua udah bilang tadi, membunuh dengan zat kimia bukan berarti dia pandai di bidang kimia,” ucapnya penuh penekanan.

“Ya, tapi lo berdua itu paling memungkinkan,” tambah Yuma yang disetujui Gian dan Rian.

“Lo gak perlu pandai di bidang kimia untuk tau apa zat yang beracun,” ujar Naka dengan suara beratnya. “Gak bermaksud membela siapa-siapa, tapi ucapan Gibran masuk akal. Lagi pula kita gak ada yang tau usaha si pelaku untuk tau tentang zat kimia itu kan.”

Rian tersenyum miring. “Apa yang coba lo omongin, Naka.”

Naka menatap Rian dengan pandangan yang sulit diartikan. “Zaman udah modern, gak butuh waktu lama untuk cari tau zat kimia beracun di internet kan.” Tepat pada akhir kalimat Naka beralih menatap Gibran dengan seutas senyum miring di wajahnya.

Gibran mengangkat sebelah alisnya sebagai respon. Naka tau sesuatu. Gibran tersenyum simpul lalu membuka kaleng kopi instan miliknya kemudian meneguk sepertiga dari isinya.

“Apa cuman itu clue-nya? Gua rasa si pengirim gak ninggalin satu doang. Terlalu ambigu kalau hanya ada satu clue karena di antara kita ada tiga orang yang cocok dengan clue pertama.” Raja mengambil kertas itu lalu memperhatikannya dengan seksama. Tak lupa tangannya meraba permukaan kertas itu, barangkali terdapat cetakan tulisan yang membekas di kertas. Dan benar saja, di bagian bawah kertas terdapat bekas cetakan tulisan. “Ada yang bawa pensil?”

Yuma mengeluarkan pensil dari dalam tasnya kemudian memberikannya pada Raja. Pemuda dengan rambut hitam pekat itu dengan cepat mengarsir bagian bawah kertas. Perlahan arsiran itu menunjukkan tulisan 'Ricinus communis'.

“Itu apa lagi?” tanya Rian cepat.

Ricinus communis, tanaman jarak, penghasil racun risin.” Bukan Raja yang menjawab, melainkan Gibran. “Racun ini lebih mematikan enam ribu kali dibandingkan racun sianida dan lebih berbahaya 12.000 kali dibandingkan racun ular derik. Racun ini bahkan disebut-sebut nggak memiliki obat penawar.”

Yuma dan Gian menatap Gibran penuh selidik. “Kok lo bisa tau?” tanya Yuma dengan nada menuduh.

“Polisi baru aja bilang itu beberapa hari lalu di konferensi pers,” jelas Gibran membuat Yuma dan Gian bungkam.

“Gimana kalau ternyata pembunuh itu gak ada di antara kita dan si pengirim batu ini cuman mau ngadu domba kita?” tanya Rian setelah lama diam. Dia menatap teman temannya bergantian, menunggu respon mereka terhadap ucapannya barusan.

Naka tertawa singkat. “Tapi gimana kalau ternyata yang dikatakan kertas itu benar?”

Gian mengacak rambutnya frustasi, kepalanya terasa pening memikirkan ini. “Mending kita berhenti aja, berhenti cari tau siapa pembunuhnya. Itu bukan urusan kita kan.”

Tiba tiba kaleng kopi instan milik Gibran tumpah mengenai kertas itu dan membasahi hampir seluruh kertasnya.

“Maaf, gua gak sengaja,” ucap Naka tidak enak hati pada Gibran yang kopinya tidak sengaja dia senggol hingga tumpah seluruhnya.

“Yah, kertasnya basah.” Raja mengangkat kertas itu agar tidak semakin basah karena kopi Gibran barusan. “Eh, tunggu dulu, ada tulisan di sini.”

Raja kembali meletakkan kertas itu di tanah dan membiarkan kertas itu basah seluruhnya. Beberapa huruf kembali muncul saat kertas itu basah, kini bertuliskan 'OGLG'.

“Ini apaan lagi,” keluh Gian kesal. Kepalanya sudah sangat pusing, tapi teman temannya tidak kunjung berhenti mencari siapa pelakunya.

Yuma mengerutkan keningnya, berusaha meneliti tulisan itu. “Itu kayak sandi gak sih? Sandi apa yang kayak gitu?”

“Kayaknya gua pernah lihat ini,” celetuk Rian. “Kita pernah belajar ini waktu kelas sepuluh.”

“Itu sandi merah putih,” jawab Naka dan Gibran bersamaan. “Gua rasa tanda garis bawah itu nandain ada huruf sebelumnya,” tambah Naka.

“Berarti nama si pelaku ada empat huruf maksud lo?” tanya Yuma memastikan ucapan pemuda kelahiran bulan delapan itu.

Naka mengangguk mantap. “Iya. Dan berarti Gibran bisa kita coret dari daftar.”

“Ini arti sandinya apa?” tanya Gian mengingatkan mereka semua pada tujuan awal. “Cari di internet aja sana, kepala gua udah pusing mikirin ini.”

Naka tersenyum simpul, dia menatap serius teman temannya kemudian berdeham pelan. “OG itu I, LG itu N. Iya kan, Rian?” Naka beralih menatap Rian dan tersenyum manis namun terlihat menyeramkan di mata yang lainnya.

Rian tertawa terbahak-bahak sambil menepuk tangannya. Dia menyeka air matanya yang keluar karena tertawa. “Yah, ketahuan, ya?” tanyanya dengan nada meledek.

Naka terkekeh pelan. “Kayaknya lo pantas menangin oscar deh, akting lo bagus banget sampai kita gak sadar kalau lo pelakunya.”

“Oh, iya dong, apa sih yang Rian gak bisa lakuin,” ucap pemuda itu bangga. “Siapa sih si keparat yang berani ngebongkar gua? Kurang ajar banget.”

Gian meneguk ludahnya gugup. “Gua gak nyangka lo kayak gini,” dia berujar pelan. “Ini bohong kan? Lo anak baik-baik, Rian, gak mungkin kayak gini.”

“Sayangnya itu benar.” Rian tertawa kemudian bangkit dari duduknya. “Gua mau mengucapkan terima kasih sama Raja karena mau ngajarin gua kimia. Makasih, ya, berkat lo gua tau tentang racun racun.”

“Gua bantu lo buat belajar pelajaran sekolah, bukan buat bunuh orang, Rian!” geram Raja. Dia tidak menyangka sahabatnya itu menjadi pembunuh berantai yang sedang ramai dibicarakan.

“Jangan lari! Lo harus mempertanggungjawabkan perbuatan lo di penjara,” peringat Yuma karena Rian yang tersenyum simpul seraya berjalan mundur menuju pinggir rooftop.

“Gimana, ya... gua sih mending langsung ke neraka dari pada harus ke penjara. Dadah.” Rian melambaikan tangannya sambil terkikik pelan, tepat setelah itu dia meloncat dari atas rooftop dan membuat Gian, Yuma, Raja, dan Naka panik.

Sedangkan itu Gibran malah tertawa pelan. “Gak semudah itu, Rian.”

Di bawah sana tubuh Rian terjatuh di atas matras yang sengaja diletakkan di sana untuk berjaga-jaga barang kali dia akan mencoba bunuh diri setelah kejahatannya terungkap.

Pemuda itu mengumpat pelan. Beberapa detik kemudian para polisi yang sudah berjaga di bawah sana langsung memborgol tangan Rian dan membawanya menuju kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.

“Dia masih hidup kan?” tanya Raja khawatir, apapun yang terjadi Rian tetap sahabatnya. “Loh, kok ada polisi.”

“Ada yang udah manggil mereka dari tadi kayaknya,” ucap Gibran santai. Dia mengambil tasnya kemudian memakainya. “Gua balik duluan, ya, udah ditunggu orang tua gua di rumah.” Gibran berlari keluar dari rooftop dan turun ke parkiran untuk segera pulang.

Yuma mengangguk singkat kemudian menatap curiga Naka. “Kok lo bisa tau kalau Rian pembunuhnya? Atau jangan-jangan lo yang ngirim batu itu dan manggil polisi?”

Naka menggeleng, dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Bukan gua orangnya, tapi Gibran.”

“Hah? Gibran?” beo Gian bingung.

“Korban ketiganya, kakak angkat Gibran,” jawab pemuda itu. “Ya, anggap aja ini bentuk dia balas dendam.”

Gian tertawa miris. “Gua gak nyangka kita bakal berakhir kayak gini.” Matanya mulai berkaca-kaca, memangnya siapa yang tidak sedih jika sahabatmu ternyata seorang pembunuh yang sedang menjadi buronan seluruh warga kota.

Raja menatap mobil mobil polisi yang mulai meninggalkan kawasan sekolah. “Gak ada yang pernah nyangka kita bakal berakhir kayak gini, Gian.”

Yuma mengusap bahu Gian, mencoba menenangkan pemuda itu. “Kita coba ambil hikmahnya aja. Kita juga gak tau apa alasan Rian ngelakuin itu, kita coba dengar alasannya dulu.”

Naka menghela napas berat saat mobil polisi terakhir meninggalkan sekolah. “Hidupterlalu serius untuk kita yang terlalu suka bercanda, tapi kadang hidup terlalubercanda untuk kita yang terlalu serius.”

“Lo udah lihat beritanya?” tanya satu dari empat pemuda SMA yang tengah duduk santai di rooftop sekolah menengan atas itu.

“Berita apaan?” tanya balik pemuda bername tag 'Gian'. Pemuda itu menatap satu persatu teman temannya, menunggu salah satu dari mereka yang menjawab pertanyaan darinya barusan.

Bukan jawaban yang Gian dapat, tapi sebuah pukulan kencang di punggungnya dari Gibran. “Lo nonton berita gak sih? Beritanya lagi ramai banget.”

“Berita pembunuhan lima orang dalam waktu tiga minggu terakhir. Lokasi kejadiannya di dekat sini,” tambah pemuda bernama Yuma. “Pelakunya belum ketemu sampai sekarang. Malah kemarin baru aja ada kasus baru.”

Gian bergidik ngeri karena mengetahui tempat kejadian perkara berada di dekat sekolahnya. “Serem amat dah. Emang sesusah apa sih cari pelakunya sampai polisi butuh waktu lama.”

Gibran menggeleng gelengkan kepalanya tidak setuju dengan ucapan Gian barusan. “Buktinya gak ditemukan di lokasi. Sidik jari pelaku aja gak ketemu. Dia terlalu jago untuk seorang pembunuh amatir.”

“Gibran bener. Dia bukan sekedar pembunuh biasa.” Naka yang dari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara. “Dia bunuh korbannya dengan zat kimia alias diracuni.”

“Pasti pelakunya tertarik sama kimia,” celetuk Yuma. Itu cukup masuk akal karena si pelaku membunuh menggunakan zat kimia.

Gibran menggeleng lagi. “Dia belum tentu suka kimia.”

“Gua kesel banget!” Rian yang baru datang menendang kesal kaleng kosong yang berada di dekat kakinya.

“Lo kenapa lagi?” tanya Naka bingung.

Raja muncul dari balik pintu rooftop kemudian menutupnya. “Biasa lah, remedial kimia.”

Gian menatap bingung Raja. Remedial kimia? Bukannya Raja suka dan cukup pandai di pelajaran itu. “Lo remedial?”

Raja menggeleng cepat sambil membuat tanda silang dengan tangannya. “Bukan gua. Noh, si Rian.”

Yuma tertawa meledek. “Gak kaget sih si Rian remedial kimia. Setiap ulangan aja jawabnya pakai capcipcup.”

“Lo gak usah menghina, ya! Tapi bener sih,” balas Rian santai mengundang tawa dari kelima pemuda lainnya.

Naka menyenderkan tubuhnya ke sofa tua yang berada di belakangnya. “Kali ini nilai kimia lo berapa?”

Rian memasang wajah berpikir yang terlihat menyebalkan di mata Gian. “Lo gak usah sok-sokan pakai wajah mikir gitu. Kayak bisa mikir aja.”

“Heh, gua nih bisa mikir ya, cuman agak lambat aja,” balas Rian tidak terima. “Nilai gua seharga tujuh gorengan Bi Imah plus es teh manis.”

“Dua belas,” ucap Raja mewakili. “Itu nilai atau jumlah hutang si Yuma di kantin dah.”

Rian tertawa. “Ya, nilai dong, kalau hutang Yuma mah bukan dua belas, lebih dari itu.”

“Kenapa jadi bahas hutang gua sih. Mending kita bahas pelaku pembunuhan kemarin, gua masih pena—” Ucapan Yuma terputus karena tiba-tiba ada yang melempar batu cukup besar ke arah mereka dari bawah.

Raja yang kesal buru-buru mencari siapa pelaku pelemparan batu itu. Untung saja tidak ada yang terkena lemparan batu itu. “Siapa sih yang lempar batunya? Kurang kerjaan aja, gimana kalau kena kepala salah satu dari kita!”

“Santai, Ja.” Rian menarik tangan Raja agar duduk di sampingnya. “Eh, tapi itu batunya di bungkus sesuatu gak sih.” Pemuda itu menunjuk batu yang beberapa menit lalu terlempar ke arah mereka.

Naka mengambil batu itu lalu membuka pembungkusnya. Itu adalah kertas berisi beberapa kalimat yang cukup membuat sakit kepala karena berpikir.

*Di muka di pucuk hidung. Dia berada di dekat kita semua, bermain peran dengan baik seolah tak terlibat sama sekali. Dia si pembunuh yang dicari, berada di antara kalian.

SPU 88*

Yuma berdecak tidak percaya. “Apaan sih maksudnya? Gak jelas.”

Gian menatap aneh Yuma yang nada bicaranya terdengar aneh. “Lo kenapa? Ada masalah? Nada bicara lo aneh.”

“Gua takut.” Yuma menyisir rambutnya dengan jari. “Ini kita baru aja disuruh cari pembunuh itu kan? Apa lo gak takut berurusan sama si pembunuh itu? Gua sih takut, apa lagi katanya dia ada di antara kita.”

Rian mengambil kertas itu kemudian membacanya ulang. “Di muka di pucuk hidung. Dia berada di dekat kita semua, bermain peran dengan baik seolah tak terlibat sama sekali. Dia si pembunuh yang dicari, berada di antara kalian. SPU 88. Maksudnya apa?”

“Di muka di pucuk hidung artinya dekat sekali di depan orang.” Naka menautkan kesepuluh jarinya, dia menatap teman temannya itu bergantian dengan pandangan yang sulit diartikan. “Maksudnya, dia ada di depan kita.”

Gibran terkekeh pelan. “Ternyata lo jago juga nafsirin peribahasa kayak gitu,” pujinya mengundang tatapan aneh dari Naka.

Naka hanya memasang wajah tanpa ekspresi, menurutnya pujian dari Gibran terdengar sarkastik. “Gua pernah baca pribahasa itu.”

“Kalau SPU itu singkatan dari apa?” tanya Rian berusaha meredakan suasana tidak mengenakan dari Gibran dan Naka.

Raja menautkan alisnya, dia berujar ragu, “SPU? Sistem periodik unsur? Gua cuman kepikiran itu sih.”

Semua mata kini tertuju pada Raja, tatapan dengan berbagai makna tertuju padanya. Semuanya terdiam, terlebih Gian yang teringat ucapan Naka tadi bahwa si pelaku membunuh dengan zat kimia. Bukankah sistem periodik unsur itu bagian dari kimia?

“Kalau gitu 88 itu apa?” tanya Rian lagi. Satu langkah lagi maka mereka akan tau siapa si pembunuh itu.

Raja terdiam, berusaha mengingat-ingat unsur bernomor 88 itu. “Nomor atom 88, radium. Simbolnya Ra.”

Seketika suasana di antara mereka menegang. Ra, ada tiga orang di sini yang namanya terdapat huruf r dan a, yaitu Gibran, Raja, dan terakhir Rian.

“Itu inisial nama kan?” tanya Gian memecah keheningan di rooftop. Tapi pertanyaan itu terasa tidak tepat karena lebih terdengar seperti pernyataan. “Di sini yang namanya ada huruf 'R' dan 'A' itu kalian bertiga, Gibran, Raja, dan Rian.”

Yuma mengangguk setuju dengan pernyataan Gian barusan. “Dan jangan lupa kalau si pelaku membunuh dengan racun, berarti dia adalah orang yang cukup mengerti di bidang kimia.”

“Lo nuduh gua?” tanya Raja tak terima karena merasa dituduh secara tidak langsung. “Tuduhan lo gak berdasar.”

Naka menjilat bibirnya yang kering. “Yuma gak nuduh lo, dia nuduh orang yang cukup paham di bidang kimia. Dan ternyata lo jago di bidang ini, gua rasa wajar kalau kita naruh curiga sama lo.”

“Apa-apaan sih lo! Bukan gua pelakunya!” geram Raja. Karena dia pandai di pelajaran kimia bukan berarti dia pelakunya.

Gian tertawa mengejek. “Wih, santai dong, biasa aja. Jujur aja sih, gua curiga sama Gibran dan Raja karena mereka cukup jago di pelajaran kimia. Kalau Rian mah kayaknya nggak, nilai kimia dia aja seharga gorengan.”

Gibran menghela napas berat. “Kayaknya gua udah bilang tadi, membunuh dengan zat kimia bukan berarti dia pandai di bidang kimia,” ucapnya penuh penekanan.

“Ya, tapi lo berdua itu paling memungkinkan,” tambah Yuma yang disetujui Gian dan Rian.

“Lo gak perlu pandai di bidang kimia untuk tau apa zat yang beracun,” ujar Naka dengan suara beratnya. “Gak bermaksud membela siapa-siapa, tapi ucapan Gibran masuk akal. Lagi pula kita gak ada yang tau usaha si pelaku untuk tau tentang zat kimia itu kan.”

Rian tersenyum miring. “Apa yang coba lo omongin, Naka.”

Naka menatap Rian dengan pandangan yang sulit diartikan. “Zaman udah modern, gak butuh waktu lama untuk cari tau zat kimia beracun di internet kan.” Tepat pada akhir kalimat Naka beralih menatap Gibran dengan seutas senyum miring di wajahnya.

Gibran mengangkat sebelah alisnya sebagai respon. Naka tau sesuatu. Gibran tersenyum simpul lalu membuka kopi kaleng miliknya kemudian meneguk sepertiga dari isinya.

“Apa cuman itu clue-nya? Gua rasa si pengirim gak ninggalin satu doang. Terlalu ambigu kalau hanya ada satu clue karena di antara kita ada tiga orang yang cocok dengan clue pertama.” Raja mengambil kertas itu lalu memperhatikannya dengan seksama. Tak lupa tangannya meraba permukaan kertas itu, barangkali terdapat cetakan tulisan yang membekas di kertas. Dan benar saja, di bagian bawah kertas terdapat bekas cetakan tulisan. “Ada yang bawa pensil?”

Yuma mengeluarkan pensil dari dalam tasnya kemudian memberikannya pada Raja. Pemuda dengan rambut hitam pekat itu dengan cepat mengarsir bagian bawah kertas. Perlahan arsiran itu menunjukkan tulisan 'Ricinus communis'.

“Itu apa lagi?” tanya Rian cepat.

“Ricinus communis, tanaman jarak, penghasil racun risin.” Bukan Raja yang menjawab, melainkan Gibran. “Racun ini lebih mematikan enam ribu kali dibandingkan racun sianida dan lebih berbahaya 12.000 kali dibandingkan racun ular derik. Racun ini bahkan disebut-sebut nggak memiliki obat penawarnya.”

Yuma dan Gian menatap Gibran penuh selidik. “Kok lo bisa tau?” tanya Yuma dengan nada menuduh.

“Polisi baru aja bilang itu beberapa hari lalu di konferensi pers,” jelas Gibran membuat Yuma dan Gian bungkam.

“Gimana kalau ternyata pembunuh itu gak ada di antara kita dan si pengirim batu ini cuman mau ngadu domba kita?” tanya Rian setelah lama diam. Dia menatap teman temannya bergantian, menunggu respon mereka terhadap ucapannya barusan.

Naka tertawa singkat. “Tapi gimana kalau ternyata yang dikatakan kertas itu benar?”

Gian mengacak rambutnya frustasi, kepalanya terasa pening memikirkan ini. “Mending kita berhenti aja, berhenti cari tau siapa pembunuhnya. Itu bukan urusan kita kan.”

Tiba tiba kaleng kopi instan milik Gibran tumpah mengenai kertas itu dan membasahi hampir seluruh kertasnya.

“Maaf, gua gak sengaja,” ucap Naka tidak enak hati pada Gibran yang kopinya tidak sengaja dia senggol hingga tumpah seluruhnya.

“Yah, kertasnya basah.” Raja mengangkat kertas itu agar tidak semakin basah karena kopi Gibran barusan. “Eh, tunggu dulu, ada tulisan di sini.”

Raja kembali meletakkan kertas itu di tanah dan membiarkan kertas itu basah seluruhnya. Beberapa huruf kembali muncul saat kertas itu basah, kini bertuliskan 'OGLG'.

“Ini apaan lagi,” keluh Gian kesal. Kepalanya sudah sangat pusing, tapi teman temannya tidak kunjung berhenti mencari siapa pelakunya.

Yuma mengerutkan keningnya, berusaha meneliti tulisan itu. “Itu kayak sandi gak sih? Sandi apa yang kayak gitu?”

“Kayaknya gua pernah lihat ini,” celetuk Rian. “Kita pernah belajar ini waktu kelas sepuluh.”

“Itu sandi merah putih,” jawab Naka dan Gibran bersamaan. “Gua rasa tanda garis bawah itu nandain ada huruf sebelumnya,” tambah Naka.

“Berarti nama si pelaku ada empat huruf maksud lo?” tanya Yuma memastikan ucapan pemuda kelahiran bulan delapan itu.

Naka mengangguk mantap. “Iya. Dan berarti Gibran bisa kita coret dari daftar.”

“Ini arti sandinya apa?” tanya Gian mengingatkan mereka semua pada tujuan awal. “Cari di internet aja sana, kepala gua udah pusing mikirin ini.”

Naka tersenyum simpul, dia menatap serius teman temannya kemudian berdeham pelan. “OG itu I, LG itu N. Iya kan, Rian?” Naka beralih menatap Rian dan tersenyum manis yang terlihat menyeramkan di mata yang lainnya.

Rian tertawa terbahak-bahak sambil menepuk tangannya. Dia menyeka air matanya yang keluar karena tertawa. “Yah, ketahuan, ya?” tanyanya dengan nada meledek.

Naka terkekeh pelan. “Kayaknya lo pantas menangin oscar deh, akting lo bagus banget sampai kita gak sadar kalau lo pelakunya.”

“Oh, iya dong, apa sih yang Rian gak bisa lakuin,” ucap pemuda itu bangga. “Siapa sih si keparat yang berani ngebongkar gua? Kurang ajar banget.”

Gian meneguk ludahnya gugup. “Gua gak nyangka lo kayak gini,” dia berujar pelan. “Ini bohong kan? Lo anak baik-baik, Rian, gak mungkin kayak gini.”

“Sayangnya itu benar.” Rian tertawa kemudian bangkit dari duduknya. “Gua mau mengucapkan terima kasih sama Raja karena mau ngajarin gua kimia. Makasih, ya, berkat lo gua tau tentang racun racun.”

“Gua bantu lo buat belajar pelajaran sekolah, bukan buat bunuh orang, Rian!” bentak Raja. Dia tidak menyangka sahabatnya itu menjadi pembunuh berantai yang sedang ramai dibicarakan.

“Jangan lari! Lo harus mempertanggungjawabkan perbuatan lo di penjara,” peringat Yuma karena Rian yang tersenyum simpul seraya berjalan mundur menuju pinggir rooftop.

“Gimana, ya... gua sih mending langsung ke neraka dari pada harus ke penjara. Dadah.” Rian melambaikan tangannya sambil terkikik pelan, tepat setelah itu dia meloncat dari atas rooftop dan membuat Gian, Yuma, Raja, dan Naka panik.

Sedangkan itu Gibran malah tertawa pelan. “Gak semudah itu, Rian.”

Di bawah sana tubuh Rian terjatuh di atas matras yang sengaja diletakkan di sana untuk berjaga-jaga barang kali dia akan mencoba bunuh diri setelah kejahatannya terungkap.

Pemuda itu mengumpat pelan. Beberapa detik kemudian para polisi yang sudah berjaga di bawah sana langsung memborgol tangan Rian dan membawanya menuju kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.

“Dia masih hidup kan?” tanya Raja khawatir, apapun yang terjadi Rian tetap sahabatnya. “Loh, kok ada polisi.”

“Ada yang udah manggil mereka dari tadi kayaknya,” ucap Gibran santai. Dia mengambil tasnya kemudian memakainya. “Gua balik duluan, ya, udah ditunggu orang tua gua di rumah.” Gibran berlari keluar dari rooftop dan turun ke parkiran untuk segera pulang.

Yuma mengangguk singkat kemudian menatap curiga Naka. “Kok lo bisa tau kalau Rian pembunuhnya? Atau jangan-jangan lo yang ngirim batu itu dan manggil polisi?”

Naka menggeleng, dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Bukan gua orangnya, tapi Gibran.”

“Hah? Gibran?” beo Gian bingung.

“Korban ketiganya, kakak angkat Gibran,” jawab pemuda itu. “Ya, anggap aja ini bentuk dia balas dendam.”

Gian tertawa miris. “Gua gak nyangka kita bakal berakhir kayak gini.” Matanya mulai berkaca-kaca, memangnya siapa yang tidak sedih jika sahabatmu ternyata seorang pembunuh yang sedang menjadi buronan seluruh warga kota.

Raja menatap mobil mobil polisi yang mulai meninggalkan kawasan sekolah. “Gak ada yang pernah nyangka kita bakal berakhir kayak gini, Gian.”

Yuma mengusap bahu Gian, mencoba menenangkan pemuda itu. “Kita coba ambil hikmahnya aja. Kita juga gak tau apa alasan Rian ngelakuin itu, kita coba dengar alasannya dulu.”

Naka menghela napas berat saat mobil polisi terakhir meninggalkan sekolah. “Hidupterlalu serius untuk kita yang terlalu suka bercanda, tapi kadang hidup terlalubercanda untuk kita yang terlalu serius.”

-end

“Ambil tas lo, kita pulang sekarang.”

“Gak usah sok ngelarang gua kalau badan lo aja masih bau rokok,” ucap gadis itu diakhiri tawa sarkas. “Gua gak punya urusan sama lo. Pergi.”

Pemuda berjaket kulit itu menjilat pipi bagian dalamnya kemudian terkekeh pelan. “Gua gak punya urusan sama lo? Serius?” Dia menarik dagu gadis itu. “Do i not have anything to do with you? But you're too attractive to ignore.

Rachel menepis tangan Julian dari dagunya. “Banyak bacot.” Si cantik beralih mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rooftop yang sedari tadi dia gunakan untuk menatap pemandangan kota.

“Apa gua harus kayak gini dulu baru lo mau pulang?” tanya Julian setengah berteriak karena Rachel mulai berjalan turun. Senyum tersungging di bibirnya kemudian menyusul gadis itu turun ke lantai dasar.

Julian memeluk pinggang Rachel posesif ketika mereka sampai di lantai dasar. Tempat itu benar benar ramai karena merupakan restoran makanan tradisional yang cukup ramai diminati.

Rachel mencoba melepas pelukan tangan Julian dari pinggangnya. “Gua gak bakalan hilang, lo gak harus meluk pinggang gua kayak gini,” bisiknya. Jujur saja dia agak risih dengan tingkah Julian yang satu ini.

Bukannya melepas pelukan tangannya, Julian malah semakin mengeratkan tangannya itu. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Rachel lalu berbisik, “Bukan takut hilang, gua cuman mau nunjukin kalau lo itu milik gua.”

“Brengsek,” desis Rachel kesal.

Julian yang diumpati Rachel hanya tersenyum manis. “Kita lihat seberapa banyak bibir manis lo itu bisa ngumpatin gua hari ini sampai akhirnya dia dapat hukuman.”


Julian melirik Rachel yang tengah membaca majalah yang baru gadis itu beli beberapa jam yang lalu. Dia menjauhkan rokoknya lalu berbalik agar dapat menatap si gadis dengan jelas. “Chel.”

Sunyi, tidak ada balasan dari gadis itu.

“Rachel.”

Masih sama, gadis itu tidak menjawab panggilan dari Julian.

Mi amor, querido mi amor.” (Sayangku, sayangku cintaku)

Rachel menutup kesal majalahnya kemudian menatap tak minat pada Julian. “Apa?”

Por qué eres tan hermosa mi amor,” (Kenapa kamu cantik sekali sayangku) ucap Julian sambil tersenyum lembut. Dia tertawa kecil sebelum kembali mengeluarkan kata kata manis yang menyebalkan dari kedua belah bibirnya. “Gua bukan seorang penyair yang jago dalam merangkai kata, tapi gua yakin gabungan nama lo dan gua adalah rangkaian kata paling indah yang pernah ada di dunia.”

Wajah gadis itu bersemu merah. Dia mengalihkan wajahnya, menahan gejolak aneh yang muncul di perut dan hatinya karena ucapan manis, tapi menyebalkan dari Julian.

Did you get stupid butterflies in your stomach, mi amor?” tanya Julian menggoda. “Lo tau, gua selalu memuja lo. Lo adalah sosok paling indah yang gua temui di dunia ini. Aphrodite bahkan kalah sama lo.”

Rachel tersenyum miring, berusaha menyembunyikan senyum malu malu yang sialnya terus tersungging di bibirnya. “Apa yang sebenarnya mau lo omongin?”

Do you want to know, mi amor?” Julian tersenyum kemudian menunjukkan rokoknya pada gadis itu. “Gimana kalau gua ngerokok tapi gak langsung rokok ke bibir gua.”

Kening Rachel berkerut bingung, dia tidak tau. “Emangnya bisa?”

“Bisa.” Julian mengangguk mantap. Dia menarik Rachel agar berdiri di hadapannya kemudian memeluk pinggang gadis itu dengan sebelah tangannya. “Pertama, dari rokok ke bibir lo baru ke bibir gua,” lanjutnya sambil berbisik di telinga Rachel.

“Brengsek,” umpat Rachel ikut berbisik.

I think i know the right punishment for your sweet lips, mi amor.” Julian mengusap bibir Rachel pelan kemudian samar tersenyum miring.

Rachel balas tersenyum miring. Tiba tiba dia melingkarkan tangannya di leher Julian. “So, when are you going to start? I’m waiting.

Julian tersenyum kemudian mencium kening Rachel lembut. “I won't do that, it's just dirty talk.

Why?

Pemuda itu mematikan rokoknya. Dia beralih menatap manik jernih milik gadis di hadapannya. “Because you are too precious, mi amor.

Irga menggeleng kuat. Pasangan yang ada di depannya ini bukan orang tuanya. Orang tuanya hanya bapak dan ibu Abinaya.

“Irga ayo pulang sama Mama nak, kita pulang ke rumah kita bukan rumah ini,” bujuk wanita yang mengaku sebagai Mama Irga.

“Lo bukan Mama!” pekik pemuda itu menggema di rumah milik keluarga Abinaya. Dia berlari ke arah Joya dan memeluk kaki sang kakak erat. “Maafin Irga, Mbak, Irga janji nggak akan nakal lagi, tapi suruh orang itu pergi. Irga gak mau sama yang lain, Irga cuman mau Mbak. Maafin Irga Mbak,” mohonnya sambil menangis sejadi jadinya.

Sedangkan Joya masih asik memandang keluar jendela. Dia enggaan menatap Irga yang menangis sambil memeluk kedua kakinya.

“Joya, nanti kalau ada orang yang datang mau ambil adik adik... Joya harus ikhlas, ya, gak boleh marah, gak boleh dicegah juga,” ucap bapak suatu hari.

Joya kecil yang diberi tau seperti itu hanya mengangguk lucu. Dia masih tidak mengerti dengan ucapan bapak saat itu. Tapi sekarang dia tau kalau orang yang bapak bilang itu adalah orang tua kandung sang adik.

Joya sadar suatu saat mereka akan datang dan menjemput anak kandung mereka. Seperti kata bapak, Joya tidak akan marah dan mencegah mereka. Dia tidak sejahat itu sampai memisahkan anak dan orang tua kandungnya.

“Lihat Irga, Mbak. Jangan diem aja! Jawab Irga!” teriak pemuda delapan belas tahun itu frustasi. “Irga bakal ngelakuin apapun yang Mbak mau asal Mbak maafin Irga dan nyuruh mereka pergi.”

Joya menghela napas pelan. Dia mengusap tangan Gema yang berada di bahunya. “Tolong anter aku ke kamar, disini berisik banget.”

Gema menatap sekilas Irga lalu mengangguk. Tanpa bicara dia langsung mendorong kursi roda Joya ke kamar milik gadis cantik itu.

Irga menatap tak percaya Joya yang mengabaikannya dan pergi begitu saja. Tangisannya menjadi lebih keras. Dia sadar ini salahnya, harusnya dia lebih baik pada Joya.

Gema berjalan menghampiri orang tua kandung Irga. Dia meminta mereka untuk datang lagi nanti karena ini terlalu mendadak untuk Irga. Walau keberatan, orang tua kandung Irga akhirnya pun sepakat akan datang beberapa hari lagi dan memberikan waktu bagi Irga.

Gema menatap dingin Irga. “Mau lo minta maaf sampai nangis darah juga kesalahan lo gak termaafkan,” ucapnya datar lalu berjalan keluar rumah.

Irga mengacak rambutnya dan berlari memasuki kamarnya. Dia langsung mengunci pintu dan kembali menangis. “Bapak... Ibu... maafin Irga udah jahat sama Mbak Joya,” lirihnya.

Kita semua tau kemana kisah ini akan berakhir Kita semua tau jika itu tidak dapat diubah Kita semua tau jika kita tidak lebih dari sekumpulan manusia yang bersatu karena fakta yang menyakitkan

“Mana bukunya?” Laskar melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap tajam Raina yang sedang memainkan rambutnya.

Raina tersenyum miring. “Jangan naif, Laskar. Lo pikir gua bakal ngasih bukunya segampang itu?”

Rahang Laskar mengeras, tangannya terkepal kuat. “Apa yang sebenarnya lo mau? Berhenti ganggu gua.”

“Pertanyaan bagus.” Raina tertawa pelan. “Apa yang gua mau? Gua mau lo.” Raina mengusap leher Laskar pelan.

Dengan cepat pemuda itu menepis tangan Raina. “Gua gak mau sama lo, cewek ular.”

“Jadi lo gak mau bukunya balik dan isi bukunya disebar?”

“Gak usah macem macem,” bentak Laskar kesal.

Raina tersenyum penuh arti. “Kita buat ini mudah aja. Lo turutin semua kemauan gua atau gua sebarin isi bukunya. Gimana?”

Laskar menatap datar Raina. Dia bimbang harus memilih apa.

“Jadi gimana? Cepetan dong jawabnya.”

Laskar meneguk ludah gugup. “Oke, gua turutin semua keinginan lo, tapi jangan aneh aneh.”

Pemuda dengan jaket denim itu berjalan santai menghampiri Geya yang sedang duduk di gazebo sambil mengerjakan tugas.

Pemuda yang dia duga bernama Riga itu berdiri di sampingnya. “Halo, Geya. Maaf untuk yang tadi, gua gak sengaja.” Dia meletakkan pelastik berukuran sedang di samping laptop Geya. “Katanya cokelat bisa bikin mood bagus. Jadi ini gua beliin sebagai permintaan maaf.”

Geya menutup laptopnya lalu menatap Riga dari atas sampai bawah. Dia orang yang sama dengan yang menabraknya tadi. “Permintaan maaf diterima, makasih juga untuk cokelatnya. Lo bisa pergi sekarang, jangan ganggu gua nugas.”

Riga menatap Geya tanpa berkedip. Dia mengangkat sebelah tangannya yang terkepal. “S-semangat nugasnya, Geya.” Ia tersenyum kikuk lalu berlari meninggalkan kawasan itu.

“Ya, makasih,” balas Geya walau dia tau orang yang diajaknya bicara sudah pergi. “Emang dasar cowok aneh.”