vyn

Halga membulatkan matanya saat membaca pesan yang dikirimkan Kevlar. Dia berusaha mengabaikan rasa penasarannya tentang alasan kenapa Mbak Joya berada di sekolah dan buru buru berlari menuju kantin. Dia tidak segan segan mematahkan tangan gadis siluman ular itu jika Mbak Joya sampai lecet walau sedikit saja.

“Kaina!” teriak Halga menggelegar begitu memasuki kantin. Wajah pemuda itu memerah karena emosi. Dia menatap Kaina yang sedang menjambak rambut Joya dengan penuh benci. Dengan cepat dia menarik tangan Kaina dan mendorong gadis itu ke belakang.

Dia mendorong kepala Kaina dengan telunjuknya. “Lo punya nyawa berapa sampai berani labrak Kakak gua? hah!” teriak Halga tepat di depan wajah Kaina. Dia benar-benar marah.

Tala dan Irga yang baru memasuki kantin langsung berusaha menenangkan Halga, bagaimanapun Kaina itu perempuan. Sedangkan Aji, Kevlar dan Kara membantu Joya dan membawanya keluar kantin.

Halga berusaha melepas tangan Tala dan Irga yang menahan tubuhnya. “Lepas anjing! Itu cewek uler baru aja jambak kakak gua!” makinya sambil menunjuk nunjuk Kaina. “Gua bakal patahin tangan yang lo pakai buat jambak kakak gua!”

“Tenang, Halga,” bisik Tala berusaha menenangkan sang adik. “Masih ada Mbak Joya di sekolah.”

Irga mengangguk setuju seraya mengusap punggung Halga. “Dia perempuan, Halga. Jangan gini, Mbak Joya bakal kecewa.”

Halga berdecak, dia mengalah. Pemuda itu menatap tajam Kaina lalu berjalan keluar kantin mencari di mana Joya berada. Sang kakak jauh lebih penting dari apapun yang ada.

Halga membulatkan matanya saat membaca pesan yang dikirimkan Kevlar. Dia berusaha mengabaikan rasa penasarannya tentang alasan kenapa Mbak Joya berada di sekolah dan buru buru berlari menuju kantin. Dia tidak segan segan mematahkan tangan gadis siluman ular itu jika Mbak Joya sampai lecet walau sedikit saja.

“Kaina!” teriak Halga menggelegar begitu memasuki kantin. Wajah pemuda itu memerah karena emosi. Dia menatap Kaina yang sedang menjambak rambut Joya dengan penuh benci. Dengan cepat dia menarik tangan Kaina dan mendorong gadis itu ke belakang.

Dia mendorong kepala Kaina dengan telunjuknya. “Lo punya nyawa berapa sampai berani labrak Kakak gua? hah!” teriak Halga tepat di depan wajah Kaina. Dia benar-benar marah.

Tala dan Irga yang baru memasuki kantin langsung berusaha menenangkan Halga, bagaimanapun Kaina itu perempuan. Sedangkan Aji, Kevlar dan Kara membantu Joya dan membawanya keluar kantin.

Halga berusaha melepas tangan Tala dan Irga yang menahan tubuhnya. “Lepas anjing! Itu cewek uler baru aja jambak kakak gua!” makinya sambil menunjuk nunjuk Kaina. “Gua bakal patahin tangan yang lo pakai buat jambak kakak gua!”

“Tenang, Halga,” bisik Tala berusaha menenangkan sang adik. “Masih ada Mbak Joya di sekolah.”

Irga mengangguk setuju seraya mengusap punggung Halga. “Dia perempuan, Halga. Jangan gini, Mbak Joya bakal kecewa.”

Halga berdecak, dia mengalah. Pemuda itu menatap tajam Kaina lalu berjalan keluar kantin mencari di mana Joya berada. Sang kakak jauh lebih penting dari apapun yang ada.

Sepasang kekasih itu berjalan beriringan menyusuri tempat permainan itu. Pemuda itu menggengam tangan Geya. “Terakhir sebelum pulang, mau taruhan nggak? Kita main permainan, yang menang bisa minta satu permintaan. Gimana?”

“Apa aja kan permintaannya?” tanya Geya balik yang dibalas anggukan kepala pemuda di sampingnya. “Mau main apa?”

Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu menunjuk ke arah tempat permainan bola basket. “Yang gampang aja, basket gimana? Mau nggak?”

“Mau. Ayo ke sana.” Geya mengangguk dan menarik tangan Auriga agar ikut berjalan bersamanya. “Kalau menang beneran boleh minta satu permintaan kan?” tanyanya lagi.

Pemuda yang jauh lebih tinggi itu tertawa gemas. “Iya beneran. Emangnya lo mau minta apa sih.”

“Ada deh,” jawab gadis itu dengan nada meledek.


Lima belas menit sudah terlewati dan permainan mereka sudah selesai. Berdasarkan skor yang di dapat, skor Geya lebih tinggi beberapa angka dari pada Auriga yang berarti gadis itu pemenangnya.

“Lo kalah.”

“Gua tau.” Pemuda itu melipat tangannya sambil menatap wajah senang sang kekasih. “Lo mau minta apa?”

Geya tersenyum simpul, berusaha terihat biasa-biasa saja. “Jangan jatuh cinta sama gua.”

Pemuda berparas tampan itu sontak membulatkan matanya kemudian menggeleng. “Gak bisa,” tolaknya cepat.

“Kenapa?” tanya gadis itu seraya memiringkan kepalanya.

Tatapan pemuda yang menjadi lawan bicaranya itu berubah. Tidak ada lagi tatapan jahil dan menggodanya, hanya ada tatapan serius yang tidak pernah pemuda itu tunjukan padanya selama ini. “Karena gua udah ngelakuin itu.”

Geya tertawa pelan berusaha mengembalikan keadaan agar tidak canggung seperti ini. “Cukup mengejutkan, ya. Gombalan lo oke juga.”

“Kenapa kaget? Bukannya wajar, lo kan pacar gua,” balas Auriga dengan agak menekankan kata ‘pacar’.

Dia tertawa renyah. “Ini udah seminggu kan,” ucap Geya menggantung. “Sebenarnya gua nungguin kapan lo putusin gua.”

Pemuda itu diam, tidak tau harus membalas seperti apa. Takut salah berucap dan berakhir hubungan mereka harus selesai saat ini juga.

“Lo kan selalu putusin cewek lo setelah seminggu, ini udah seminggu, berarti kita putus sekarang ya,” tutur gadis bersurai panjang itu santai seolah itu merupakan hal biasa.

Tubuh pemuda itu membeku, nafasnya tercekat sesaat. Kalimat yang sejak semalam dia khawatirkan akan diucapkan oleh gadis itu akhirnya terucap. Ia tidak memiliki pilihan lain. Auriga tersenyum canggung seraya mengangguk. “Iya, kita putus.”

Geya mengangguk puas dengan ucapan Auriga. “Kalau gitu gua pamit pulang, ya. Keburu macet nanti.” Gadis itu hendak berbalik dan berjalan pergi, tapi lengannya lebih dulu ditahan Auriga.

“Eya, maksud gua, Geya, mau pulang bareng?” tawarnya dengan nada ragu. “Terakhir kali setelah itu kita gak pulang bareng lagi kan.”


Mobil hitam milik pemuda itu terparkir rapi di depan kediaman gadis itu, tapi si pemilik rumah tidak kunjung turun dari mobil.

“Kalau gak jadi ngomong gua keluar sekarang,” ujar Geya sedikit kesal karena Auriga yang tidak juga membuka suara padahal dia menahannya di mobil lebih dari lima belas menit karena ada yang ingin pemuda itu sampaikan.

Auriga menyisir surainya dengan jari kemudian menarik napas dalam. “Kita… harus putus, ya?”

“Iya,” jawab Geya tanpa pikir panjang. “Dari awal gua nerima lo bukan karena suka, Auriga. Konyol banget baru ketemu tiga kali langsung suka.”

Wajah pemuda itu berubah murung. Entah kenapa mendengar penuturan gadis itu membuatnya sedih. “Selama seminggu ini gak bisa buat lo punya perasaan sama gua?”

Gadis itu menggeleng. “Nggak. Memangnya apa yang bisa bikin gua jatuh cinta sama orang yang baru gua kenal dalam waktu satu minggu?”

Geya berjalan mengikuti Radeva masuk ke dalam kediaman keluarga Auriga. Mereka berjalan menuju kamar yang berada di paling belakang, kamar Auriga.

“Lo masuk aja, anaknya paling lagi main game. Gak usah diketuk pintunya, langsung masuk aja, biar surprise,” ucap Radeva sambil berbisik. Dia tersenyum sekali sebelum berjalan kembali ke ruang tamu.

“Auriga, ini Geya.” Dengan hati-hati gadis itu membuka pintu kamar milik pemuda tinggi yang berstatus sebagai kekasihnya itu.

Auriga yang mendengar suara sang kekasih buru-buru menyembunyikan ponselnya kemudian berpura-pura lemas. “Masuk aja, Eya.”

Setelah dipersilahkan, Geya masuk dan merapatkan pintu kamar si pemuda tanpa menutupnya. Dia berjalan mendekat ke arah Auriga. “Udah mendingan?”

Auriga yang masih pura-pura lemas itu mengangguk lemah. “Masih,” ucapnya dengan suara serak yang dibuat-buat.

Geya tersenyum simpul. “Mau pura-pura sampai kapan? Tadi aja udah main game.”

Pemuda itu membulatkan matanya terkejut. Dia buru buru menggeleng. “Cuman main game, ini masih sakit kok.” Dia mengambil tangan Geya lalu menempelkannya di lehernya. “Panas kan.”

Gadis itu tertawa melihat wajah pemuda itu berubah menjadi panik karena ucapannya. Dia menarik tangannya lalu mengacak surai hitam Auriga gemas. “Muka panik lo lucu.”

Auriga mengalihkan pandangannya kemudian membenamkan wajahnya di bantal yang berada di sampingnya. Dapat Geya dengar teriakan heboh pemuda itu yang teredam bantal.

“Lo udah makan? Mau gua ambilin gak?” tawar Geya seraya bangkit dari duduknya hendak pergi ke dapur mengambil makan untuk Auriga.

Auriga mengangkat kepalanya kemudian mengangguk. “Hati-hati.”

Alis gadis itu berkerut. Wajahnya benar-benar kebingungan. “Gua cuman ke dapur.”

“Gua gak ngomong ke lo.” Pemuda itu menegakan tubuhnya lalu tersenyum lebar. “Gua ngomong ke diri gua sendiri supaya hati-hati biar gak kangen lo.”

tw // blood

“Bara.” Azka berdiri di ujung koridor. Pakaian pemuda itu nampak sedikit kotor dengan noda darah dan tanah. “Gua gak tau lo masih mau peduli atau nggak, tapi—”

“Tapi apa?” Pemuda itu, Bara, memotong cepat ucapan sang sahabat. “Cepetan ngomong, jangan banyak basa basi.”

Azka menghela napas berat. “Bani, dia ada di klinik sekarang.”

“Kenapa lagi bocah lemah itu?” tanya Bara sambil tertawa mengejek. Mau Bani ada di mana pun itu bukan urusannya. Tidak penting.

“Dipukulin Arya,” cicit Azka. Sedetik kemudian Bara langsung melempar buku yang tengah dia pegang lalu berlari entah kemana. Bisa Azka lihat wajah pemuda itu yang berubah panik. “Gengsi lo gede banget, Bar,” gumamnya.


Bara mengatur napasnya yang tidak beraturan karena panik. Setelah merasa lebih baik, dia merapikan penampilannya lalu masuk ke dalam bangunan yang bertuliskan klinik itu. Dapat dilihatnya Rama yang tengah membopong tubuh Bani.

“Lo ngapain di sini?” tanya Rama sedikit tidak suka.

Bara yang diberi pertanyaan seperti itu mengangkat sebelah alisnya. “Maksud lo apa? Lagian ini tempat umum, terserah gua mau ngapain.”

Rama menghela napas kesal lalu membantu Bani berjalan keluar klinik, tapi dengan cepat langkahnya dihentikan oleh Bara. “Lo mau ke mana?”

“Gua mau nganter dia pulang,” jawab Rama kesal karena tingkah tidak jelas Bara.

“Gua gak nanya lo.” Bara melayangkan tatapan tidak sukanya pada Rama. “Lo, Bani. Jawab gua, cuman digebukin doang gak bikin lo gagu kan.”

“Aku mau pulang, Bara.” Pemuda itu menjawab sambil meringis pelan. Tubuhnya benar-benar sakit dan yang sekarang dia butuhkan hanya istirahat di rumahnya dengan tenang.

“Lebay,” ejek Bara ketika mendengar ringisan sang kakak kembar. Dia berjalan ke hadapan Bani kemudian berbalik dan berjongkok. “Naik. Lo pulang sama gua.”


Bara menarik kasar Bani masuk ke dalam rumah. Dia melempar asal tasnya lalu meninju Bani hingga pemuda itu tersungkur ke lantai rumah yang dingin. Kakinya terangkat bergerak menendang tubuh tegap itu.

Yang ditendang hanya bisa meringkuk menahan sakit di tubuhnya karena tendangan yang didapatnya dari pemuda itu. Bisa dipastikan luka di tubuhnya akan berdarah kembali, mengingat lukanya baru saja dia dapat beberapa jam yang lalu.

“Berlutut.” Bara menarik tangan Bani agar berlutut di hadapannya. Kakinya melangkah menuju meja dan mengambil sekaleng biskuit. Bara melempar kaleng itu ke kepala Bani dengan sepenuh tenaganya. Matanya memerah karena amarah.

Bani yang kepalany dilempar kaleng hanya bisa meringis menahan sakit. Dia merasa sesuatu mengalir dari dahinya dan terus mengalir hingga menetes ke lantai. Kepalanya kembali berdarah.

Bara menarik rambut Bani kasar dan membuat pemuda itu mendongak menatapnya. Bani tersentak. Bukan karena tarikan kasar di rambutnya, tapi tatapan yang dilayangkan adik kembarnya. Tidak ada yang benar benar berubah dari tatapannya, masih sama, tatapan penuh benci. Tapi ada yang sedikit berbeda kali ini, tersirat rasa khawatir di mata pemuda yang lebih muda sepuluh menit darinya itu.

“Lo selalu selemah ini, hah!” tanyanya sambil berteriak. Suara pemuda itu terdengar bergertar entah karena apa. “Arya mukulin lo kenapa gak lo balas! Lo tuh emang suka banget dipukulin ya!”

“Maaf, Bara,” lirih Bani. Jauh dalam lubuk hatinya dia membenarkan ucapan pemuda itu. Adiknya benar, dia memang lemah.

Bara mengalihkan pandangannya lalu mengusap wajahnya kasar dengan sebelah tangannya. Perlahan dia berlutut menyamakan tingginya dengan Bani yang juga berlutut. Dengan hati-hati dia mengusap pipi Bani yang terlihat lebam. “Maaf,” lirihnya. Perlahan cengkraman tangannya di rambut Bani terlepas dan berganti dengan usapan lembut di kepala sang kakak. Dia memeluk tubuh tegap pemuda itu sambil terisak pelan. “Maaf.”

Bani tersenyum lebar, ini pertama kalinya Bara memeluknya setelah sekian lama. Dia benar benar bahagia. Dia rasa dia akan menandai hari ini sebagai hari terbahagia dalam hidupnya. “Bunda… Bara peluk Bani. Bani gak bohon kan, Bara sayang Bani, Bunda.

“Gimana? Enak gak makanannya?”

“Makanannya enak, gua suka.” Gadis itu mengangguk semangat seraya menyenderkan punggungnya ke jok mobil. “Gua baru tau ada orang jualan kayak gitu di sini, lo tau dari mana tempat ini?”

Auriga menyelipkan rambut Geya ke belakang telinga agar tidak mengganggu penglihatan gadis cantik itu. “Radeva yang kasih tau. Bagus deh kalau lo suka, gua ikut senang lihatnya.” Tangannya bergerak memakaikan gadis itu seatbelt. “Sekarang tinggal jalan jalan.”

Dia memakia seatbelt-nya lalu mulai melajukan mobilnya memecah jalanan kota di malam itu. Tidak ada yang berbicara di antara mereka, Auriga yang fokus menyetir dan Geya yang asik menatap ke luar jendela. Tiba tiba pemuda itu menyalakan radionya membuat Geya menoleh karena kaget.

“Eh, lo kaget, ya. Maaf, soalnya gua bingung harus ngobrolin apa sama lo, jadi, gua nyalain radio aja,” jelas Auriga dengan suara lembut.

“Gua gak papa, santai aja.” Si gadis tersenyum simpul. “Ini lagu dari playlist lo?”

Auriga mengangguk singkat. “Iya. Kalau lo gak suka lagunya ganti aja, cari yang lo suka.”

“Gak kok, lagunya enak.”

Lagu Adore You milik Harry Styles mengalun merdu memenuhi mobil itu. Samar-samar dapat pemuda itu dengar si gadis ikut bersenandung dengan suara kecil.

Auriga melirik sekilas gadis itu. “Lo tau lagu ini?”

“Adore You dari Harry Styles, bener kan?” Geya menjawab dengan nada ragu. “Gua gak hafal banyak judul lagu.”

Senyum tipis terukir di wajah tampan pemuda itu. “Bener kok. Lo tau makna lagunya gak?”

“Sebentar gua cari di google.” Gadis itu mengeluarkan ponselnya lalu mulai mencari apa makna dari lagu itu. Beberapa menit kemudian dia bersorak girang. “Lagunya bermakna tentang pria yang menyukai seorang wanita, ia terhanyut dalam tatapannya. Dia rela lakukan apapun bahkan sekalipun itu berbahaya, agar ia bisa menerima cintanya.”

Auriga membulatkan matanya takjub. “Gua baru tau itu makna lagunya. Berarti lagunya cocok sama gua.”

“Kenapa cocok?” tanya Geya bingung.

Pemuda tampan itu menatap Geya serius. “Gua rela ngelakuin apapun supaya lo terima cinta gua.”

Geya tertawa pelan membuat Auriga yang mendengarnya tersenyum lembut. “Gombalan lo ada ada aja.”

Auriga terkekeh kemudian mengelus lembut kepala gadis yang berkedudukan sebagai kekasihnya itu. “Just let me adore you, like it's the only thing I'll ever do.”

“Mau?” tawar Geya karena Auriga yang terus menatap penjual balon tanpa berkedip.

“Mau apaan?” tanya pemuda itu balik.

Geya menunjuk penjual balon itu dengan matanya. “Lo dari tadi ngelihatin itu terus. Mau?”

“Nggak.” Auriga mengalihkan wajahnya dari Geya, dia malu sekali karena terciduk menatap penjual balon itu. Salahkan penjual itu karena menjual balon pororo, itu kan kartun kesukaannya.

“Geya, ayo jalan lagi.” Auriga menoleh dan tidak menemukan Geya di sampingnya. Dia menatap sekitarnya berusaha mencari Geya di antara orang orang yang berada di tempat itu.

Dia menoleh ketika merasakan seseorang menyelipkan sesuatu digenggamannya. Sebuah batu yang dibungkus pelastik dan diikatkan pada sebuah balon. Auriga menatap balon bergambar pororo itu. “Ini....”

“Balonnya lucu,” Geya berujar santai seolah hilangnya dia selama beberapa menit tadi bukan masalah besar. Gadis itu juga memegang balon bergambar Hello Kity. “Ayo lanjut jalan lagi.”

Auriga menatap gadis yang mulai berjalan mendahuluinya itu dan balon yang berada di tangannya bergantian. Diluar kenadalinya, kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman. Dia berjalan cepat agar kembali beriringan dengan gadis itu kemudian menggengam tangannya. “Eya. Gua panggil lo Eya aja boleh? Panggilan sayang ceritanya.”

“Boleh.” Geya balas menggengam tangan pemuda tinggi itu. “Gua panggil lo Iga aja boleh nggak? Panggilan sayang juga. Masa lo doang yang punya panggilan sayang buat gua.”

Auriga tersenyum lebar, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Geya berbeda dengan para mantannya sebelumnya, dia benar benar berbeda. Dan Auriga menyukai perbedaan itu. “Boleh kok, apa sih yang nggak buat lo.”

“Hai, Geya,” sapa Auriga dengan suara lembut, membuat Radeva dan Dafka yang mendengarnya begidik ngeri.

“Ya, halo,” balas Geya singkat. Gadis itu tengah fokus mengerjakan tugasnya dan terlihat enggan untuk diajak bicara.

Auriga memasang wajah cemberut karena Geya sibuk dengan tugasnya. “Geya.”

Gadis yang namanya dipanggil itu berdecak pelan. “Apa?”

“Auriga modusnya jelek banget, payah,” celetuk Gista yang tengah memakan cheesecake miliknya. Ucapannya barusan mengundang tawa dari Radeva dan Dafka, sedangkan pemuda itu hanya menggeram kesal.

“Geya kok lihatin kertas—”

“Lo mau ngomong apaan cepet,” potong Geya cepat karena Auriga yang terus bicara tidak jelas.

“Percuma cantik kalo gak bisa dimiliki.” Auriga tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Matanya fokus menatap gadis yang duduk tepat di seberangnya.

Sadar jika itu merupakan apa yang dari tadi ingin diucapkan Auriga, gadis itu dengan cepat menegakkan tubuhnya. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Kata siapa? Nyoba aja belum.”

Ucapan Geya barusan membuat semua orang di sana terkejut. Mereka menatap Geya dan Auriga bergantian, menunggu salah satu dari mereka membuka mulut kembali.

Pemuda dengan hoodie hitam itu tersenyum lebar. “Ayo coba,” ajaknya dengan semangat.

“Oke.” Geya mengangguk setuju dengan ajakan Auriga, tidak ada salahnya menerima ajakan itu bukan.

Auriga menyisir rambutnya dengan tangan. “Taman kota jam tujuh, first date.”

“Iya. Jangan ngaret.” Geya kembali mengerjakan tugas kuliahnya yang menumpuk, mengabaikan teman temannya yang kebingungan.

Gista, Radeva, dan Dafka saling pandang kemudian menghela napas berat. “Anjir segampang itu?” tanya Gista bingung.

“Pawang buaya ketemu buaya begini jadinya.” Dafka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Geya dan Auriga bukan kombinasi yang bagus.

“Aneh emang.” Radeva menghela napas berat. Mau tidak mau dia harus ikut terlibat dengan permainan Auriga lagi.

Pemuda dengan jaket denim itu berjalan santai menghampiri Geya yang sedang duduk di gazebo sambil mengerjakan tugas kuliahnya.

Pemuda yang dia duga bernama Auriga itu berdiri di sampingnya. “Halo, Geya. Maaf untuk yang tadi, gua gak sengaja.” Dia meletakkan pelastik berukuran sedang di samping laptop Geya. “Katanya cokelat bisa bikin mood bagus. Jadi, ini gua beliin sebagai permintaan maaf.”

Geya menutup laptopnya lalu menatap Auriga dari atas sampai bawah. Dia orang yang sama dengan yang menabraknya tadi. “Permintaan maaf diterima, makasih juga untuk cokelatnya. Lo bisa pergi sekarang, jangan ganggu gua nugas.”

Auriga menatap Geya tanpa berkedip kemudian mengangkat sebelah tangannya yang terkepal. “S-semangat nugasnya, Geya.” Ia tersenyum kikuk lalu berlari meninggalkan kawasan itu.

“Ya, makasih,” balas Geya walau dia tau orang yang diajaknya bicara sudah pergi. “Emang dasar cowok aneh.”

Alma memencet bel rumah bercat abu-abu muda yang ada di hadapannya. Beberapa menit kemudian seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu sambil tersenyum. Itu Mama Laskar.

“Alma, ya? Sini masuk.” Mama Laskar membukakan pintu pagar dan mempersilahkan alma masuk. “Tadi ke sini sama siapa? Sendiri?” tanyanya ramah.

Alma mengikuti Mama Laskar masuk ke dalam rumah. “Sama teman, Tante, tapi dia langsung pulang.”

“Oalah. Kalau gitu langsung ke kamar Laskar aja, ya, kamarnya ada di lantai dua, di pintunya ada namanya kok. Kayaknya dia masih tidur, kamu langsung masuk aja, ya.” Mama Laskar tersenyum seraya mengusap bahu Alma. “Tante ke dapur dulu, ya, mau masak cuci piring dulu, udah numpuk soalnya.”

“Iya, Tante.” Alma mengangguk kemudian tersenyum sekali lagi pada Mama Laskar sebelum akhirnya berjalan ke lantai dua, kamar Laskar.

Dia berjalan pelan mencari pintu kamar Laskar lalu memutar gagang pintunya pelan agar si penghuni kamar tidak terganggu. Mama Laskar benar, pemuda itu masih tidur sekarang. Gadis itu berjalan pelan mendekat ke ranjang Laskar. Tangannya terulur memegang kening pemuda itu, panas.

“Lo tuh ngeyel banget sih, udah dikasih tau Dafi jangan ke rumah gua semalam, tapi gak nurut,” omel Alma pada Laskar walau dia yakin Laskar tidak mendengar ucapannya karena masih tertidur.

Dia membenarkan selimut Laskar kemudian mengusap kepalanya hati-hati. “Bangun dong, gua penasaran lo mau ngomong apa semalam.”

Tiba-tiba Laskar memegang tangan Alma yang tengah asik mengusap kepalanya kemudian digenggam erat. Perlahan matanya terbuka menampilkan mata yang memerah khas orang sakit. “Alma,” panggilnya dengan suara serak.

Bukannya menjawab panggilan dari Laskar, Alma malah mengambil gelas berisi air yang berada di meja nakas kemudian memberikannya pada Laskar. “Minum dulu, tenggorokan lo kering kayaknya.”

Alma membantu Laskar untuk duduk kemudian membiarkan pemuda itu meminum habis air di gelas. “Lo mau ngomong apa tadi?” tanyanya begitu Laskar selesai minum.

Laskar maju dan menyenderkan kepalanya di bahu Alma. Pemuda itu hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Beberapa detik kemudian dapat Alma rasakan bahunya basah, Laskar menangis di bahunya.

“Laskar, lo gak papa?” tanya Alma khawatir. Dia benar benar khawatir sekarang, apa laskar kesakitan hingga dia menangis?

“Jangan pergi sama langit,” ujarnya parau. “Jangan pergi sama langit. Jangan tinggalin gua, Alma. Jangan.”

Alma mengusap kepala belakang Laskar, mencoba membuat pemuda itu lebih tenang. “Gua cuman nemenin dia beli bahan praktek, Laskar. Jangan takut kayak gitu.”

“Tapi dia mau ngambil lo dari gua.”

“Ya, emangnya kenapa kalau dia mau ngambil gua dari lo? Gua kan bukan milik lo,” ujar Alma santai, tapi setengah menyindir.

Laskar semakin menangis ketika mendengar ucapan Alma, bahkan kini tangannya melingkar di pinggang Alma, memeluk gadis itu erat seolah takut kehilangan. “Jangan ngomong gitu.”

Alma memutar matanya malas. “Sekarang mending lo berhenti nangis, kita omongin ini dengan benar.”

Dengan enggan Laskar melepas pelukannya kemudian mundur kembali ke posisi semula. Dia menatap Alma yang wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Gua rasa gua bakal omongin ini sekarang.” Alma menarik napas dalam. “Jujur gua pengen banget anjing-anjingin lo. Lo selalu bertingkah seolah gak mau kehilangan gua, tapi lo juga selalu nolak perasaan gua.”

Gadis itu menatap Laskar tepat di matanya. Mata gadis itu memancarkan kesedihannya. “Lo pikir perasaan gua ini apa, Laskar? Pelarian? Kalau lo emang mau nolak gua sekiranya kasih gua alasan yang jelas. Lo bahkan gak pernah kasih gua alasan.”

Gadis itu menunduk sambil menggigit bibir bawahnya menahan tangis. “Sekarang menurut lo, kalau gua berpaling ke Langit itu salah. Di lain sisi lo bahkan gak pernah ngehargain perasaan gua.”

“Maaf, Alma. Gua gak pernah bermaksud kayak gitu.” Langit menatap sendu Alma. “Sekarang biarin gua jelasin semua yang lo mau, Alma.”

“Alma, gua suka lo dari pertama kali kita ketemu. Bukan saat MOS, tapi jauh sebelum itu. Gua gak yakin lo inget ini atau nggak, kita pernah ketemu di pinggir jalan dekat sekolah lo dulu. Lo nolong gua yang hampir aja keserempet mobil.” Laskar tersenyum lembut ketika melihat wajah terkejut Alma. “Awalnya gua berpikir kalau kita gak akan ketemu lagi, tapi ternyata nggak. Gua malah satu sekolah sama lo, bahkan satu kelas sampai sekarang.”

“Kalau lo juga suka gua, kenapa lo selalu nolak gua?” tanya gadis itu bingung.

Lasar tersenyum miris. “Hendery suka lo. Gua gak mau pertemanan kita jadi berantakan karena ini.”

Alma tertawa sambil menutup wajahnya dengan tangan dan membuat Laskar menatapnya penuh tanda tanya. “Maaf banget ini mah, ya Allah ngakak.”

Laskar menautkan alisnya. “Kok lo ketawa sih?”

“Gua juga tau kali kalau Hendery sempet suka sama gua, tapi sekarang kan dia naksir Yeri.” Alma menyeka air matanya yang sedikit keluar karena tertawa.

“Apa? Hendery naksir Yeri? Sejak kapan?” tanya Laskar berturut turut.

“Udah dari kelas sepuluh semester dua, Kar,” jawab Alma gemas sambil mencubit pipi Laskar yang kebingungan.