Untuk pertama kalinya setelah kematian Juan, Adena kembali menginjakkan kakinya di rumah Keluarga Bagaspati. Sejauh ini tidak ada yang berubah, susunan rumah itu masih sama seperti saat terakhir kalinya berkunjung, bahkan sambutan hangat dari Hamish juga tidak berubah padanya. Lelaki itu berjalan turun dari tangga dengan senyum lebar di wajahnya. “Kak Denden udah dateng ternyata. Duduk dulu aja, Kak.”
Hamish mengajak Adena menuju ruang keluarga dan mempersilakan calon kakak iparnya itu untuk duduk di sana sembari menunggu. “Kakak tunggu sebentar, ya. Si Reynald sama Mas Ju masih rapihin gudang. Kakak kalau bosen nonton TV aja, tapi maaf TV-nya berdebu. Soalnya—”
“Soalnya cuman Juan yang nonton TV di rumah,” sela Adena cepat. Perempuan itu memasang senyum masam, dia ingat sekali cerita Juan tentang tidak bergunanya TV di rumah mereka karena hanya dia satu-satunya orang yang menonton TV. “Gak apa-apa, Ham. Kakak ngerti kok.”
Hamish hanya mengangguk tanpa membalas sedikitpun. Hilangnya penonton satu-satunya TV di rumah itu sangat mempengaruhi penghuni lain rumah Keluarga Bagaspati, termasuk Hamish. Karena biasanya Juan lah yang akan duduk lama di ruang keluarga untuk sekedar menyalakan benda itu agar berfungsi sesuai fungsinya. Hamish memilih pergi menuju dapur untuk membuat minuman untuk tamunya, meninggalkan Adena yang hanya bisa duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Dia tidak seberani itu untuk menyalakan TV, karena Juan pernah beberapa kali mengajaknya menonton acara kartun di TV saat mereka masih berpacaran.
“Kamu mau ke kamar Abang sekarang?” Juna tiba-tiba muncul dari gudang dengan pakaian yang sedikit kotor terkena debu. Dia sesekali mengusap hidungnya yang terasa gatal karena debu-debu gudang. “Aku mau ke atas, siapa tau kamu mau sekalian bareng ke kamar Abang. Mau nggak?” tawarnya sekali lagi.
Adena mengangguk dan menyimpan tasnya begitu saja di sofa, kemudian ikut berdiri bersama Juna. Sepasang cucu adam itu berjalan beriringan menuju lantai dua rumah dengan Juna yang berjalan memimpin. Lelaki itu membuka pintu kamar Juan, membiarkan Adena yang ada di belakangnya melihat isi kamar itu sebelum mereka mengosongkannya. “Kamu masuk aja, aku mau ke kamar dulu untuk ganti baju,” ujar Juna sebelum pergi menuju kamarnya.
Kamar Juan tidak berubah, masih sama seperti sebelumnya. Aroma parfum Juan juga masih samar tercium mengisi ruangan itu. Semuanya benar-benar sama. Adena bahkan merasa sedikit takjub dengan ruangan itu, meski sudah tidak ada penghuninya ruangan itu masih memberikan kesan bahwa sang penghuni akan kembali suatu saat nanti.
“Aku jadi merasa kamu ada di sini.” Adena tertawa lirih, rasa hangat yang masih tertinggal di ruangan ini menyakitinya. Rasanya separuh dirinya ingin duduk diam di kasur sambil meremat jari karena tak sabar menunggu Juan kembali. Tapi seketika dirinya disadarkan dengan fakta bahwa Juan-nya memang pulang, tapi bukan ke rumah ini. Melainkan rumah yang sebenarnya.
Adena mulai mengumpulkan barang-barang milik Juan yang berhubungan dengannya, mulai dari foto, baju, boneka, bahkan snow globe oleh-oleh darinya saat liburan ke luar negeri beberapa tahun lalu. Dia tahu betul di mana Juan menyimpan barang-barang pemberiannya, salah satunya adalah meja yang ada di samping kasur. Adena membuka laci di meja itu untuk mengambil gantungan kunci berbentuk kucing yang merupakan barang couple yang mereka beli saat awal-awal berpacaran.
Saat dia mengeluarkan gantungan kunci itu, sebuah gantungan kunci lain yang tersangkut ikut terbawa dan jatuh ke lantai. Mau tidak mau Adena harus menunduk untuk mengambil gantungan kunci itu. Bukannya langsung mengembalikan gantungan kunci itu ke laci, Adena malah tertarik pada kotak kayu yang ada di bawah kasur Juan yang tadi tak sengaja tertangkap matanya. Dia yang penasaran langsung saja menarik kotak yang tutupnya sedikit terbuka itu agar keluar dari kolong tempat tidur.
“Ini apa…” Adena membuka tutup kotak kayu itu, isinya tak banyak, hanya sebuah buku, amplop, dan sebuah foto dirinya bersama seorang anak laki-laki yang sepertinya adik kelasnya saat SMA yang Adena duga adalah Juna.
Dilihat dari sampulnya yang bertuliskan nama Juan dengan pena bertinta emas, sepertinya buku itu adalah buku harian Juan. Perempuan itu tidak bisa menutupi keterkejutannya saat membaca halaman demi halaman buku itu, semuanya tentang dirinya. Apa yang Adena suka, apa yang Adena tidak suka, Apa yang membuat Adena senang, Apa yang membuat Adena kesal, semuanya ada di buku itu.
Adena mengeluarkan amplop yang ada di dalam kotak, dan secara spontan menutup mulutnya tak percaya saat melihat logo sebuah rumah sakit berada di depan amplop itu. Pikirannya tidak lagi berpikir positif, semua kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi seolah berterbangan di kepalanya, memenuhi akal sehatnya yang mulai tertutup rasa takut.
“Na, jangan buka kotak kayu di bawah kasur!” Juna dengan napas yang masih terengah tiba-tiba muncul di depan kamar Juan. Dia yang bahkan belum sempat memakai bajunya nampak begitu panik saat datang tadi. Mata lelaki itu bersitatap dengan Adena, kemudian turun pada kotak kayu di depannya. Dia terlambat.
“Bisa tolong jelaskan, Juna Bagaspati?” Adena mengembalikan barang-barang itu ke dalam kotak lagi. Dia bangkit dan berjalan menghampiri Juna yang hanya bisa berdiri mematung di depan kamar. “Aku punya banyak sekali pertanyaan, saking banyaknya aku bingung harus mulai tanya dari mana. Jadi, semoga kamu punya kemurahan hati untuk menjelaskan lebih dulu ke aku.”
“Termasuk kenapa kamu bisa tau hal-hal yang gak pernah aku kasih tau ke kamu,” lanjut Adena dengan suara bergetar yang begitu kentara. Dan Juna tahu jika perempuan itu tengah merasa kebingungan saat ini.