vyn

Lelaki itu tersenyum memperhatikan pasangan suami istri itu dari tempatnya berdiri di pojok ruangan. Senyumnya itu bertahan lama sampai akhirnya diinterupsi oleh pertanyaan seorang remaja yang sepertinya baru saja memasuki masa putih abu-abunya.

“Kok ngelihatin dari sini aja, Om? Kenapa gak disamperin aja pengantinnya?” tanya anak itu penasaran karena melihat lelaki itu hanya berdiri di pojok ruangan dekat dengan tanaman yang sengaja di taruh di sana.

Lelaki itu hanya tersenyum kecil kemudian menggeleng. “Saya cuman mau lihat mereka aja,” jawabnya yang langsung dibalas anggukan anak itu.

“Om, dari pihak perempuan atau laki-lakinya?” tanya anak itu lagi, penasaran. Tipikal anak kecil yang ingin tahu banyak hal sekali.

“Laki-laki.”

“Saya mau ke depan sama Mama. Om, mau titip pesan buat pengantinnya?” tawar anak itu, ia bersedia membantu jika lelaki itu ingin menitipkan pesan pada pengantin di depan sana.

Lelaki itu akhirnya menoleh, tidak lagi memperhatikan pengantin di depan dan kini menatap anak itu. Dia lagi-lagi tersenyum. “Tolong beri tau perempuan itu, saya datang.

“Aji! Kamu ngapain ngomong sama pohon lagi? Sini cepet.” Seorang wanita paruh baya berjalan cepat menghampiri anak itu dan langsung menariknya agar mengikuti langkahnya.

Anak itu sempat menoleh beberapa kali ke arah lelaki tadi berada, berharap bisa menemukan sosok itu dan bisa menanyakan namanya. Sayangnya lelaki itu menghilang, tidak terlihat di mana-mana bahkan sampai acara pernikahan itu selesai.

“Sherena, dia Adena tunangan saya.”

Sherena tersenyum kikuk kemudian mengulurkan tangannya pada perempuan bernama Adena itu. Dia merasa sedikit gugup karena perempuan itu terus memperhatikannya. “Salam kenal. Sherena,” ucapnya seramah mungkin.

“Adena.” Adena tentu membalas uluran tangan itu karena Juna menggenggam sebelah tangannya di bawah meja. Mungkin mengerti jika suatu saat Adena bisa mengamuk pada perempuan yang sempat membuat hubungan mereka berdua renggang. Adena memberikan satu undangan untuk bertuliskan nama Sherena di depannya. “Saya harap kamu bisa datang di pernikahan kami.”

Sherena menerima undangan itu dengan senang hati. Dia juga mengatakan bahwa akan menghadiri pernikahan pasangan itu. Setelah berbincang sebentar, Sherena berpamitan pada Juna dan Adena karena sudah ditunggu oleh keluarganya di rumah.

Baru beberapa langkah Sherena meninggalkan meja mereka, perempuan itu tiba-tiba berhenti berjalan saat mendapati sosok yang nampak familiar di matanya. “Kakak?”

Narendra nampak terkejut dengan kehadiran Sherena di sana. Dia tidak menduga mereka akan bertemu di tempatnya bekerja. “Kamu ngapain di sini?”

Adena yang memperhatikan itu langsung saja mendekatkan dirinya pada Juna. “Ini ada apa?” tanyanya sambil berbisik.

“Dia teman masa kecilnya Narendra.” Juna menjawab sambil berbisik juga. Lelaki itu bahkan sempat mengulum senyum karena posisinya yang begitu dekat dengan Adena.

“Serius? Kamu tau—”

“Tau. Kamu cantik, kan?” potong Juna membuat Adena memukul lengannya kesal. Dan jangan lupakan semburat merah di pipi perempuan itu. “Wajahmu merah, tambah cantik.”

“Gak usah gombal, gak mempan di aku,” ketus Adena. Walau dalam hatinya ia ingin berteriak sekeras-kerasnya karena gombalan receh Juna.

“Penonton kecewa. Gua pikir bakal ada ribut habis ini,” celetuk Hamish yang sedari tadi berdiri di balik meja kasir bersama Rana.

“Otak lo isinya ribut doang, mending lo pulang, kids,” cibir Rana sebelum meninggalkan Hamish sendiri di meja kasir.

Hamish yang ditinggal langsung mengikuti langkah Rana sambil menggerutu. “Kok gua ditinggal sih, Kak. Nanti kalau gua dikira kasirnya gimana? Lo gak kasihan sama gua?”

“Diem, kids.”

Juna hanya bisa menghela napas berat, dia mundur selangkah untuk memakai bajunya sembari merangkai kata bagaimana menjelaskan semuanya tanpa menyakiti perasaan Adena. Kemudian dia membawa Adena untuk duduk di lantai dengan kotak kayu itu di antara mereka. “Aku rasa kamu udah baca bukunya,” ujar Juna memulai penjelasannya. “Abang ninggalin buku itu untuk aku supaya aku bisa mengerti kamu dengan baik. Abang tulis semua tentang kamu di sana, berharap itu bisa jadi guide untuk aku. Abang gak pernah sekalipun berpikir untuk ninggalin kamu, dia bener-bener sayang kamu. Waktu itu Abang ajak aku untuk tes kesehatan, dia juga suruh aku untuk ngelakuin tes kesuburan. Aku masih belum paham apa maksud dia sampai suruh aku ngelakuin tes kesuburan. Setiap ditanya, dia gak jawab dan malah ceritain tentang kamu yang suka anak kecil. Aneh emang. Sampai akhirnya Abang minta aku untuk gantikan dia—jika sesuatu terjadi. Waktu Abang bilang dia mungkin gak bisa suatu saat nanti dan minta aku untuk gantikan posisi dia, aku berpikir Abang orang paling gila yang ada di dunia. Bisa-bisanya dia pesimis kalau dia gak bisa nikah sama kamu.

“Waktu itu aku marah, berhenti ngomong sama dia, bahkan jarang pulang ke rumah karena gak mau ketemu Abang. Menurutku, Abang itu orang yang paling sulit dimengerti, dia cuman suka kasih kode dan biarin itu semua kejadian. Mungkin waktu itu Abang sadar kalau aku gak menangkap kode dari dia, jadi, dia ajak aku ketemu untuk bahas hasil lab. Aku pikir waktu itu dia cuman lagi alasan biar aku mau ketemu dia, tapi waktu dia kirim foto amplop rumah sakit ini aku langsung pulang. Waktu aku udah duduk manis di depan dia, Abang gak langsung kasih tunjuk hasil lab-nya. Dia lagi-lagi ceritain kalau kamu suka anak kecil, dia juga bilang kalau kamu mau punya dua anak, yang pertama harus laki-laki katanya.

“Awalnya aku pikir Abang memang bohong supaya aku mau ketemu dia, tapi waktu aku mau pergi dari sana akhirnya Abang kasih aku hasil lab-nya. Nggak, Abang gak sakit, dia sehat. Dan waktu itu, untuk pertama kalinya aku nangkap kode yang Abang kasih sejak kemarin. Kenapa aku diminta tes kesuburan, kenapa dia ceritain kamu yang suka anak kecil, dan mungkin juga kenapa dia minta aku untuk gantikan dia suatu saat nanti.” Juna menatap lamat-lamat wajah Adena untuk sesaat. “Abang dinyatakan tidak bisa memiliki keturunan.”

Juna tiba-tiba berhenti bercerita, dia menunduk dan memejamkan matanya sejenak. Menceritakan ini semua membuatnya sakit, tapi dia tahu Adena lah yang lebih sakit dari pada dirinya. “Aku rasa itu yang buat Abang merasa berat untuk tetap nikah sama kamu, karena dia tau kamu akan sangat cocok jadi ibu untuk dua anak. Kebetulan hasil lab punyaku waktu itu bagus, jadi aku berpikir Abang minta bantuanku karena itu. Tapi ternyata Abang tau sesuatu yang aku coba sembunyikan, dan dia merasa tambah yakin untuk jadikan aku penggantinya. Aku gak pernah setuju sama dia, dan dia juga kelihatan gak butuh persetujuan aku. Mungkin karena tau aku bakal tetap ngelakuin itu untuk dia, setuju atau nggak sama sekali. Aku pikir waktu itu Abang cuman bakal mundur dari pernikahan kalian dan menjalankan hidupnya kayak biasa, tapi ternyata takdir berkata lain. Abang… kecelakaan.

“Aku gak bisa berpikir waktu itu. Abang benar-benar minta aku untuk gantikan dia dengan cara yang paling aku benci. Aku gak bisa nangis waktu itu, rasanya campur aduk. Aku marah, sedih, bingung, dan itu semua jadi satu hari itu. Aku tau aku bisa aja gak ngelakuin apa yang Abang minta, ngelupain gitu aja dan pura-pura gak terjadi apa-apa itu bukan hal yang sulit harusnya. Tapi lihat kamu yang kayak mayat hidup di makam Abang buat aku berubah pikiran. Aku tau sekali kalau aku gak akan semudah itu untuk masuk ke hidup kamu, tapi aku tau kamu juga gak pantas merasa sendirian. Aku sempat beberapa kali mau nyerah dan lepasin kamu, tapi lihat kamu yang bisa senyum waktu sama aku buat niat itu aku buang jauh-jauh.”

Juna menarik sudut bibirnya ke atas selagi tangannya meraih tangan Adena yang terdapat cincin pertunangan mereka. “Dan akhirnya perjuangan aku berakhir dengan ini, cincin ini. Walau aku tau aku hampir aja ngehancurin semuanya hanya karena pekerjaan dan rasa tanggung jawab yang sebenarnya gak perlu banget aku lakukan waktu itu. Aku tau permintaan maafku gak akan menghilangkan rasa kecewa kamu, tapi tolong terima permintaan maafku ini. Karena aku gak mau kehilangan kamu.”

Untuk pertama kalinya setelah kematian Juan, Adena kembali menginjakkan kakinya di rumah Keluarga Bagaspati. Sejauh ini tidak ada yang berubah, susunan rumah itu masih sama seperti saat terakhir kalinya berkunjung, bahkan sambutan hangat dari Hamish juga tidak berubah padanya. Lelaki itu berjalan turun dari tangga dengan senyum lebar di wajahnya. “Kak Denden udah dateng ternyata. Duduk dulu aja, Kak.”

Hamish mengajak Adena menuju ruang keluarga dan mempersilakan calon kakak iparnya itu untuk duduk di sana sembari menunggu. “Kakak tunggu sebentar, ya. Si Reynald sama Mas Ju masih rapihin gudang. Kakak kalau bosen nonton TV aja, tapi maaf TV-nya berdebu. Soalnya—”

“Soalnya cuman Juan yang nonton TV di rumah,” sela Adena cepat. Perempuan itu memasang senyum masam, dia ingat sekali cerita Juan tentang tidak bergunanya TV di rumah mereka karena hanya dia satu-satunya orang yang menonton TV. “Gak apa-apa, Ham. Kakak ngerti kok.”

Hamish hanya mengangguk tanpa membalas sedikitpun. Hilangnya penonton satu-satunya TV di rumah itu sangat mempengaruhi penghuni lain rumah Keluarga Bagaspati, termasuk Hamish. Karena biasanya Juan lah yang akan duduk lama di ruang keluarga untuk sekedar menyalakan benda itu agar berfungsi sesuai fungsinya. Hamish memilih pergi menuju dapur untuk membuat minuman untuk tamunya, meninggalkan Adena yang hanya bisa duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Dia tidak seberani itu untuk menyalakan TV, karena Juan pernah beberapa kali mengajaknya menonton acara kartun di TV saat mereka masih berpacaran.

“Kamu mau ke kamar Abang sekarang?” Juna tiba-tiba muncul dari gudang dengan pakaian yang sedikit kotor terkena debu. Dia sesekali mengusap hidungnya yang terasa gatal karena debu-debu gudang. “Aku mau ke atas, siapa tau kamu mau sekalian bareng ke kamar Abang. Mau nggak?” tawarnya sekali lagi.

Adena mengangguk dan menyimpan tasnya begitu saja di sofa, kemudian ikut berdiri bersama Juna. Sepasang cucu adam itu berjalan beriringan menuju lantai dua rumah dengan Juna yang berjalan memimpin. Lelaki itu membuka pintu kamar Juan, membiarkan Adena yang ada di belakangnya melihat isi kamar itu sebelum mereka mengosongkannya. “Kamu masuk aja, aku mau ke kamar dulu untuk ganti baju,” ujar Juna sebelum pergi menuju kamarnya.

Kamar Juan tidak berubah, masih sama seperti sebelumnya. Aroma parfum Juan juga masih samar tercium mengisi ruangan itu. Semuanya benar-benar sama. Adena bahkan merasa sedikit takjub dengan ruangan itu, meski sudah tidak ada penghuninya ruangan itu masih memberikan kesan bahwa sang penghuni akan kembali suatu saat nanti.

“Aku jadi merasa kamu ada di sini.” Adena tertawa lirih, rasa hangat yang masih tertinggal di ruangan ini menyakitinya. Rasanya separuh dirinya ingin duduk diam di kasur sambil meremat jari karena tak sabar menunggu Juan kembali. Tapi seketika dirinya disadarkan dengan fakta bahwa Juan-nya memang pulang, tapi bukan ke rumah ini. Melainkan rumah yang sebenarnya.

Adena mulai mengumpulkan barang-barang milik Juan yang berhubungan dengannya, mulai dari foto, baju, boneka, bahkan snow globe oleh-oleh darinya saat liburan ke luar negeri beberapa tahun lalu. Dia tahu betul di mana Juan menyimpan barang-barang pemberiannya, salah satunya adalah meja yang ada di samping kasur. Adena membuka laci di meja itu untuk mengambil gantungan kunci berbentuk kucing yang merupakan barang couple yang mereka beli saat awal-awal berpacaran.

Saat dia mengeluarkan gantungan kunci itu, sebuah gantungan kunci lain yang tersangkut ikut terbawa dan jatuh ke lantai. Mau tidak mau Adena harus menunduk untuk mengambil gantungan kunci itu. Bukannya langsung mengembalikan gantungan kunci itu ke laci, Adena malah tertarik pada kotak kayu yang ada di bawah kasur Juan yang tadi tak sengaja tertangkap matanya. Dia yang penasaran langsung saja menarik kotak yang tutupnya sedikit terbuka itu agar keluar dari kolong tempat tidur.

“Ini apa…” Adena membuka tutup kotak kayu itu, isinya tak banyak, hanya sebuah buku, amplop, dan sebuah foto dirinya bersama seorang anak laki-laki yang sepertinya adik kelasnya saat SMA yang Adena duga adalah Juna.

Dilihat dari sampulnya yang bertuliskan nama Juan dengan pena bertinta emas, sepertinya buku itu adalah buku harian Juan. Perempuan itu tidak bisa menutupi keterkejutannya saat membaca halaman demi halaman buku itu, semuanya tentang dirinya. Apa yang Adena suka, apa yang Adena tidak suka, Apa yang membuat Adena senang, Apa yang membuat Adena kesal, semuanya ada di buku itu.

Adena mengeluarkan amplop yang ada di dalam kotak, dan secara spontan menutup mulutnya tak percaya saat melihat logo sebuah rumah sakit berada di depan amplop itu. Pikirannya tidak lagi berpikir positif, semua kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi seolah berterbangan di kepalanya, memenuhi akal sehatnya yang mulai tertutup rasa takut.

“Na, jangan buka kotak kayu di bawah kasur!” Juna dengan napas yang masih terengah tiba-tiba muncul di depan kamar Juan. Dia yang bahkan belum sempat memakai bajunya nampak begitu panik saat datang tadi. Mata lelaki itu bersitatap dengan Adena, kemudian turun pada kotak kayu di depannya. Dia terlambat.

“Bisa tolong jelaskan, Juna Bagaspati?” Adena mengembalikan barang-barang itu ke dalam kotak lagi. Dia bangkit dan berjalan menghampiri Juna yang hanya bisa berdiri mematung di depan kamar. “Aku punya banyak sekali pertanyaan, saking banyaknya aku bingung harus mulai tanya dari mana. Jadi, semoga kamu punya kemurahan hati untuk menjelaskan lebih dulu ke aku.”

“Termasuk kenapa kamu bisa tau hal-hal yang gak pernah aku kasih tau ke kamu,” lanjut Adena dengan suara bergetar yang begitu kentara. Dan Juna tahu jika perempuan itu tengah merasa kebingungan saat ini.

Sama seperti rencana awal, hari ini Adena benar-benar berkunjung ke rumah baru Juan. Dia tersenyum menatap gundukan tanah itu, rupanya makam ini dirawat dengan baik karena tidak ada rumput liar di atasnya. Gadis itu berjongkok tepat di samping nisan Juan.

“Maaf baru datang sekarang, ya.” Sudah hampir satu bulan dia tidak datang ke tempat ini. Kesibukannya di cafe membuatnya tak leluasa pergi meninggalkan Rana yang mengurus cafe sendirian, terlebih setelah bekerja sama dengan Narendra. “Ada banyak banget yang mau aku ceritain ke kamu, tapi kali ini aku bakal ceritain tentang orang yang kamu kenal aja. Aku mau ceritain Juna.”

“Aku akui awalnya sulit buat percaya dia... tapi besok—beberapa hari lagi, aku bakal tunangan sama dia, laki-laki yang kamu percaya. Memang gak mudah buat naruh kepercayaan di dia setelah semua ini, tapi kalau dipikir-pikir lagi dia orang kepercayaan kamu, jadi aku percaya dia.” Adena mengusap batu nisan itu penuh sayang. “Juna itu... gimana ya jelasin ke kamu tentang dia.” Bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis, ada perasaan senang saat membicarakan pemuda itu.

“Juna… dia perlakuin aku dengan baik. Dia perhatian banget, lembut juga. Tipikal soft boy gemes gitu.” Adena terkekeh pelan ketika mengingat wajah Juna yang menurutnya menggemaskan di beberapa keadaan. “Awalnya aku kira dia galak, soalnya waktu itu dia pernah marahin aku. Tapi ternyata salah, waktu itu dia kalut karena kepergian kamu. Dia ada di posisi yang membingungkan waktu itu, dia harus bertanggung jawab sama dirinya sendiri, tapi dia juga merasa bertanggung jawab sama aku karena amanah kamu. Waktu itu aku marah banget, bisa-bisanya kamu biarin orang lain ambil tempat kamu, dan itu adik kamu sendiri. Aku gak suka Juna, dia merasa gak keberatan untuk jaga aku. Tapi waktu itu, waktu aku gak bisa pulang sendiri… dia datang. Dia peluk aku dan bawa aku pulang. Aku kayak lihat kamu di dia. Jangan khawatir, ya… dia jaga aku dengan baik.”

Gadis itu menengadah, menatap indahnya langit kala itu sekaligus menahan air mata yang berlomba keluar dari pelupuk matanya. “Juan... aku gak tau gimana jujur ke kamu, tapi aku... mulai suka dia,” ujar Adena memelan diakhir. Sebuah pengakuan besar yang akhirnya pada hari ini ia ungkapkan di depan makam Juan. “Aku boleh minta tolong?” tanyanya sembari menatap lamat nisan Juan. “Tolong jaga Juna dari atas sana... aku gak mau kehilangan dia.”


Mungkin akan menjadi penyesalan terbesar bagi Juna jika dia langsung pergi begitu saja saat mendengar sepotong percakapan Adena di hadapan makam sang kakak. Mungkin dia akan terus berpikir Adena tak menyukainya jika dia hanya berhenti mencuri dengar saat gadis itu mengatakan “Aku gak suka Juna”.

Maka keputusannya untuk tinggal adalah yang terbaik. Mengetahui dirinya diterima oleh gadis itu cukup membuat hatinya lega. Sekiranya dia berhasil membuka pintu hati gadis itu.

Tangga lantai dua gedung barat memang jarang dilewati karena di lantai itu hanya terdapat perpustakaan, aula, dan laboratorium. Tempat yang sepi itu sangat strategis bagi Jihan untuk melakukan rencananya.

“Cepet, lo jadi ngomong gak?” Kayla menatap kesal Jihan yang terus menerus menghindari tatapannya. Gadis itu terus menerus menatap sekitarnya seolah menunggu seseorang. “Lo jadi ngomong gak sih? Kalau nggak gua—”

Tiba-tiba Jihan menarik tangan Kayla dan meletakkannya di kepalanya dan membuat tangan Kayla memegang rambutnya. “Kayla, maafin gua! Ampun, Kayla!”

“Lo apa-apaan sih!” Kayla membulatkan matanya terkejut, ucapan Jihan barusan bisa mengundang prasangka buruk dari orang lain. Dia mencoba menarik tangannya, tapi Jihan malah menahannya dan membuat adegan jambak rambut itu terlihat semakin nyata. “Lepasin tangan gua, Jihan.”

Jihan tersenyum miring kemudian melepaskan tangan Kayla. Dengan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya dari tangga hingga menggelinding ke anak tangga terbawah.

“Jihan!” Ghazi dan Rasya berlari menuruni tangga menghampiri Jihan yang terbaring di bawah sana. Gadis itu menangis sembari menunjuk-nunjuk Kayla ketakutan.

Kayla hanya bisa terpaku di tempatnya. Dia tidak menyangka Jihan akan melakukan hal senekat ini.

“Kayla! Lo kenapa dorong Jihan?” Kaisar hendak menarik tangan Kayla agar menghadapnya, tapi tangannya berakhir menggantung di udara karena dicekal oleh seseorang.

Marva di sana, berdiri di depan Kayla sembari memegang tangan Kaisar yang hendak menarik Kayla. “Jangan coba-coba pegang tangan cewek gua kalau gak mau gua patahin tangan lo.”

Jauzan menaikkan sebelah alisnya. “Cewek lo? Bangun, udah siang,” sinisnya.

“Sekiranya gua tau gimana cara supaya gak brengsek,” balas Marva meledek. Dia tertawa dalam hati melihat Jauzan dan Kaisar yang nampak kesal.

Tiba-tiba Emil, Madhava, dan Fathan bertepuk tangan sembari berjalan menghampiri mereka. Emil menyeka matanya seolah baru saja menangis. “Dramanya bagus, ya, lebih bagus dari drama azab. Jadi terharu,” ucapnya dengan di.

Madhava menatap remeh Jihan yang menangis di antara Ghazi dan Rasya. “Drama lo keren,” komentarnya sembari mengacungkan jempol. “Gimana? Udah cukup belum validasinya kalau drama lo keren?”

Jihan tidak membalas, dia masih terus melanjutkan akting sebagai korbannya di sana. Tapi jauh di lubuk hati, dia sudah menyumpah serapahi Madhava karena mengejeknya.

“Tolol boleh, tapi jangan berlebihan ya.” Fathan tersenyum manis kemudian menepuk bahu Kaisar ketika menyadari wajah pemuda itu yang berubah menjadi kebingungan.

Akan sangat terlihat bodoh jika empat pemuda itu percaya jika Jihan jatuh karena Kayla. Semoga saja mereka tersadar siapa yang menjadi pelaku utamanya di sini. Ya, semoga.

“Jangan merasa itu berlebihan, she deserves it. Dia ganggu kamu, bahkan sampai tangan kamu luka. Aku mungkin emang bukan pacar yang cukup baik, but I won't let anyone hurt you, bahkan aku sendiri sekalipun.” Javiero berucap panjang lebar setelah melempar ponsel Gianna ke sofa sehabis membalas pesan dari Luna. Pemuda itu kini berdiri di balkon apart Gianna sembari menghisap gulungan tembakau yang diapit di antara dua jarinya.

“Javiero,” panggil Gianna.

Yes, Love?

“Jangan coba-coba tinggalin gua kalau lo masih mau hidup nyaman.”

Javiero tersenyum miring lalu berbalik menghadap Gianna. “I will never leave you. Kamu bisa potong kakiku kalau aku sampai ninggalin kamu. I love you too, Gi.

Javiero meletakan ponsel Gianna di meja kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda, menghisap gulungan nikotin yang diapit kedua jarinya.

“Lo balas apa?” tanya Gianna penasaran karena barusan secara tiba-tiba Javiero mengambil alih ponselnya untuk membalas pesan dari Luna. “Javi! Lo ngetik apaan ini,” pekiknya kaget ketika membaca balasan sang kekasih untuk Luna.

Javiero hanya mengedikkan bahunya abai, dia lebih memilih menikmati rokoknya dibanding membalas ucapan Gianna, yang jika saja dia balas mungkin akan berujung dia diomeli gadis itu.

Gianna bangkit dan menghampiri Javiero di balkon apartemennya. “Lo gak ngerasa ini berlebihan?” tanyanya kemudian.

“Nggak.” Javiero memutar tubuhnya menghadap Gianna lalu menarik pinggang gadis itu mendekat. “She's bothering you. Dia juga bikin jari kamu luka.” Pemuda itu mengangkat tangan Gianna yang terdapat luka cakaran dari Luna. Diciumnya luka itu dengan penuh sayang. “Dia ngelukain kamu, aku gak suka.”

“Javiero.”

Yes, Love?” balas Javiero dengan suara serak. Dia menyelipkan rambut Gianna kebelakang telinga agar tidak menghalangi pahatan wajah gadis itu yang teramat cantik.

“Lo anjing banget serius. And that's why I love you.”

Rana melirik sekilas Juna yang asyik bermain ponsel di pojok cafe. “Itu anak kenapa? Dari tadi cemberut aja,” tanyanya sambil berbisik pada Adena yang berdiri di sebelahnya.

Adena yang ditanya perihal Juna langsung menatap pemuda itu. “Lagi ngambek,” jawabnya singkat kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

“Lo samperin sana. Ini biar gua yang lanjutin.” Rana mengambil alih gelas yang berada di tangan Adena dan mendorong pelan gadis itu untuk mulai berjalan.

Adena tidak punya pilihan lain selain mengikuti ucapan Rana. Dia menghampiri Juna dan duduk di hadapannya. Adena sempat berpikir jika dia duduk di hadapan pemuda itu, Juna akan menaruh ponselnya dan menatapnya, tapi dia lupa jika Juna kini tengah merajuk padanya. “Juna,” panggilnya dengan lembut.

Tidak ada balasan. Juna masih sibuk dengan ponselnya. Jangan lupakan wajah pemuda itu yang masih senantiasa cemberut, dan itu membuat Adena gemas.

“Juna,” panggilnya sekali lagi, tapi hasilnya masih sama, Juna tidak membalas.

Sayang.”

Juna meremat ponselnya, menjadikannya pelampiasan keterkejutannya karena dipanggil sayang oleh Adena. Juna tidak dapat menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik ke atas membentuk senyuman. Dia berani bersumpah jantungnya berdebar sangat cepat dan perutnya serasa dipenuhi ribuan kupu-kupu.

Dia berdeham pelan dan meletakkan ponselnya di meja. Juna menatap Adena sekilas, tak mampu menatap gadis itu terlalu lama. “Kenapa manggil-manggil?” tanyanya pura-pura cuek.

Tentu saja Adena sadar jika Juna sedang salah tingkah. Pemuda itu tidak bisa menyembunyikan salah tingkahnya hingga nampak begitu jelas di mata orang-orang. “Kenapa sih dari tadi dipanggil susah banget. Lo ngambek, ya. Ngambek kenapa sih,

Sayang.”

Juna membulatkan matanya ketika Adena dengan sengaja kembali memanggilnya sayang, sedangkan si pelaku hanya tersenyum manis menggoda Juna. Sungguh, Adena nampak sangat cantik saat tersenyum seperti ini. Tiba-tiba Juna merasa hidungnya meneteskan sesuatu. Sial, dia mimisan hanya karena dipanggil sayang dan menatap Adena yang tersenyum.

Merasa jengah sedari tadi diperhatikan, Adena langsung menoleh pada Juna yang berdiri tak jauh darinya. Seingatnya tadi dia sudah meminta pemuda itu untuk duduk di ruang tamu, tapi kenapa dia masih berdiri saja. “Kenapa gak duduk?” tanyanya heran.

Juna menggeleng. Dia membuka kedua tangannya lebar-lebar dan menggerakkannya seperti anak kecil. “Na,” panggil Juna disertai kode tersirat.

Adena tersenyum gemas, dia menangkap kode yang diberikan Juna dengan baik. Lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu dan ikut membuka tangannya, memeluk Juna.

Sedangkan yang dipeluk hanya bisa tersenyum lebar dan meletakkan kepalanya di bahu Adena. “Nyaman,” gumam Juna membuat tawa Adena pecah. Juna di keadaan seperti ini benar-benar berbeda dari biasanya, dan itu sangat lucu di mata Adena.

Tangan Adena bergerak mengusap-usap kepala Juna dan sesekali menepuk-nepuknya dengan lembut. “Lo kalau kayak gini jadi mirip anak kecil. Dasar bocil.”

Juna mengeratkan pelukannya sebagai respon. “Bocilnya Adena,” ujarnya membuat senyum Adena merekah. Juna-nya benar-benar lucu.