vyn

Kelas yang kosong dan hanya dihuni dirinya sendiri membuat Ghava mengantuk. Dia yang memang tidak ingin menahan kantuk langsung melipat tangannya dan menjadikannya sebagai bantal di atas meja. Kemudian menyamankan posisinya sebelum akhirnya memejamkan matanya yang kian berat.

Suara pintu terbuka dengan kasar terdengar beberapa menit kemudian dan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di sana. Ghava yang terkejut langsung mengangkat kepalanya dan menatap pelaku pembuka pintu itu. Jareth pelakunya. Pemuda bermata sipit itu berdiri di depan pintu dengan sebelah tangan di dalam saku.

Ghava mendengus kesal karena kembali bertemu Jareth sendirian seperti ini. Dia ingin pergi, tapi rasanya malas sekali mengangkat tubuhnya dan berjalan keluar dari kelas. Lagi pula dia yang lebih dulu berada di kelas, jadi, satu-satunya yang harus pergi dari sini adalah Jareth. Ghava memilih mengabaikan pemuda itu dan kembali meletakkan kepalanya untuk melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Jareth sadar Ghava mengabaikannya. Dia menutup pintu kelas dengan sedikit kasar agar Ghava merasa terusik dan kembali menatapnya. Tapi nyatanya Ghava malah asyik memejamkan matanya dan tak merespon tindakannya barusan. Jareth kesal. Dia tidak suka diabaikan, terlebih oleh Ghava—entah kenapa seperti itu. Maka dengan pasti dia berjalan menghampiri meja Ghava dan ikut meletakkan kepalanya di meja seperti yang pemuda itu lakukan.

Ghava yang kali ini benar-benar merasa jengkel karena meja yang dipakainya bergerak langsung membuka matanya. Dan yang pertama kali ditatapnya saat matanya terbuka adalah wajah Jareth. Di posisi seperti ini, Ghava bisa mengamati dengan jelas wajah Jareth. Alis yang tajam, mata sipit yang selalu menatap sinis orang-orang, hidung yang mancung, dan terakhir bibirnya yang tipis. Atau mungkin Ghava bisa menyelipkan sedikit opini tentang manis bibir pemuda itu.

Jareth menarik salah satu sudut bibirnya ketika menyadari pandangan Ghava berhenti di bibirnya. “Sweet isn't it?

“Apa?” tanya Ghava karena kebingungan dengan konteks pembicaraan mereka.

My lips.

Ghava memutar matanya malas. Dia benar-benar kesal jika kembali membahas kejadian kemarin. “Stop bahas itu brengsek.”

Jareth tertawa kecil kemudian menjilat bibirnya. Dia mengangkat tangannya dan menyelipkan rambut Ghava yang sedikit menghalangi pandangan pemuda itu. Lalu dengan tiba-tiba dia mengusap pipi Ghava, membuat pemuda yang pipinya diusap langsung menahan napas. “Your lips, my lips, apocalypse,” bisiknya.

Hanya tiga kata sederhana, tapi mampu membuat jantung Ghava berdebar keras. Matanya mengikuti pergerakan Jareth yang kian mendekat dengan tangan yang kini turun menuju tengkuknya.

Dan tanpa disadarinya, kedua birai itu kembali bersatu tanpa halangan. Saling mengecap manis satu sama lain.

Adena sesekali melirik ke arah jendela cafe, menunggu mobil hitam milik Juna terparkir rapi di halaman cafe. Pikirannya tak bisa tenang sejak mengetahui kabar Juna yang mengalami kecelakaan kecil. Dia takut kembali terulang.

“Itu cowok lo.” Rana menyenggol Adena pelan lalu melesat menuju dapur, bersembunyi di sana agar tak mengganggu pasangan itu.

Juna nampak berjalan dengan semangat memasuki cafe. Dia tidak mengenakan jasnya, hanya kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga sikut dan celana bahan berwarna hitam. Rambutnya juga nampak berantakan, tak seperti biasanya yang tertata rapi kebelakang.

Adena menghampiri pemuda itu. Dia menatap mata lelah Juna yang masih bisa dia lihat walau terhalang kacamata pemuda itu. “Lo gak apa-apa? Ada yang sakit? Muka lo pucet, Ju.”

“Gua sehat, Na. Lo lihat 'kan? Gua sehat.” Juna tersenyum dan tanpa sadar mengusap kepala Adena. Dia mengedarkan pandangannya, cafe hari ini tak banyak pengunjung, hanya beberapa meja saja yang terisi. “Ada Narendra?” tanyanya sambil berbisik.

Adena menggeleng sebagai jawaban. Narendra sudah pulang sejak siang tadi. “Mau ngobrol di sini atau di tempat lain?” tanyanya mengingat Juna ingin mengobrol dengannya tentang masa lalu.

“Kalau lo gak masalah... di mobil aja,” jawab Juna yang langsung diiyakan Adena. Gadis itu berlari menuju lemari dan mengambil tasnya.

“Ayo pulang.”

Juna mengangguk dan membiarkan Adena berjalan terlebih dahulu menuju mobil. Dia bahkan membukakan pintu mobilnya untuk Adena. Rana yang diam-diam memperhatikan mereka sontak menggigit jarinya menahan gemas.

“Aduh, langgeng deh kalian. Jangan sampai ada orang ketiga.” Rana menggumam sembari memperhatikan mobil itu yang perlahan berlalu dari cafe.

“Lo mau tau dari segi apa aja?” tanya Adena membuka percakapan.

“Tentang hubungan lo sama Narendra. Kalian pacaran?” Juna melirik sekilas Adena yang terlihat tersenyum masam. Sepertinya pertanyaannya barusan menyinggung gadis itu. Tapi Adena sendiri mengatakan jika dia akan menjawab pertanyaan darinya, jadi menurutnya ini tak masalah.

“Gua... gak pacaran sama dia.” Adena menjawab dengan pelan. Juna bisa menebak dari nada bicaranya jika Adena masih sedikit sedih dengan hal itu.

“Kenapa?”

Adena nampak mengulum bibir, nampak berpikir untuk menjawab seperti apa. “Karena dia gak mau pacaran,” jawabnya terdengar ragu.

Juna dapat simpulkan Adena juga tidak mengetahui dengan pasti kenapa mereka tidak berpacaran. “Katanya gua denger-denger dia gak mau pacaran karena nungguin teman kecilnya. Itu benar?” Juna bertanya dengan niat memancing Adena untuk menceritakan yang sebenarnya. Dan ya, Adena terpancing.

“Lo tau itu dari siapa?”

Juna melirik Adena kemudian tersenyum. “Informan.” Dapat dia dengar Adena berdecak pelan. Sepertinya dia baru saja membuat gadis itu merasa kesal. “Jadi benar nggak?”

“Nggak tau. Gua gak tau itu benar atau nggak,” jawabnya sedikit ketus. “Tapi kemungkinan besar... benar.”

Juna mengulum senyum setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah Adena. Kemudian ia menoleh. “Kesel, ya?” tanyanya dengan nada jahil membuat Adena memutar matanya. “Maaf udah buat kesel karena bahas ini lagi, ya. Karena sekarang udah sampai rumah, lo bisa turun dan istirahat di rumah. Good night, Na.”

Adena nampak terkejut. Kemudian dengan kikuk mengangguk dan keluar dari mobil Juna tanpa membalas ucapan pemuda itu dengan wajah yang memerah.

Adena meletakkan buku jurnal berwarna hitam itu di meja. “Ini buku lo.”

“Makasih udah simpan buku gua.” Narendra menerima buku itu dengan senang hati. Buku bersampul hitam itu sangat penting baginya. “Mau pulang bareng gak? Kita searah—” Ucapan Narendra terpotong ketika Juna tiba-tiba menyahut dari belakangnya.

“Sayang, gua gak telat 'kan?” Juna tersenyum sembari berjalan mendekati Adena. Dia meletakkan tas dan jas nya di salah satu kursi kosong kemudian berdiri di samping Adena. “Tadi jalanannya macet, maaf ya.”

Adena mengangguk kikuk, sedikit bingung, tapi tidak menolak sama sekali panggilan sayang dari Juna. “Lo jadi mau kerjain kerjaan kantor di sini? Biar gua buatin kopi kalau lo mau.”

“Boleh. Makasih, ya.” Juna tersenyum lembut kemudian membiarkan Adena berjalan kembali menuju dapur. Dia beralih menatap Narendra yang wajahnya nampak tak bersahabat. “Oh, ada Anda juga di sini,” ucap Juna pura-pura terkejut akan kehadiran Narendra di sana.

Narendra tersenyum miring lalu bangkit, menyamakan tingginya dengan Juna. “Saya rasa Anda harus mulai melihat sekitar, karena saya juga ada di sini dengan tujuan yang sama.”

Juna mengangkat sebelah alisnya sebagai tanggapan dari ucapan penuh makna dari Narendra. “Saya sangat tahu kamu punya tujuan yang sama dengan saya. Maka dari itu saya tidak melihat sekitar, terlebih ada Anda di sekitar saya dan Adena.”

“Posesif,” cibir Narendra diakhiri tawa yang meremehkan.

Juna balas tertawa renyah. Dia maju selangkah mendekati Narendra. “Saya cuman mempertegas apa yang menjadi milik saya maka itu milik saya. Dan Anda tidak akan bisa merebut milik saya.”

“Loh, lo masih di sini?” Adena menatap heran Juna yang tengah memainkan ponselnya di salah satu meja yang berada di cafe. “Gua pikir lo langsung pergi.”

Juna yang diajak bicara Adena langsung mematikan ponselnya dan menyimpannya di saku. Dia menatap Adena yang berdiri di samping mejanya. “Gua nunggu Reynald dulu, dia mau ngasih titipan buat kantor.”

Adena mengangguk paham. “Lo minum kopi?” tanyanya yang dibalas anggukan kepala Juna. “Mau gua bikinin?”

“Boleh. Americano aja satu,” jawab Juna diakhiri senyuman. Adena kembali mengangguk dan langsung berjalan menuju dapur untuk membuatkan Juna kopi. Diam-diam dia tersenyum, ini terasa seperti dia yang membuatkan kopi di pagi hari untuk suaminya.

“Ini kopinya.” Adena meletakkan cangkir berisi americano itu di meja. Dia hendak berbalik kembali menuju dapur, tapi tangannya ditahan oleh Juna.

“Gak bisa duduk dulu di sini?” tanyanya pelan. “Temenin gua minum kopi di sini.”

Adena mengurungkan niatnya dan menarik kursi yang berada di depan Juna. Baru saja dia ingin duduk, pintu cafe tiba-tiba terbuka menandakan adanya pengunjung yang datang.

Bukan pelanggan yang diharapkan Adena, tapi Narendra lah yang berdiri di depan pintu cafe sembari tersenyum. Wajah gadis itu mendadak berubah menjadi datar.

“Selamat pagi, Nana,” sapa Narendra sambil berjalan mendekat ke arah Adena dan Juna. Dia melirik sekilas Juna yang tengah menyesap kopinya. “Selamat pagi, Mas,” sapanya pada Juna.

Juna mengangguk kemudian ikut berdiri. Dia sadar Adena mulai merasa tidak nyaman akan kehadiran Narendra di sana. Dia mengusap bahu Adena lembut. “Bisa tolong ambilin tas gua di mobil?” pintanya sambil menyodorkan kunci mobilnya pada Adena.

Adena mengangguk pelan kemudian berjalan keluar menuju mobil Juna yang terparkir rapi di halaman cafe.

Sedangkan itu di dalam sana Narendra menatap aneh Juna. “Kayaknya saya pernah lihat kamu sebelumnya,” ucap Narendra sedikit ragu. “Kita pernah ketemu sebelumnya?”

“Nggak. Ini pertama kalinya saya ketemu Anda,” jawab Juna dengan dingin. Sejujurnya dia tidak suka berbincang dengan Narendra. Ya, pemuda itu sudah melabeli Narendra sebagai musuhnya. Mana mungkin dia akan senang ketika berbincang dengan musuhnya itu.

Narendra mengangguk kecil. “Kamu pacarnya Rana?” tebaknya yang langsung dibalas gelengan oleh Juna. Tapi ucapan pemuda itu setelahnya membuat Narendra diam tak bergeming.

“Saya calon tunangannya Adena.”

Narendra menatap Juna dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia tidak menyangka jika akan bertemu dengan calon tunangan Adena secepat ini.

Pintu cafe kembali terbuka. Bukan Adena yang datang, tapi Reynald dengan tas laptop milik Juna. Pemuda yang seumuran dengan Adena itu hendak mengomel sampai matanya mendapati sosok yang nampak familiar di matanya. “Narendra? Lo udah pulang?”

Narendra tersenyum sembari mengusap kepala belakangnya. “Eh, Reynald. Iya, gua baru aja sampai di Jakarta empat hari lalu.”

Reynald melirik sekilas Juna yang berdiri diam di tempatnya dengan wajah datar. Sekiranya dia paham kenapa wajah sang adik bisa seperti itu.

“Wah, ada reuni dadakan, ya.” Rana tiba-tiba berjalan masuk bersama Adena. Dia menatap ketiga pemuda itu bergantian kemudian berkacak pinggang. “Pertemuan yang gak disangka-sangka, ya.”

Rana berjalan mendekat ke arah ketiga pemuda itu kemudian menunjuk Juna yang sedari tadi diam. “Dia calon tunangannya Adena,” ucapnya dengan penekanan. Dengan maksud mempertegas status Adena yang sudah memiliki calon tunangan. “Besok lo harus dateng ke acara tunangannya Adena, Ren,” ucapnya sembari menepuk bahu Narendra yang wajahnya nampak masam.


Juna menatap keluar jendela sembari meminum kopinya yang mulai mendingin. Di hadapannya berada Narendra yang duduk sambil menatap kosong meja di depannya.

“Kamu beneran calon tunangan Adena?” tanya Narendra penuh harap jika jawaban Juna adalah tidak.

“Memangnya saya gak terlihat meyakinkan di mata Anda?” tanya Juna balik. “Saya memang calon tunangan Adena.”

Narendra tertawa canggung kemudian mengangguk pelan. Dia kehilangan kesempatan.

“Saya gak tahu Anda beneran pure mau bantu Rana dan Adena di cafe ini atau nggak, tapi saya harap Anda tidak bertindak diluar batas selama menjalin kerja sama dengan mereka. Saya juga berharap Anda tidak melakukan sesuatu yang membuat perempuan saya merasa tidak nyaman.” Juna berkata dengan tenang membuat Narendra menaikkan sebelah alisnya. “Ini bukan ancaman, hanya pemberitahuan dini kalau Anda berani membuat perempuan saya merasa tidak nyaman, Anda akan berurusan dengan saya.”

Narendra berdecak pelan. Merasa terhina karena secara tidak langsung pemuda itu menganggap kehadiran dirinya hanya pengganggu di hidup Adena.

“Juna Bagaspati,” ucap Juna tiba-tiba. “Barangkali Anda mau mengumpati saya, itu nama saya.” Juna tersenyum tipis kemudian bangkit dan mengambil tasnya. Dia akan pergi ke kantor sekarang.

Adena yang sedari tadi memperhatikan Juna dan Narendra dari dapur bersama Rana dan Reynald langsung berjalan keluar menghampiri Juna. “Mau berangkat sekarang?” tanyanya sembari mengikut langkah pemuda itu menuju parkiran.

Juna berhenti berjalan kemudian menatap Adena. “Iya. Gua kerja dulu, ya.”

Adena mengangguk kecil kemudian berkata, “Hati-hati di jalan, Juna.”

Juna tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar ucapan Adena. Dia mengusap puncak kepala gadis itu lembut. “Iya, lo juga semangat kerjanya. Kalau ada yang bikin lo gak nyaman atau marah, kasih tahu gua.”

“Gua berangkat, ya,” pamit Juna kemudian berjalan menuju mobilnya. Meninggalkan Adena yang berdiri di depan cafe sembari menatap ke arah mobilnya yang perlahan menjauhi area cafe itu.

Sepasang cucu adam itu berjalan beriringan menuju sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari tempat penjual bakso tadi.

“Kucing.” Adena bergumam pelan, tapi masih bisa didengar oleh Juna. Pemuda itu menoleh pada Adena kemudian mengikuti arah pandangnya menuju seekor kucing liar berwarna oranye.

“Mau pegang?” tanya Juna yang dibalas tawa kecil dari Adena. Tanpa menjawab, gadis itu langsung menghampiri kucing itu dan berjongkok di sebelahnya.

Juna tersenyum ketika menyadari Adena yang nampak takut-takut saat memegang kucing itu. Dia menghampiri gadis itu dan ikut berjongkok di sebelahnya. “Kalau takut bilang, jangan sok-sokan berani.” Juna menarik tangan Adena kemudian meletakkan tangan gadis itu di atas punggung tangannya. Kemudian dia mengelus bulu kucing itu dengan perlahan.

“Emang gak sama rasanya kayak pas ngelus secara langsung, tapi kalau lo takut, lo bisa pakai tangan gua sebagai perantara.” Juna berucap tanpa memandang Adena. Pandangannya terpaku pada tangannya sekaligus tangan Adena yang tengah mengusap kucing itu. Tangan Adena terasa hangat di atas tangannya, dan itu terasa nyaman.

Adena menatap Juna dengan perasaan campur aduk. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini, saat bersama Juna, dan saat tangannya memegang tangan pemuda itu.

“Lo suka kucing?” tanya Adena akhirnya. Dia penasaran apa Juna memang benar-benar menyukai kucing atau hanya sekedar berpura-pura untuk mendapatkan hatinya.

Juna melirik sekilas Adena kemudian mengangguk. “Suka, tapi gua alergi bulu kucing. Jadi—” Ucapan Juna terputus ketika dengan tiba-tiba Adena menarik tangannya dari kucing itu.

“Kalau lo alergi bulu kucing terus ngapain megang kucing?” Nada bicara Adena meninggi. Dia menatap tajam Juna yang memperhatikan kucing tadi yang berlari pergi karena terkejut.

Adena menangkup pipi Juna kemudian mengarahkan wajah pemuda itu agar menatapnya. “Kalau lagi diajak ngomong jangan nengok ke arah lain!”

Juna meneguk ludahnya susah payah. Adena nampak menyeramkan saat marah seperti ini. Dia tiba-tiba mengerutkan hidungnya. Sial, kenapa hidungnya gatal sekali.

Adena terdengar mengehela napas berat ketika melihat hidung Juna yang mulai memerah. “Bawa obatnya nggak?” tanyanya pasrah.

“Ada di mobil.”

“Oke, ayo kita ke mobil.” Adena langsung menarik Juna ke mobil. Dia merasa tidak tega melihat pemuda itu yang hidungnya mulai memerah karena gatal. Dia merasa harus bertanggung jawab karena sudah membuat alergi pemuda itu kambuh walau secara tidak sengaja.

Diam-diam Juna tersenyum menang. Dia kembali dikhawatirkan oleh Adena. Bonusnya lagi, tangan dan wajahnya sempat disentuh gadis itu.

Juna jadi senang.

Kak Abrar memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang halamannya terdapat banyak motor. Dia mengeluarkan ponselnya dan meminta orang yang menyimpan tas Kayla untuk keluar menemuinya.

Seorang pemuda berpipi tirus berjalan cepat menghampiri Kak Abrar dan menyerahkan tas itu. “Ini tasnya, Bang.”

Kak Abrar menerima tas itu dan mengucapkan terima kasih. “Sekolah lo gimana? Ada masalah?” tanyanya.

“Nggak ada, Bang.” Pemuda itu menggeleng cepat. Dia diam-diam mencoba melirik ke dalam mobil Kak Abrar yang di dalamnya terdapat Kayla.

Kak Abrar yang sadar jika pemuda itu mencuri pandang ke dalam mobilnya langsung menepuk bahu pemuda itu agak keras. “Lo mau lihat apa?” tanyanya tak santai.

Pemuda itu menggeleng takut. “Nggak, Bang. Maaf,” cicitnya pelan.

Kak Abrar mendekati pemuda itu kemudian berbisik, “Awas sampai lo macem-macem sama adik gua karena kalian satu sekolah. Gua hajar lo, Mar.”

Pemuda itu menelan ludah susah payah. Dia mengangguk takut dan tak membalas ucapan Kak Abrar. Lebih baik cari aman dibanding berurusan dengan Kak Abrar.

Dengan napas yang masih terengah, Juna menatap sekelilingnya dengan seksama guna mencari keberadaan Adena di pemakaman itu.

Perempuan itu tidak berada di makam Juan, tapi botol air mawar dan bunga-bunga yang baru ditabur menunjukkan kedatangan Adena tadi.

Juna beralih menuju ruangan penjaga makam yang berada tak jauh dari sana. Dia bertanya pada salah satu pengurus makam yang ada di sana apakah dia melihat Adena atau tidak. Pengurus makam itu mengatakan jika Adena sudah pergi dari sana sejak jam dua belas dan sekarang sudah pukul 16.40, artinya sudah kurang lebih empat jam Adena pergi dari sana.

Juna mengucapkan terima kasih kemudian kembali ke mobilnya. Jarinya mengetuk-ngetuk kemudi di hadapannya sembari otaknya berpikir cepat ke mana Adena pergi. Dia memutuskan untuk menyusuri sepanjang jalan dari pemakaman menuju rumah Adena, barangkali menemukan perempuan itu sedang berjalan di trotoar.

Baru setengah jalan, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan adanya telepon masuk. Juna menepikan mobilnya dan langsung mengangkat panggilan itu.

“Juna,” panggil Adena dengan suara sengau.

Juna membulatkan matanya. Akhirnya Adena menghubunginya. “Kamu di mana, Adena? Kasih tahu aku, jangan bikin khawatir.”

Adena terisak pelan. “A-aku gak tahu ini di mana. Tolong….”

Share location kamu, Na. Aku ke sana sekarang.” Juna dengan cepat memakai seat belt-nya dan langsung menuju lokasi Adena ketika perempuan itu mengirimkan lokasinya.

Sepanjang jalan itu Juna tidak mematikan panggilan telepon mereka. Sesekali dia mengajak bicara Adena untuk memastikan perempuan itu masih di sana.

“Sial.” Juna mengumpat pelan ketika air hujan mulai turun secara perlahan. Dia melirik ponselnya. “Adena, kamu cari tempat berteduh, sekarang hujan. Jangan sampai kehujanan.”

“Tapi di sini gak ada tempat yang bisa dipakai untuk neduh.”

Juna menjilat bibir bawahnya sekilas. “Ya udah, tahan sebentar aku ke sana secepatnya—”

“Jangan ngebut, Juna,” potong Adena cepat. Napas perempuan itu terdengar memburu. “Jangan ngebut, aku gak mau kehilangan kamu juga.”

Juna terdiam sesaat sampai akhirnya berdeham sebagai balasan. Dia merasa senang Adena merasa takut kehilangannya.

Sesampainya di sana, Juna langsung menepikan mobilnya. Dia mengambil payung dan segera keluar menjemput perempuannya yang tengah berjongkok di sebuah jembatan. “Maaf aku lama, ayo kita pulang.”

Adena bangkit dan dipapah menuju mobil Juna. Lelaki itu mematikan AC mobilnya dan memberikan selimut pada Adena. Dia bahkan melepas jasnya dan memakaikannya pada Adena agar perempuan itu merasa hangat.

“Kamu tidur aja kalau capek. Aku punya kunci cadangan rumahmu dari Bang Juan,” ucap Juna dengan lembut setelah memakaikan seat belt Adena.

Juna melajukan mobilnya memecah jalanan kota sore itu. Dia sesekali melirik ke arah Adena yang terlelap di sampingnya. Saat lampu merah, dia menyempatkan dirinya menggenggam tangan perempuan itu yang terasa dingin. “Jangan kayak gini lagi, aku ikut hancur.”

“Halo, Adena.” Juna meremat bantalnya kuat, ini pertama kalinya dia menelepon perempuan selarut ini.

“Juan.” Suara Adena terdengar parau. “Gua kangen Juan.”

Juna meletakkan kepalanya di atas bantal. “Kita semua kangen dia, Na. Tapi gak ada yang bisa kita lakuin di sini selain tetap bernapas.”

Suara isakan terdengar dari seberang sana. Adena kembali menangis seperti malam-malam sebelumnya. Dia terus menggumamkan nama Juan di sela isakannya.

Juna hanya diam mendengarkan tangisan perempuan itu. Dalam diamnya dia mulai berpikir, akankah Adena menangis seperti itu juga jika dia kehilangan dirinya suatu saat nanti? Akankah Adena menangisinya setiap malam seperti ini? Akankah Adena merasa kehilangan dirinya?

Juna kembali dari lamunannya ketika menyadari tidak ada lagi suara tangis Adena. Dia melirik ponselnya yang masih menyala, sepertinya Adena tertidur setelah menangisi Juan.

Juna menarik napasnya panjang sebelum berbicara, “Lo kayaknya udah tidur. Selamat malam, Adena.” Juna memutuskan panggilan telepon itu dan beranjak keluar kamar.

Lampu rumah yang sudah mati menandakan para penghuni rumah itu sudah tertidur. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar yang terletak di pojok lantai dua rumah, kamar sang kakak, Juan.

Juna menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya membuka pintu itu. Wangi parfum yang biasa Juan pakai sebelum bekerja mengisi ruangan itu. Juna berjalan menuju kasur Juan dan mendudukinya. Biasanya jika dia datang ke kamar ini dan duduk di kasur Juan tanpa izin pasti sang kakak akan memarahinya dan menyuruhnya duduk di lantai. Juna terkekeh pelan saat kata-kata Juan yang memarahinya terputar di otaknya.

Dia beralih pada meja nakas yang terdapat foto Juan yang sedang membawa bunga. Itu foto saat kelulusan Juan.

Juna mengambil foto itu kemudian mengusapnya perlahan. “Lo jahat, Bang. Lo bikin dia nangis,” ujarnya lirih. “Dia kangen lo, Bang.”

Juna menutup wajahnya dengan sebelah tangan, dia menangis. “Gua gak bisa ngelakuin ini, Bang. Sampai kapanpun dia cuman punya lo, dia gak akan jadi milik gua.”

Dia merebahkan dirinya di kasur Juan. Rasanya baru kemarin Juan mengatakan dia diterima kerja dan memeluk dirinya erat saking bahagianya. Rasanya.

Juna memeluk foto itu erat sambil mengusapnya sesekali. Bukan hanya Adena yang merindukan Juan, tapi ia juga.

Malam ini terasa lebih dingin dan menusuk bagi Adena. Rasanya malam ini begitu panjang dan menyakitkan. Iya, menyakitkan kala sadar jika Juan tidak lagi bersamanya. Rasanya ternyata sesakit ini, pikirnya. Ditinggalkan sosok terkasih secepat ini ternyata begitu menyakitkan.

Adena menatap sekeliling kamarnya. Pandangannya berhenti pada jaket berwarna biru yang digantung di belakang pintu. Itu jaket milik Juan. Itu adalah jaket favorit sang kekasih. Jaket itu merupakan hadiah ulang tahun dari Adena saat Juan berulang tahun ke 25, artinya itu tiga tahun yang lalu.

Tapi bulan lalu, Juan secara tiba-tiba menitipkan jaket itu di rumahnya, katanya nanti dia akan mengambil jaket itu suatu saat, ya, suatu saat. Tapi akhirnya itu semua hanya wacana, Juan tidak akan pernah datang untuk mengambil jaket itu kembali.

Pandangan Adena beralih menuju meja nakas. Di atas meja itu terdapat fotonya dan Juan yang tersenyum lebar pada kamera. Foto itu diambil saat mereka merayakan tiga tahun hubungan mereka. Saat itu mereka mulai membahas ke mana hubungan mereka berakhir. Juan berjanji akan melamar Adena tahun depan, saat tabungannya dirasa cukup untuk mereka berdua.

Harusnya bulan ini janji Juan terpenuhi karena dua minggu lagi mereka akan melaksanakan lamaran, tapi sayang, Juan tak lagi miliknya. Kekasihnya diambil semesta.

Adena hancur. Harapannya untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Juan pupus begitu saja begitu mendapat telepon dari Reynald kemarin malam. Lelaki itu menangis tersedu-sedu sambil mengucapkan nama Juan berkali-kali. Adena berusaha menenangkan Reynald dan memintanya untuk menjelaskan maksud dirinya menelepon Adena selarut ini. Reynald dengan suara serak dan terputus-putus akhirnya mengatakan jika Juan telah berpulang malam itu.

Kali ini Adena lah yang menangis. Dia menangis sekeras-kerasnya, berusaha menunjukan pada dunia jika kabar yang diberikan Reynald menghancurkan dirinya. Adena hendak mendatangi rumah Juan, tapi Reynald melarang dan meminta Adena untuk datang besok pagi saja, bersamaan dengan jasad Juan yang dibawa ke rumah sebelum dikebumikan.

Malam itu Adena merasa separuh dirinya hancur tak bersisa. Juannya direngut paksa oleh semesta. Dalam sekejap semua mimpinya tentang berumah tangga dengan Juan lenyap, berganti dengan jutaan mimpi buruk tentang nasib hidupnya tanpa kehadiran lelaki itu. Juannya, kekasihnya, yang selalu menemani dan mendengarkan segala keluh kesahnya telah pergi.

Dia pergi ke rumahnya.

Rumah yang sesungguhnya.

Adena tidak bisa mengingat segalanya dengan jelas. Semuanya terjadi begitu cepat sampai membuat dirinya sendiri linglung.

Juan, kekasihnya, tengah dikebumikan di hadapannya saat ini juga. Lelaki yang lebih tua darinya dua tahun itu menjadi korban kecelakaan saat pulang kerja kemarin. Adena tidak menangis saat di pemakaman. Terlalu lelah dan tak memiliki sisa air mata setelah menangisi kepergian Juan semalaman.

Ini terasa seperti mimpi. Semuanya baik-baik saja kemarin. Juan masih menghubunginya sebelum dia pulang dari kantor.

Reynald, teman satu SMAnya sekaligus adik Juan mengusap bahu Adena berusaha menyemangatinya. “Semangat, Na. Lo kelihatan mengenaskan,” ujarnya diakhiri tawa kecil. Padahal dirinya sendiri lah yang lebih mengenaskan dibanding Adena.

Adena tidak menjawab, dia hanya balas mengusap tangan Reynald di bahunya dalam diam. Adena merasa dirinya tak kuat berdiri lagi dan akhirnya berpamitan pada Reynald untuk pulang lebih dulu.

Reynald mengerti dan membiarkan Adena untuk pulang dan beristirahat. Dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar perempuan itu pulang karena dia tidak yakin Adena masih memiliki tenaga untuk mengendarai mobilnya. Tapi Adena menolak dan mengatakan dia bisa naik kendaraan umum jika dirasa dirinya tak kuat. Reynald mengangguk pasrah dan membiarkan Adena berjalan keluar dari area pemakaman.

Baru setengah jalan, Adena merasa pandangannya berkunang-kunang dan kepalanya terasa sakit sekali. Kakinya juga terasa lemas dan tak bisa lagi menopang berat tubuhnya. Detik berikutnya tubuh perempuan itu jatuh ke tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Seorang laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Adena langsung berlari menghampiri perempuan itu dan menggendongnya menuju mobilnya. Dia harus segera membawa perempuan itu ke rumahnya untuk istirahat.

Sore harinya saat Adena bangun dari pingsannya, dia menemukan dirinya sudah terbaring nyaman di kasur miliknya. Selimut tebal miliknya juga lengkap menyelimuti tubuhnya.

Adena melirik ke arah nakas, ada mangkok besar berisi air dan sapu tangan basah di dalamnya. Sepertinya itu air bekas kompresan. Dia menurunkan kakinya dan berjalan keluar kamar. Alangkah terkejutnya dia saat mendapati seorang laki-laki tengah memasak di dapurnya. Dia terlihat mirip dengan Juan. “Juan….”

Laki-laki itu menoleh ketika mendengar suara Adena. Dia menatap sendu perempuan itu. “Gua Juna, bukan Juan.”

Adena tersenyum tipis, berusaha menutupi kesedihannya di hadapan laki-laki itu. “Lo mirip Juan,” ujarnya dengan suara serak karena tenggorokannya terasa kering.

Dengan sigap Juna mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Dia memberikan gelas itu pada Adena dan meminta perempuan itu untuk minum perlahan, “Pelan-pelan aja, gak ada yang minta minum lo.”

Adena tidak membalas dan meneguk habis airnya. Dia meletakan gelasnya di meja Kemudian mengamati apa yang dilakukan Juna di rumahnya. Baru saja ingin bertanya, tiba-tiba Juna berjalan menuju meja makan dan menarik salah satu kursinya. “Duduk sini, lo harus makan.”

Adena diam tak berkutik. Otaknya masih mencerna apa yang terjadi sekarang.

Tidak mendapat balasan dari Adena yang malah sibuk melamun, Juna langsung menghampiri perempuan itu dan menggendongnya. Katanya siapa tahu Adena tidak punya tenaga untuk berjalan lagi, jadi dia dengan suka rela menggendong perempuan itu ke meja makan.

“Di makan.” Juna mendorong mangkok berisi bubur ke hadapan Adena agar perempuan itu memakannya.

“Gak mau.”

Juna memutar matanya malas mendengar penolakan dari Adena. “Gua tahu lo sedih atas kepergian Bang Juan, tapi bisa gak usah lebay? Makan makanan lo.”

Adena mendelik kesal. “Lo siapa sebenarnya?” tanyanya ketus.

“Gua Juna, adiknya Bang Juan.”

Mata Adena sontak membulat. Dia menatap tajam Juna di sampingnya. “Nomor tiga?”

Juna mengangguk. Dia adik kedua dari Juan, kekasih Adena, atau anak ketiga dalam keluarga Bagaspati. “Mulai sekarang gua yang bakal gantiin Bang Juan—ini wasiat dari dia. Gua harap lo paham dan bisa kerja sama,” ujarnya dengan suara tenang.

Adena menggeram. Dia mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. “Gua gak mau!”

“Mau gak mau semuanya tetap berjalan,” kata Juna sedikit terjeda, “pertunangannya diundur sampai tiga bulan lagi.”

Kepalan tangan Adena semakin kuat. Dia menatap nyalang Juna yang terlihat santai. “Gua gak mau nikah sama lo,” ucapnya dengan menekankan setiap katanya.

Juna mengurut batang hidungnya. Berbicara dengan Adena membuatnya pusing. “Gua udah bilang 'kan, tolong kerjasamanya. Lo pikir gua mau nikah sama lo?”

“Gua cuman ngikutin wasiat Bang Juan,” lanjutnya memelan diakhir.

Adena menundukan kepalanya, merasa sedih dan bersalah di saat bersamaan.

“Yang tersiksa di sini bukan cuman lo, gua juga.” Nada bicara Juna terdengar frustasi. Laki-laki itu menyugar rambutnya ke belakang kemudian menatap lamat Adena yang masih menunduk. “Cukup nurut dan ikutin aja alurnya.