vyn

Delapan orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan dengan penjagaan ketat. Maru menyeret karung berisi jasad manusia itu ke dalam ruangan.

“Kerja bagus anak-anak.” Chris Moon tersenyum bangga pada anak buahnya itu. Dia menatap tajam Hanzel, ada orang baru di antara anak buah terbaiknya. “Siapa dia?”

“Umpan kami,” jawab Albert. Dia memberi kode pada Maru untuk menyerahkan karung itu pada Tuan Moon. Maru yang paham langsung meletakannya di hadapan Tuan Moon.

“Kalian memang yang terbaik,” puji Tuan Moon sambil tertawa. Dia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. “Umpan kalian jangan dilenyapkan, aku membutuhkannya untuk menjadi bagian dari kita.”

Einhard terlihat keberatan, tapi Jieru langsung mencubit lengannya agar tidak protes dengan ucapan Tuan Moon.

Tuan Moon menatap satu persatu anak buahnya sambil tersenyum miring. “Tugas kalian selesai, volume 1 dibubarkan.”

Di sini lah mereka berada, di sebuah gedung tua di dekat hutan yang sudah lama terbengkalai. Jieru mengikat tubuh Hanzel di sebuah kursi yang diletakan di dekat jendela gedung. Sepertinya sandiwara mereka akan segera dimulai.

“Lo foto dia dan ancam Allura untuk datang ke sini,” suruh Kenta sambil menghisap rokok miliknya. “Habis ini kita bunuh beneran atau nggak?” tanyanya pada Valerie di sebelahnya.

“Nggak,” jawab Valerie singkat. Dia berjalan menghampiri Hanzel lalu menyamakan tingginya dengan pemuda itu yang sedang duduk. “Lakuin yang benar, kalau nggak peluru di pistol yang dipegang Yunho bakal bersarang di kepala lo,” ucapnya sambil menunjuk dahi Hanzel dengan telunjuknya.

Hanzel melirik pistol yang dipegang Yunho kemudian mengangguk takut, nyawanya hanya satu, jadi, lebih baik menurut saja. “Iya, gua paham.”

Yunho mengambil foto Hanzel dan pistol di tangannya lalu mengirimkannya pada Allura. Lima belas menit kemudian terdengar suara mobil, semua orang di sana kecuali Hanzel dan Yunho langsung bersembunyi dan mengawasi mereka dari balik tembok.

Di luar dugaan, Allura malah menodongkan senjata tajam pada Yunho dan membuat pemuda itu beringsut mundur menghindar dari gadis itu. Dia melirik ke arah Hanzel yang sama paniknya dengannya.

Shit, kok dia malah nodongin senjata sih,” ucap Einhar sambil berbisik.

Valerie menggigit kukunya bingung, otaknya terpaksa bekerja lebih keras untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Tanpa di duga, tiba-tiba Maru mengeluarkan pistol yang dia bawa diam-diam dan mengarahkannya pada Allura.

Dor

Tubuh tak bernyawa Allura jatuh ke lantai gedung yang berdebu dengan keadaan kepala yang berlubang. Hanzel dan Yunho saling tatap, keringat sebesar biji jagung turun dari kening mereka berdua.

Maru berjalan keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri jasad gadis itu. Dia mengeluarkan sebuah karung yang dia bawa di dalam tasnya kemudian memasukan jasad itu ke dalamnya. “Ayo, kita ke markas besar,” ajaknya setelah mengikat karung itu.

Albert dan Kenta saling pandang lalu mengangguk, memang tidak sesuai dengan rencana, tapi yang penting gadis itu berhasil mereka taklukan. “Ayo.” Kenta berjalan ke arah Maru dan membantunya membawa karung itu.

Valerie berjalan cepat ke arah Hanzel dan membuka semua ikatan di tubuh pemuda itu. “Lo kelihatan kaget,” ucapnya sambil terkekeh pelan.

“Gimana gak kaget, dia tiba-tiba jatuh ke tanah begitu.” Hanzel berdecak kesal saat mengetahui sepatunya terkena percikan darah. “Sepatu gua jadi kotor kan.”

“Banyak omong,” ketus Einhard. “Ayo cepat jalan, kita bawa dia ke markas juga. Kita serahin dia ke Tuan Moon, biarin dia yang nentuin nasib orang itu.”

“Ini lebih awal dari dugaan.” Valerie berucap setelah lama diam. Dia menyisir surainya kebelakang dengan jari. “Gua ketemu target kita, dia ngelihat wajah gua.”

Kenta bangkit dari duduknya. “Kok bisa?” tanyanya setengah membentak. “Dia ada di Korea? Sejak kapan?”

“Dua bulan lalu kemungkinan,” jawab gadis itu. Dia menatap teman-teman setimnya kemudian menghela napas lelah. “Kita selesaikan misi secepatnya, dia udah lihat wajah gua dan itu bisa aja memicu dia untuk pindah negara lagi.”

Valerie bangkit dari duduknya dan menatap serius teman setimnya. “Yunho yang akan tarik pelatuknya, gak ada penolakan.” Dia menunjuk Jieru yang tengah fokus mendengarkan. “Jie, kita ubah rencananya. Jangan hanya jadiin Hanzel umpan.”

Einhard mengerutkan keningnya bingung dengan ucapan Valerie. Memangnya siapa lagi yang akan jadi umpannya. “Siapa yang bakal jadi umpan kedua?”

Gadis itu tersenyum miring lalu mengalihkan pandangannya menuju Yunho. “Yunho, jadiin dia umpan juga.”

Gadis dengan dress formal berwarna hitam itu berjalan santai menyusuri kantor. Dia kembali lagi ke kantor untuk memastikan keberadaan seseorang yang dia temui kemarin. Tinggal beberapa langkah dari ruangan Yunho, langkahnya harus terhenti ketika bahuya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang.

“Maaf,” ucap orang itu panik.

Valerie langsung menoleh untuk menatap wajah orang yang baru saja menabraknya. Tunggu, dia seperti pernah melihat wajah itu sebelumnya.

Tiba-tiba gadis di hadapannya itu berteriak histeris seraya memukul-mukul kepalanya. Teriakannya barusan membuat beberapa pegawai keluar dari ruangannya dan menatap mereka berdua aneh.

Valerie mengangkat sebelah alisnya dan menatapa datar gadis itu. “Penuh drama,” batinnya. “Kenapa? Kamu kenal saya?”

Bukannya menjawab, gadis itu malah semakin berteriak histeris sampai beberapa pegawai membawanya pergi untuk menenangkannya.

Valerie menoleh sedikit ketika mendengar langkah cepat seseorang. Orang itu tanpa basa-basi langsung memutar tubuh Valerie hendak memarahinya, sampai dia melihat wajah gadis itu. “Lo… Valerie.”

Valerie mengalihkan pandangannya, pikirannya mendadak penuh sekarang. “Dua bulan,” gumamnya pelan.

“Apa?” tanya Yunho bingung karena Valerie tiba-tiba bergumam.

“Dia cantik bukan?” tanya gadis itu dengan dingin. Dia mendongak menatap Yunho tajam. “Dua bulan, dia cantik bukan?”

“Gua bisa jelasin—” Ucapan Yunho terpotong karena Valerie yang tiba-tiba mencekiknya.

Gadis berparas cantik itu kembali berucap, “Dua bulan, dia cantik bukan?”

Valerie menggandeng lengan Hanzel kemudian berbisik, “Jangan banyak tingkah dan jangan coba-coba untuk kabur.”

Hanzel mengangguk paham dan mulai mengikuti langkah gadis itu masuk ke gedung bertingkat di hadapannya. Sesekali gadis yang tengah menggandengnya itu tersenyum pada beberapa pegawai yang menyapanya.

“Kita mau ketemu siapa?” tanya Hanzel saat mereka memasuki cafe yang ada di lantai dasar kantor.

Gadis cantik itu tidak menjawab pertanyaan Hanzel dan malah terus berjalan menuju pojok cafe. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti saat matanya tak sengaja menatap siluet seseorang. Matanya memicing, berusaha menatap sosok itu dengan benar. “Gak mungkin,” gumamnya tidak percaya.

Buru-buru dia berjalan ke arah kasir dan pura-pura akan memesan makanan. “Halo, aku pesan seperti biasa ya,” ucap Valerie ramah pada pegawai yang berjaga di kasir itu.

“Ah, halo Nona Valerie, sudah lama tidak bertemu,” sapa si pegawai itu ramah. “Apa ada yang Anda inginkan lagi?”

Valerie samar tersenyum miring, dia mendekatkan tubuhnya ke arah pegawai itu. “Siapa gadis yang menggunakan kemeja berwarna putih yang duduk di dekat jendela itu?” tanyanya sambil berbisik.

“Kudengar namanya Ara, dia bukan orang Korea. Dia baru bekerja di sini selama dua bulan. Aku dengar dia adalah kekasih baru Tuan Yunho, mereka beberapa kali terlihat bermesraan di kantor,” jelas pegawai itu sambil berbisik juga.

Valerie mengangguk paham kemudian mengucapkan terima kasih pada pegawai itu. Tidak lupa dia membayar pesanannya dan melebihkan sedikit bayarannya untuk pegawai itu sebagai bayaran dari informasi yang diberikannya.

“Lo ngomong apaan sama orang tadi?” tanya Hanzel ketika Valerie memberikan segelas minuman padanya.

Valerie tersenyum manis lalu kembali menggandeng Hanzel. “Kita pulang sekarang, sayang.” Mereka berdua bergegas keluar dari kantor dan kembali menuju mansion sebelum yang lainnya pulang. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik mereka sedari tadi.


Valerie berjalan santai memasuki mansion tanpa menyadari bahaya yang sedang mengintainya. Sampai tiba-tiba sebuah benda tumpul menempel di keningnya bertepatan dengan teriakan kesakitan dari Hanzel yang ada di belakangnya.

“Lo bawa bajingan itu kemana?” tanya Yunho dingin. Pemuda yang lebih tua darinya tiga tahun itu menatapnya tajam seolah dia adalah musuhnya.

Valerie yang ditatap tajam seperti itu malah tersenyum miring, menantang pemuda itu. “Gua cuman ajak dia jalan-jalan aja,” jawabnya santai lalu menyingkirkan pistol yang ada di keningnya. Dia berbalik dan mendapati Hanzel yang tengah memegangi perutnya. Helaan napas kesal terdengar dari bibir gadis itu. “Perlu berapa kali gua bilang untuk gak asal ninju orang, Kenta.”

Kenta yang sedang asik memakan takoyakinya hanya tertawa bodoh dan menyatukan kedua tangannya seolah mengatakan “Maaf”.

“Kita bicarain setelah ini.” Gadis cantik itu mendengus lalu membopong tubuh Hanzel menuju kamarnya.

Tiba-tiba Maru datang dan membantunya membopong tubuh Hanzel. “Lo gak akan kuat kalau sendiri,” ucapnya datar tanpa menatap wajah Valerie.

Setelah mengantar Hanzel menuju kamarnya, gadis cantik itu menarik tangan Maru menuju kamarnya. “Lo tadi pagi ke mana?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Itu bukan urusan lo.” Maru menatap datar Valerie kemudian menempelkan jarinya di kening gadis itu sesaat. “Terlalu banyak isi,” ucapnya tak jelas lalu mendorong kening gadis itu dan bangkit dari duduknya, hendak meninggalkan ruangan.

Valerie menggeram kesal lalu menarik Maru untuk kembali duduk kemudian ia berdiri di hadapan pemuda itu. “Lo kenapa sih? Pagi-pagi udah hilang terus tadi tiba-tiba muncul bantu gua bawa Hanzel ke kamarnya, dan sekarang malah bilang gua terlalu banyak isi. Maksud lo gua gendut?” tanya gadis berambut panjang itu kesal. Dia bahkan tidak sadar jika sudah berbicara panjang.

Maru tersenyum tipis lalu menarik pinggang Valerie agar mendekat ke arahnya. Pemuda tampan itu melepas topinya kemudian menyembunyikan wajahnya di perut datar milik Valerie. “I’m jealous.”

by aeadyvyn

This could be the end of everything. So why don't we go somewhere only we know?


Pemuda itu berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai ditumbuhi rumput liar, sesekali bibirnya terangkat membentuk senyuman karena teringat kenangan yang ada pada setiap bagian tempat itu.

Dia terus berjalan hingga danau yang berada di sana. Pandangannya mengedar, menatap tempat itu dengan perasaan campur aduk. Tatapannya kini beralih pada bangku kayu yang sengaja diletakan di tepi danau, posisinya masih sama seperti satu tahun lalu. Kakinya melangkah perlahan menuju bangku itu, menghampiri salah satu saksi bisu kisah mereka dulu.

Tubuh pemuda bertubuh tegap itu bergetar pelan, dia menangis. Tangannya terulur mengusap bangku itu kemudian mendudukinya. Dia tersenyum masam, merasa déjà vu dengan hal ini. Bangku yang sama, tempat yang sama, perasaan yang sama, tapi yang berbeda hanya ketidakhadiran sosok itu di sini, di sebelahnya.

“Rasanya aku jadi satu-satunya orang yang tetap diam dan gak bergerak sama sekali. Harusnya aku bisa mulai semuanya dari awal. Tapi maaf, perasaanku selalu tertuju ke kamu.” Pemuda itu berujar entah pada siapa. “Sendiri itu nggak enak.”

Pemuda bersurai kelam itu kembali menangis, dia menutup wajahnya dengan tangannya. Jika ada hal yang lebih besar dari menangis bisa mendeskripsikan perasaan rindunya, dia pasti akan melakukan itu. Dia benar-benar merindukan sosok gadis itu.

Dia berharap di tengah tangisnya gadis itu akan datang dan merengkuh tubuhnya penuh sayang, membisikan kata-kata penenang yang akan membuat pikirannya lebih tenang. Tapi itu semua hanya harapan belaka, yang dia dapatkan hanya ruang hampa di sekitarnya, tidak ada rengkuhan penuh sayang dan bisikan kata penenang. Dia sendiri.

“Jangan menangis.” Suara yang sangat dia kenal itu membuat tangisnya terhenti. Sontak kepalanya terangkat menatap sosok yang baru saja berujar itu, tapi kosong, dia hanya berhalusinasi. Tangis pemuda itu semakin keras dan terdengar memilukan.

Di lain sisi, sosok itu menatap pemuda yang tengah duduk di bangku kayu sambil tersenyum tipis. Sebagian perasaannya merasa senang karena pemuda itu masih mengingat tempat ini, tapi sebagian perasaannya merasa sedih melihat pemuda kesayangannya itu menangis. Dengan hati-hati dia berjalan mendekati si pemuda. “Kamu di sini juga.”

Pemuda itu tidak menjawab dan semakin menangis. “Sekarang aku dengar suaranya lagi, pasti halusinasi lagi,” racau pemuda itu sambil memukuli kepalanya sendiri. “Aku rindu kamu, aku rindu kamu.”

“Jangan kayak gini.” Gadis itu menggenggam kedua tangan pemuda itu agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. Dia mengangkat wajah si pemuda agar menatapnya kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipi pemuda berparas tampan itu. “Kamu gak halusinasi, aku di sini.”

Spontan pemuda itu langsung memeluk erat tubuh gadis terkasihnya. Dalam pelukan itu segala rindu dan cinta yang dia simpan baik-baik selama satu tahun ini dia salurkan pada gadis itu. Dipeluknya erat daksa itu seolah tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

“Aku juga rindu kamu,” ucap gadis itu sambil membelai surai kelam pemuda yang memeluknya erat.

Si tampan melepas pelukannya. Ditatapnya netra cokelat milik lawannya, tatapan yang menyiratkan rindu, cinta, dan rasa takut kehilangan itu terpancar dari netra si pemuda. “Jangan pergi lagi.”

Gadis itu terlihat tidak setuju dengan ucapan lawan bicaranya dan pemuda itu menyadari hal tersebut.

Pemuda itu tersenyum getir kemudian bertanya dengan suara parau, “This could be the end of everything. So why don't we go somewhere only we know?

by aeadyvyn

This could be the end of everything. So why don't we go somewhere only we know?


Pemuda itu berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai ditumbuhi rumput liar, sesekali bibirnya terangkat membentuk senyuman karena teringat kenangan yang ada pada setiap bagian tempat itu.

Dia terus berjalan hingga danau yang berada di sana. Pandangannya mengedar, menatap tempat itu dengan perasaan campur aduk. Tatapannya kini beralih pada bangku kayu yang sengaja diletakan di tepi danau, posisinya masih sama seperti satu tahun lalu. Kakinya melangkah perlahan menuju bangku itu, menghampiri salah satu saksi bisu kisah mereka dulu.

Tubuh pemuda bertubuh tegap itu bergetar pelan, dia menangis. Tangannya terulur mengusap bangku itu kemudian mendudukinya. Dia tersenyum masam, merasa déjà vu dengan hal ini. Bangku yang sama, tempat yang sama, perasaan yang sama, tapi yang berbeda hanya ketidakhadiran sosok itu di sini, di sebelahnya.

“Rasanya aku jadi satu-satunya orang yang tetap diam dan gak bergerak sama sekali. Harusnya aku bisa mulai semuanya dari awal. Tapi maaf, perasaanku selalu tertuju ke kamu.” Pemuda itu berujar entah pada siapa. “Sendiri itu nggak enak.”

Pemuda bersurai kelam itu kembali menangis, dia menutup wajahnya dengan tangannya. Jika ada hal yang lebih besar dari menangis bisa mendeskripsikan perasaan rindunya, dia pasti akan melakukan itu. Dia benar-benar merindukan sosok gadis itu.

Dia berharap di tengah tangisnya gadis itu akan datang dan merengkuh tubuhnya penuh sayang, membisikan kata-kata penenang yang akan membuat pikirannya lebih tenang. Tapi itu semua hanya harapan belaka, yang dia dapatkan hanya ruang hampa di sekitarnya, tidak ada rengkuhan penuh sayang dan bisikan kata penenang. Dia sendiri.

“Jangan menangis.” Suara yang sangat dia kenal itu membuat tangisnya terhenti. Sontak kepalanya terangkat menatap sosok yang baru saja berujar itu, tapi kosong, dia hanya berhalusinasi. Tangis pemuda itu semakin keras dan terdengar memilukan.

Di lain sisi, sosok itu menatap pemuda yang tengah duduk di bangku kayu sambil tersenyum tipis. Sebagian perasaannya merasa senang karena pemuda itu masih mengingat tempat ini, tapi sebagian perasaannya merasa sedih melihat pemuda kesayangannya itu menangis. Dengan hati-hati dia berjalan mendekati si pemuda. “Kamu di sini juga.”

Pemuda itu tidak menjawab dan semakin menangis. “Sekarang aku dengar suaranya lagi, pasti halusinasi lagi,” racau pemuda itu sambil memukuli kepalanya sendiri. “Aku rindu kamu, aku rindu kamu.”

“Jangan kayak gini.” Gadis itu menggenggam kedua tangan pemuda itu agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. Dia mengangkat wajah si pemuda agar menatapnya kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipi pemuda berparas tampan itu. “Kamu gak halusinasi, aku di sini.”

Spontan pemuda itu langsung memeluk erat tubuh gadis terkasihnya. Dalam pelukan itu segala rindu dan cinta yang dia simpan baik-baik selama satu tahun ini dia salurkan pada gadis itu. Dipeluknya erat daksa itu seolah tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

“Aku juga rindu kamu,” ucap gadis itu sambil membelai surai kelam pemuda yang memeluknya erat.

Si tampan melepas pelukannya. Ditatapnya netra cokelat milik lawannya, tatapan yang menyiratkan rindu, cinta, dan rasa takut kehilangan itu terpancar dari netra si pemuda. “Jangan pergi lagi.”

Gadis itu terlihat tidak setuju dengan ucapan lawan bicaranya dan pemuda itu menyadari hal tersebut.

Pemuda itu tersenyum getir kemudian bertanya dengan suara parau, “This could be the end of everything. So why don't we go somewhere only we know?

![] (https://i.imgur.com/dWXO95Q.jpg)

Namanya Haikal, rambutnya sedikit ikal, memiliki sepasang netra berwarna cokelat gelap yang senang menatap tajam orang lain, tapi selalu menatap penuh cinta sang pujaan hati.

Namanya Haikal, si penyuka musik yang mengaku tak paham dengan musik. Senang duduk di balkon kamarnya sambil memetik gitar dan menyanyikan berbagai lagu kesukaan sang pujaan hati.

Namanya Haikal, dia kekasihku.


“Katanya orang Jakarta itu suka baper kalau ada yang ngomong pakai aku-kamu.” Haikal tiba-tiba berucap, membuat Ayyara yang awalnya sedang asik menulis itu mengangkat wajahnya dan menatap Haikal. “Aku kan ngomong pakai aku-kamu, kamu baper gak?” lanjutnya sambil tersenyum.

Ayyara menggeleng mantap. “Nggak.” Dia meletakan pulpennya sejenak di meja kemudian menatap serius Haikal. “Kalau kamu baper gak aku ngomong pakai aku-kamu padahal aku orang Jakarta?”

Senyum di wajah Haikal semakin melebar ketika mendengar pertanyaan itu. Dia menyisir surainya dengan jari lalu menjawab, “Kayaknya kamu gak perlu bicara aku-kamu untuk buat aku baper. Lihat kamu aja udah bikin jantungku detak gak karuan.”

Ayyara tertawa mendengar penuturan pemuda itu. Terdengar sedikit menggelikan, tapi apapun hal yang dikatakan Haikal pasti terdengar lucu baginya. Dia mengambil pulpennya dan kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi. “Apa sih, aneh-aneh aja.”

“Aku beneran, loh,” balas Haikal sambil tertawa. “Kamu mau coba dengerin nggak?” tawarnya sambil menaik turunkan alisnya menggoda Ayyara.

“Gimana caranya?”

Haikal membuka kedua tangannya lebar-lebar, seolah memberi kode Ayyara untuk memeluknya. “Peluk aku. Nanti kamu bakal dapat dua hal. Pertama, dengar detak jantung aku. Kedua, dapat pelukan sayang dari aku.”

Ayyara berusaha menahan bibirnya agar tidak terangkat membentuk senyuman. Haikal dan segala kata-kata manisnya bukanlah kombinasi yang baik. Dia mengalihkan pandangannya pada buku yang ada di meja dan berniat kembali melanjutkan kegiatan belajarnya.

“Gak mau nih?” tanya Haikal kembali karena Ayyara malah kembali melanjutkan belajarnya. Dia menggoyangkan kedua tangannya yang masih terbuka lebar. “Tanganku pegel loh ini.”

Ayyara memutar matanya malas lalu meraih sebelah tangan Haikal dan menggenggamnya. “Sebentar, ya, Haikal. Aku mau belajar dulu.” Setelahnya dia kembali belajar dengan sebelah tangannya yang menggenggam tangan sang kekasih.

Haikal sontak tersenyum lebar. Wajahnya memerah bahkan hingga merambat ke telinga, jantungnya berdegup kencang, perutnya terasa seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu. Rasanya dia seperti ingin berteriak memberi tahukan semua orang di muka bumi ini jika Ayyara, kekasihnya, menggenggam tangannya saat ini. “Kamu lucu banget, aku gak kuat,” bisiknya.

“Aku cuman genggam tangan kamu, Kal,” balas Ayyara tak habis pikir dengan ucapan Haikal.

“Gak apa-apa, intinya kamu lucu.” Haikal menyelipkan poni Ayyara ke belakang telinga agar tidak menghalangi pandangan gadis itu. Dia menopang wajahnya dengan sebelah tangannya yang menganggur. “Kamu mau sampai kapan belajarnya?”

“Sampai aku capek,” jawab Ayyara. Dia mengangkat wajahnya kemudian bertanya, “Kamu bosen?”

Haikal menggeleng cepat. “Aku gak bosen. Mana mungkin aku bisa bosen kalau yang aku lihat itu wajah kamu,” jawabnya sambil tersenyum manis. “Ya udah kalau gitu aku tunggu kamu sampai selesai.”

Ayyara terkekeh pelan mendengar jawaban Haikal. “Biar apa kayak gitu?”

“Biar aku bisa peluk kamu, terus ngusap kepala kamu kayak gini.” Haikal mengangkat tangannya lalu mengusap kepala Ayyara lembut dan penuh kasih sayang. “Jadi, nanti capeknya hilang terus diganti jadi yang lain.”

“Jadi apa?”

“Jadi makin sayang sama aku.” Haikal mencubit gemas hidung Ayyara seraya tersenyum menggoda.

Ayyara menyembunyikan wajahnya yang memerah di meja. Pertahanannya runtuh, ia sudah tidak tahan mendengar segala kata-kata manis dari Haikal. “Kamu kenapa godain aku terus sih?” tanyanya dengan nada merajuk.

Haikal memasang wajah berpikir, berusaha mengingat-ingat kata-kata yang dia temukan di internet beberapa hari lalu. “Apa ya bahasa gaulnya. I… i… ihacoy! Iya, ihacoy, I have crush on you.” Haikal terkekeh pelan kemudian mengusap tangan Ayyara yang masih digenggamnya. “Karena I have crush on you, Ayyara.”

Gadis cantik itu mengangkat wajahnya malu-malu. Dapat dia lihat Haikal yang tengah menatapnya lembut dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya. “Kenapa suka aku?” tanyanya pelan.

“Gak tahu.” Haikal mengedikan bahunya tanda tak tahu. “Coba tanya sama diri kamu, kenapa kamu bisa bikin aku jatuh cinta sejak pertama kali bertemu.”


Sepasang kekasih itu menatap takjub kota Bandung di malam hari dari atas sini. Lampu lampu dari bangunan yang berada di bawah sana terlihat indah menghiasi gelapnya kota di malam hari.

“Aku baru tahu Bandung seindah ini di malam hari,” ujar Ayyara mengagumi pemandangan di hadapannya. Dia menoleh ke arah Haikal saat pemuda itu merangkul bahunya.

“Bandung memang indah, tapi kamu jauh lebih indah,” balas Haikal sambil tersenyum penuh makna. “Jadi, kamu nyesal gak pindah ke Bandung?” tanyanya mengingat Ayyara sempat tak suka tinggal di Bandung saat pertama kali pindah ke kota ini tiga tahun lalu.

Gadis cantik itu menggeleng pelan lalu kembali menatap lurus ke depan, ke arah kota. “Nggak.”

“Kenapa?”

Ayyara menarik napas dalam kemudian menatap Haikal. Ia tersenyum. “Soalnya bisa ketemu kamu. Aku merasa bersyukur ikut papa pindah ke Bandung, kalau waktu itu aku nekat balik ke Jakarta pasti kita gak bakal ketemu.”

Haikal mengangguk-anggukan kepalanya seraya mengusap bahu Ayyara lembut. “Harusnya aku yang bersyukur bisa ketemu kamu.”

Hening sesaat sampai tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya, “Kalau kamu pulang ke Jakarta gimana?”

“Kamu mau aku pulang ke Jakarta?” tanya Ayyara balik. Dia tahu ada rasa khawatir dan takut kehilangan dari pertanyaan Haikal barusan.

“Nggak lah, aku gak mau,” sanggah Haikal cepat. Pemuda itu melepaskan rangkulannya dan beralih menggenggam tangan Ayyara erat. “Jangan tinggalin aku, ya.”

Ayyara membalas genggaman tangan Haikal. Dia juga tidak ingin meninggalkan pemuda kesayangannya itu. “Tapi seandainya papa bawa aku pulang ke Jakarta, kamu bakal gimana?”

Haikal menghela napas berat, dia diam sesaat sampa akhirnya berbicara, “Aku ke Jakarta, susul kamu sama keluarga aku.”

“Mau ngapain sama keluarga kamu?” tanya gadis berparas cantik itu bingung.

Haikal memutar tubuhnya menghadap Ayyara. Ditatapnya netra milik sang lawan bicara dengan pandangan yang sulit diartikan. “Mau lamar anak gadisnya papa kamu biar ikut tinggal di Bandung terus sama aku,” jawabnya mantap.

“Gak harus di Bandung sih, tapi yang penting sama aku terus,” lanjutnya sambil tertawa kecil. Dia kembali mentap Ayyara tepat di netranya kemudian mengusap rambut gadis yang dicintainya itu lembut. “Akan aku pastikan di mana bumi dipijak, di situ selalu ada kamu di samping aku.”

“Ayo pulang.” Auriga berdiri di hadapan Geya kemudian memakaikannya jaket yang sengaja dia bawa. “Dingin banget, ya, di sini? Kita pulang sekarang, ya.”

Dapat Geya lihat wajah pemuda itu yang khawatir padanya dan itu membuat hatinya menghangat. Pemuda itu dengan telaten memakaikannya jaket dan berusaha memastikan dia merasa hangat. Sesaat kemudian, Auriga merangkulnya dan mengajaknya berjalan menuju mobil pemuda itu yang terparkir tepat di depan halte.

AC-nya perlu gua matiin?” tanyanya begitu mereka ada di dalam mobil. Dia mengambil selimut yang ada di kursi belakang lalu menyelimuti Geya dengan itu. “Kalau masih dingin dimatiin aja AC-nya, ya.”

“Iya, makasih, Auriga.” Geya mengangguk seraya tersenyum manis pada pemuda yang pernah menjadi kekasihnya itu.

Auriga yang melihat senyum manis Geya malah ikut tersenyum. Melihat senyum gadis itu selalu membuatnya ikut tersenyum. “Sama-sama, Eya. Kita pulang sekarang, ya.”

“Kita gak mau jalan-jalan dulu?” tanya Geya cepat, dia benar-benar malas jika harus pulang sekarang karena di rumah tidak ada siapa-siapa.

Kening Auriga berkerut bingung. “Ini hujan, lo gak mau langsung pulang aja? Apa lagi lo kedinginan,” jawabnya sedikit tidak setuju dengan pertanyaan gadis itu. Sebenarnya bisa saja dia mengiyakan ucapan gadis itu, tapi perlu diingat jika gadis itu sedang kedinginan karena hujan, lebih baik tidak mengambil kesempatan itu dibanding melihat pujaan hatinya sakit bukan.

“Gua malas pulang, di rumah gak ada orang.” Geya menjawab pelan lalu memalingkan wajahnya menuju jendela.

Auriga menoleh pada gadis itu lalu menghela napas pelan. Otaknya terpaksa berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia mengulum bibirnya, merasa ragu untuk bertanya pada gadis cantik itu. “Mau ke rumah gua dulu? Ada bunda gua di rumah.”

Geya sontak menoleh ke arah Auriga kemudian menggeleng cepat. “Jangan, gua gak enak ngerepotin lo terus. Anter gua pulang aja, gua gak papa di rumah sendiri.”

Auriga tersenyum sampai matanya membentuk sabit. “Gak ngerepotin kok. Gua yang kenapa-napa kalau biarin lo di rumah sendiri,” balasnya lalu mengusap rambut panjang Geya lembut.


Assalamualaikum.” Auriga membuka pintu rumah keluarga Bimantara dan mempersilakan Geya masuk. Mereka berjalan beriringan ke dalam rumah. “Duduk dulu aja, gua panggil Bunda sebentar.”

Geya mengangguk lalu berjalan menuju sofa di ruang tamu. Dia menatap takjub ruang tamu keluarga ini, banyak sekali foto-foto masa kecil Auriga dan beberapa foto keluarga yang sengaja ditata rapih di lemari.

“Oh, ini yang namanya Geya.” Bunda Auriga berjalan mendekat ke arah Geya lalu tersenyum ramah. “Cantik banget, pantes si Auriga klepek-klepek,” lanjutnya sambil tertawa pelan.

Bunda Auriga berbalik menghadapa anak sematawayangnya itu kemudian memukul bahunya pelan. “Bikin teh sana, kasihan ini Geya kedinginan,” suruh Bunda sambil tertawa kecil.

“Bunda kalau lihat cewek cantik, anaknya dilupain,” balas Auriga sambil berjalan ke arah dapur untuk membuat teh. Sesekali mencuri pandang pada Geya yang sedang asik mengobrol dengan Bunda.

“Teh hangat buatan Aa Auriga udah jadi.” Auriga meletakan segelas teh itu di meja ruang tamu kemudian duduk di sebelah Bunda. “Kalau gak manis, lihat senyum gua aja,” ucapnya sambil tertawa.

Geya yang mendengar candaan Auriga langsung tertawa. Bukan hanya karena candaannya, tapi juga karena tawa pemuda itu yang menurutnya sangat lucu. “Lo lucu banget sih.”

Auriga yang melihat tawa Geya langsung menyembunyikan wajahnya dibalik tubuh Bunda. “Geya, gemes banget,” ucapnya dengan suara bergetar karena salah tingkah.

Di sini lah mereka berada, sebuah sirkuit milik keluarga sahabat Ishana. Tempat itu terlihat sepi karena memang sekarang sudah malam. “Saya harus turun atau tetap di sini dengan anda?” tanya Antasena saat melihat Ishana yang asik memakan burger yang tadi dia beli saat diperjalanan menuju tempat ini.

“Lo tetep di sini, lo bakal ikut gua,” jawab gadis itu setelah memakan habis buregernya. Saat tangannya terulur untuk mengambil botol air yang belum dibuka, Antasena sudah lebih dulu mengulurkan botol air yang sudah dibukanya pada Ishana.

Sempat merasa bingung, tapi gadis itu langsung menerima botol air pemberian Antasena. Lumayan, dia tidak harus susah-susah membuka botol air lagi, pikirnya. Setelah merasa cukup, Ishana membenarkan posisi duduknya, bersiap mengendarai kendaraan beroda empat itu.

“Tunggu sebentar.” Antasena menarik seatbelt milik Ishana lalu memakaikannya untuk gadis itu. “Saya tahu anda tidak suka dilindungi dan lebih suka melindungi diri sendiri, jadi, saya akan pastikan anda melindungi diri sendiri. Untuk kali ini pengecualian.”

Ishana mengalihkan pandangannya, dia merasa sedikit terpukau dengan kata-kata Antasena. Ya, jujur saja kata-katanya itu sedikit membuat hatinya berdebar, ingat hanya sedikit. Dia menyamankan posisi duduknya lalu mulai memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, melintasi jalanan sirkuit di malam itu dengan cepat. Di sebelahnya terdapat Antasena yang duduk tenang, terlihat santai walau dibawa mengemudi dengan kecepatan secepat ini.

Ishana melirik sekilas Antasena yang masih terlihat tenang, dirinya sedikit merasa kesal karena pemuda itu terlihat biasa saja tidak seperti para bodyguard-nya dulu ketika dia ajak mengemudi di sirkuit seperti ini.

Dengan segala keberanian yang masih gadis itu punya, dia semakin memacu kendaraan beroda empat itu hingga garis finis, berharap sebelum garis finis terlewati ada satu ekspresi ketakutan dari Antasena. Tapi sayang, pemuda itu tetap santai seolah sudah terbiasa dengan hal seperti ini.

Helaan nafas kesal terdengar dari Ishana. “Lo kelihatan biasa aja.”

Dari nada bicara gadis itu Antasena tahu bahwa dia merasa kesal. “Memangnya saya harus seperti apa?” tanyanya bingung.

“Lo gak takut?” tanya Ishana kembali. Dia penasaran kenapa bodyguard barunya ini bisa terlihat sangat santai atau malah terkesan tidak peduli dengannya.

Kerutan di kening pemuda itu cukup membuktikan kalau dia bingung. “Kenapa harus takut? Saya sudah biasa.”

Kali ini Ishana yang mengerutkan keningnya. “Udah biasa apa? Lo suka balapan?”

Antasena tidak menjawab dan malah memberikan penawaran pada gadis itu. “Mau coba ngerasain saya yang bawa mobilnya?”

Ishana tidak tahu pasti apa yang membuatnya kini bertukar tempat dengan Antasena. Ya, pemuda itu sekarang duduk di balik kemudi. Dia menatap wajah Antasena dari samping, merasa terpukau ketika melihat rahang tegas pemuda itu yang terlihat, errr, menggoda.

Lamunannya itu terpaksa buyar ketika tiba-tiba mobil yang ditumpanginya itu melaju dengan kecepatan penuh. Seumur hidupnya baru kali ini dia merasa setakut ini. Dia memang merasa takut, tapi di lain sisi dia merasa senang.

Tepat saat mobil itu berhenti, tawa gadis cantik itu pecah. Entah mentertawakan apa, yang jelas sekarang dia hanya ingin tertawa. “Gua gak nyangka lo bisa bawa mobil ini kayak tadi.”

“Memangnya saya kelihatan kayak orang kolot yang gak bisa bawa mobil dengan kecepatan seperti itu?” tanya Antasena heran.

Ishana berhenti tertawa lalu menatap Antasena dengan serius. “Lo keren bisa kendarain mobil kayak tadi, tapi lo tetep kelihatan kolot sih sebenarnya.”


Sejak hari itu yang Ishana pikirkan hanya bagaimana cara membuat Antasena selalu bersamanya, dalam arti lain dia tertarik dengan pemuda itu. Ayolah perempuan mana yang tidak akan tertarik dengan Antasena. Dia akui bodyguard-nya ini tampan, bertubuh tegap nan atletis, dan jangan lupa dia dapat mengimbangi dirinya.

Antasena itu terlalu luar biasa jika hanya dibiarkan berdiri jauh beberapa meter darinya hanya untuk menjaganya, dia harus memerkan ketampanan pemuda itu dihadapan para teman-temannya.

Di lain sisi, Antasena mulai menanamkan prinsip untuk tidak mengikut campurkan perasaannya dalam pekerjaannya ini. Ya, dia akui Ishana itu cantik, memiliki senyum manis, dan agak sedikit berisik dan itu akan bagus karena dia adalah tipe orang yang pendiam. Tapi kembali pada prinsip awal yang dia terapkan, jangan jatuh cinta pada gadis itu.