vyn

Kayla mengambil ponselnya lalu membuka pintu kamarnya. Rasya baru saja mengirimkan pesan bahwa dia sudah sampai di depan rumahnya.

Tepat saat pintu itu terbuka sebuah kantong plastik berisi makanan cepat saji menggantung di sisi lain pintu.

Kayla melirik ke arah pintu kamar Kak Abrar yang tertutup rapat lalu mencibir, “Sok-sokan tsundere. Gue gebuk tahu rasa deh lo.”

Dia menyimpan makanan pemberian sang kakak di meja belajar lalu bergegas menghampiri Rasya yang menunggunya di depan rumah.

Kayla berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Keadaan rumah yang masih sepi menandakan dia masih di rumah sendiri. Sepertinya Kak Abrar tidak pulang ke rumah hari ini. “Kayaknya gua harus masak telur lagi hari ini,” gumamnya.

Saat gadis itu hendak berjalan kembali menuju kamarnya, pintu utama rumah terbuka dan disusul dengan Kak Abrar yang memasuki rumah.

“Eh, Kakak udah pulang,” ucap Kayla basa-basi. Pemuda yang lebih tua dua tahun darinya itu merupakan kakak tirinya. Dia dan sang kakak memang tidak begitu dekat. Kak Abrar selalu dingin padanya, mungkin karena dia masih belum menerima pernikahan kedua orang tua mereka.

Kak Abrar tidak membalas ucapan Kayla dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu kotak. Dia melirik sekilas sang adik tiri lalu berjalan menuju kamarnya.

Kayla tersenyum kikuk. “Aku mau masak telur, Kakak mau? Siapa tahu Kak Abrar belum ma—” ucapannya terpaksa terhenti kala Kak Abrar dengan kasar menutup pintu kamarnya. Kayla tahu jelas apa maksud Kak Abrar dengan membanting pintu kamarnya. Dia tidak mau mendengar suara Kayla.

Helaan napas kasar terdengar dari gadis itu. Dia menyugar rambutnya. “Gua harus ngedeketin dia kayak gimana lagi?” monolognya putus asa.

Brak

Kayla mengedarkan pandangannya ke sekitar mencoba mencari sumber suara benturan yang cukup keras tadi. Matanya membelalak begitu mendapati seorang pemuda yang berbaring di jalan dengan keadaan kaki kanannya tertimpah motor.

Sontak orang-orang di sekitar langsung membantu memindahkan motor pemuda itu. Pak Soni, pemilik toko kelontong, memapah pemuda itu ke depan tokonya.

Kayla mengamati pemuda itu dengan cermat. Seragam sekolahnya terlihat sama dengan seragamnya, sepertinya mereka satu sekolah. Dia berjalan menuju toko kelontong untuk membeli minum lalu memberikannya pada pemuda itu. “Diminum dulu, Kak.”

Pemuda itu menggumamkan terima kasih lalu meneguknya hingga habis. Sesekali dia meringis seraya memijat pelan kakinya. Kayla yang tak tega akhirnya memberi saran, “Coba hubungin keluarga Kakak aja. Kalau sampai ada yang patah bisa langsung dibawa ke rumah sakit.”

Pemuda itu menatap Kayla sesaat lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Setelah memastikan pemuda itu benar-benar menghubungi keluarganya, Kayla memutuskan untuk pulang. Dia rasa tugasnya sudah selesai. Pemuda itu sudah menghubungi keluarganya dan akan segera dijemput, jadi, dia tidak memiliki alasan lain untuk masih berada di sana.

Pemuda itu memutuskan panggilan teleponnya lalu menoleh ke arah samping, di mana Kayla berdiri tadi. Tapi saat dia menoleh, gadis yang tadi menolongnya itu sudah tidak ada di sana. “Loh, udah pergi? Padahal gua mau bilang terima kasih.”

01


“Itu siapa?” Karin menunjuk tiga orang pemuda yang tengah duduk santai di pinggiran lapangan basket. Dia tahu dua dari tiga pemuda itu. Itu Dean dan Abima, tapi siapa pemuda satunya?

Asha, sahabat Karin, mengikuti arah telunjuk Karin. Dia memicingkan matanya mencoba menatap lebih jelas wajah para pemuda itu. “Itu Dean, Abima, sama Johan.”

Kening gadis kelahiran Juni itu berkerut bingung, dia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. “Johan siapa? Kakak kelas atau adik kelas?” tanyanya lagi.

Asha yang geregetan dengan Karin langsung memukul bahunya agak kencang. “Demi apa lo gak tahu Johan? Dia tuh famous, Rin. Dia seangkatan sama kita.”

“Jadi, dia famous karena apa?” Karin bertanya lagi.

“Dia tuh satu geng sama Dean dan Abima.” Asha kembali menunjuk tiga serangkai itu. “Ya, kayak yang lo tahu lah. Dean itu ketua OSIS, Abima itu wakil ketua penyiaran, dan terakhir Johan itu anggota basket,” jelas Asha panjang lebar.

Dia merangkul bahu Karin. “Jadi, lo naksir yang mana nih? Tetap sama Dean atau pindah haluan ke wakil ketua penyiaran atau anak basket?”

Karin menyingkirkan tangan Asha dari bahunya. “Pertama-tama, gua sama Dean cuman teman doang, lo juga tahu gua sama dia udah temenan dari kecil. Yang kedua, gua gak tertarik sama Abima, dia cuman teman biasa. Terakhir, gua bahkan gak kenal sama Johan, paling besok juga lupa lagi namanya.”

Asha berdecih mendengar jawaban Karin. Apa-apaan sahabatnya ini. “Palingan si Johan jadi future boyfriend lo.”

“Gak mungkin lah.” Karin menggeleng kuat. Kemudian matanya bergulir kembali menatap tiga serangkai itu, lebih tepatnya sosok bernama Johan. Ya, dia akui Johan cukup tampan. Hanya itu.


Dean melempar botol air mineral titipan Johan kemudian duduk di antara pemuda itu dan Abima. “Jangan lupa ganti uang gua.” Peringatnya.

“Pelit banget. Cuman tiga ribu padahal,” cibir Johan kemudian meneguk airnya hingga sisa setengah. Dia menyeka keringatnya menggunakan tangan. Entah kenapa hari ini terasa lebih panas dari pada biasanya. “Hari ini panas banget.”

Abima mengangguk setuju. Matanya sibuk menatap sekitar sampai tiba-tiba dia memukul paha Dean ribut. Dia menunjuk ke arah dua orang siswi yang duduk di koridor. “Si Karin tuh. Dia lagi bareng Asha.”

Dean melirik Karin yang duduk di koridor sana lalu tersenyum kecil. Cantik, batinnya.

Karin, gadis berparas cantik itu lebih muda satu tahun darinya dan mereka sudah berteman sejak taman kanak-kanak. Mengenal gadis itu sejak lama membuat Karin memiliki tempat tersendiri di hati Dean.

“Karin siapa?” Johan mengikuti arah pandang Dean dan Abima. Dia mengangkat sebelah alisnya, ia tahu Asha, tapi dia tidak mengenal gadis yang bernama Karin itu. Dia bahkan tidak pernah melihat gadis itu di sekolah.

“Dia teman sekelas Asha. Anaknya emang pendiem dan gak begitu menonjol. Jadi, wajar kalau lo gak pernah lihat dia.” Abima menjelaskan tanpa diminta dan itu cukup untuk menjawab rasa penasaran Johan.

Johan hanya mengangguk seraya menggumamkan kata ‘oh’ yang panjang. Matanya masih fokus menatap sosok itu.

Gadis itu, Karin, dia cantik. Sangat.


Karin mengayunkan kakinya seraya bersenandung kecil. Dia sedang menunggu ojek online-nya sampai. Sejujurnya dia merasa sedikit takut karena kawasan sekolah mulai sepi. Hampir seluruh warga sekolah sudah pulang dan hanya meninggalkan beberapa siswa dan guru yang masih di sekolah.

Untuk mengurangi rasa takutnya, dia mengedarkan matanya ke sekitar dan tak sengaja bertabrakan dengan mata legam milik seorang pemuda yang tengah menatapnya juga. Pemuda itu bernama Johan jika Karin tidak salah ingat.

Dia tersenyum pada Johan yang malah direspon pemuda itu dengan mengalihkan pandangannya. Kemudian pemuda itu malah berjalan masuk kembali ke dalam sekolah dengan santai seolah tak melihat keberadaan Karin di sana.

Karin berdecih. “Dih, dasar cowok aneh,” cibirnya. Sombong sekali pemuda itu. “Di mana-mana tuh balas senyum! Balas senyum aja kayaknya susah banget. Gak mau lagi gua senyum ke dia.”

“Bukannya gak mau senyum, tapi senyum lo aneh,” gumam Johan di lain sisi. Dia berdiri di dekat pos satpam untuk mengawasi Karin dari jauh. Sekolah yang mulai sepi dan Karin yang terlihat sedikit takut membuat Johan menahan diri untuk pulang dan memilih mengawasi gadis itu hingga dia pulang.

Johan juga tidak tahu pasti apa yang membuatnya tetap di sekolah sampai gadis yang baru saja melempar senyum padanya itu pulang. Yang dia tahu, dia hanya merasa enggan meninggalkannya sendiri di sini.

Dia menarik napas berat sebelum melanjutkan kalimatnya tadi. “Senyum lo aneh. Aneh bisa buat jantung gua berdebar.”

Untuk pertama kalinya Johan merasakan sensasi aneh pada dadanya. Dadanya terasa menghangat kala mendapati senyum manis terpatri di wajah gadis itu.

Matanya menatap lamat Karin yang tengah mengomel entah pada siapa, sepertinya dia masih kesal karena tadi senyumnya tak dibalas. Tanpa Johan sadari, sudut bibirnya terangkat hanya karena memperhatikan gadis itu.

Ada yang berbeda pada Karin yang mampu membuat Johan tak bisa berkata-kata sehingga dia hanya mampu memandang kagum sosok itu. Karin benar-benar berbeda.


Dean memencet remot TV, mencoba mencari acara yang menarik di sana. Perhatiannya teralih saat pintu utama rumah itu terbuka. Karin baru saja pulang. “Lama banget pulangnya,” ucapnya basa-basi.

“Tadi piket dulu.” Karin meletakan tasnya di karpet lalu berjalan menuju kulkas untuk mengambil minum. Tenggorokannya terasa kering karena sibuk mengomeli pemuda sombong tadi. Walau sebenarnya dia hanya mengomel sendiri. “Lo ngapain di sini? Gak punya rumah?” tanyanya sewot.

Dean terkekeh mendengar nada bicara Karin. Sepertinya mood gadis itu sedang tidak bagus. “Gua gabut. Di rumah gak ada orang, jadi, gua ke sini aja. Bunda lo juga gak masalah tuh.” Kemudian Dean menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengkode Karin untuk duduk di sana. “Ada cerita apa hari ini?”

Karin menganggukan kepalanya singkat lalu ikut duduk di sofa bersama Dean. Ini yang dia suka dari pemuda itu. Dean selalu menyempatkan diri untuk bertanya tentang hari-harinya walaupun mereka satu sekolah. “Gua baru tahu lo punya teman namanya Johan.”

Dean mengerutkan keningnya bingung. “Johan yang mana? Gua kenal empat orang yang namanya Johan.” Tak salah Dean bertanya seperti itu, pemuda yang menjabat sebagai ketua osis di sekolahnya itu memang mempunyai banyak teman, entah itu dari dalam sekolah atau luar sekolah.

“Yang tadi duduk di lapangan bareng lo.” Karin memutar tubuhnya agar benar-benar menghadap Dean. “Sejak kapan lo temenan sama dia? Dia anaknya kayak gimana?”

Dean menatap aneh Karin yang tiba-tiba bertanya seperti itu. Ini seperti bukan Karin yang dia kenal. Seingatnya Karin tidak suka bertanya hal-hal seperti ini. “Kenapa nanya kayak gitu? Lo naksir dia? Lo naksir Johan, Rin?”

Karin tertawa renyah kemudian melambaikan tangannya. “Naksir Johan? Bercanda, ya, lo? Gak ada namanya naksir-naksir cowok sombong itu,” jawabnya dengan menggebu-gebu. Dia masih kesal karena kejadian tadi.

“Sombong?” ulang Dean bingung. “Sombong kayak gimana? Johan gak sombong kok.”

“Dia tuh sombong!” pekik Karin tertahan. “Lo harus tahu, ya! Tadi gua senyumin dia, tapi dia malah buang muka dan pergi gitu aja seolah gak ngelihat gua. Kesel banget tahu nggak! Udah bagus gua senyumin, eh, malah pura-pura nggak lihat.”

Dean mengusap pelan telinganya yang terasa pengang karena Karin bercerita sambil berteriak. “Johan gak sombong kok, Rin. Mungkin dia malu buat bales senyum lo,” balasnya berusaha menenangkan teman kecilnya itu.

“Malu kenapa, sih?” Karin menggembungkan pipinya kesal. Alasan yang diberikan Dean tidak masuk akal baginya. Memangnya kenapa Johan harus malu membalas senyumnya?

Dean yang gemas dengan tingkah Karin reflek mengusak rambut gadis itu. “Karena senyum lo manis,” ujarnya pelan. Pemuda itu kemudian terkekeh dan mencubit pelan hidung Karin. “Asal lo tahu, ya. Senyum lo tuh manis banget, Karin.”

“Cie yang disukain sama Papa.” Geya menyenggol lengan Auriga yang sedang berjalan di sebelahnya, menggoda pemuda itu. “Papa gak nyeremin kan.”

Auriga tertawa pelan mengingat kejadian pagi tadi. Papa Geya ternyata tak semenyeramkan itu. Dia adalah pria paruh baya dengan selera humor yang bagus. “Papa kamu baik.”

Geya mengangguk-anggukan kepalanya pelan. “Menurut kamu happy ending itu ending yang kayak gimana? Yang tokoh utamanya nikah atau apa?” tanya Geya sambil menatap novel yang baru saja dia ambil.

Auriga menatap Geya sesaat lalu kembali menatap rak berisi buku-buku di hadapan mereka. “Yang semua tokohnya bahagia, bukan cuman tokoh utamanya aja. Kebahagiaannya mencakup seluruh tokoh cerita.”

Geya mengangguk paham, dia cukup puas dengan jawaban sang kekasih. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, bersiap bertanya kembali. “Menurut kamu cerita sad ending itu ending yang kayak gimana? Yang tokoh utamanya meninggal atau tokoh utamanya gak sama pasangannya?”

Auriga terdengar menghela napas pelan. “Sedih itu gak cuman tentang kematian atau gak berjodoh.” Dia menatap lekat Geya, menunggu gadis itu merespon.

“Terus apa?”

“Sebenarnya itu tergantung pandangan kamu terhadap ending itu,” jawab Auriga. “Coba kamu pikir, kalau menurut kamu endingnya sedih, tapi membahagiakan buat sebagian tokoh, itu bakal jadi sad atau happy? Kalau endingnya bahagia, tapi kedua tokoh gak bersama, itu bakal jadi sad atau happy?”

Geya terdiam, berusaha mencerna ucapan Auriga barusan. Ucapan pemuda itu memang ada benarnya.

“Kalau kamu lihat dari perspektif yang berbeda pasti makna sad atau happy itu juga bakal beda,” ucap Auriga lembut sebagai penutup penjelasannya.

Geya mengangkat wajahnya dan menatap serius Auriga, dia menatap tepat pada mata pemuda itu. “Kalau gitu, ending kita bakal termasuk yang mana? Sad atau happy?”

Auriga mengusap kepala Geya dalam diam kemudian tersenyum lembut. “Happy. Kita bakal jadi happy ending dari semua perspektif yang ada.”

Auriga menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu bercat hitam di hadapannya. Dia berusaha tersenyum tipis, meminimalisir degupan jantungnya yang kian bertambah cepat.

Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya berwajah mirip dengan kekasihnya. “Kamu Auriga, ya? Sini masuk.” Mama Geya mempersilakan pemuda berstatus pacar anak perempuannya itu untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

“Tante, ini ada makanan buat Tante dan keluarga.” Auriga menyodorkan kantung pelastik yang dibawanya pada Mama Geya.

Mama Geya tersenyum sumringah menatap pemberian Auriga. “Kayaknya kamu pandai buat orang tersanjung, ya. Terima kasih makanannya, ya, Nak Auriga.” Dia tersenyum sekali lagi pada Auriga sebelum berjalan pergi menuju dapur untuk membuat minum. “Tunggu sebentar, ya. Papa Geya lagi siap-siap.”

Auriga hanya mengangguk seraya tersenyum manis sebagai balasan. Dia meremat jarinya sendiri kala mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Tepat saat dia mengangkat wajahnya, seorang Pria paruh baya berjalan menujunya diikuti Bang Atma di belakangnya.

“Jadi, kamu yang namanya Auriga.” Papa Geya duduk di sofa yang berada di hadapan Auriga. Matanya menatap tajam pemuda itu. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya. “Oh, ya sudah kalau begitu. Salam kenal, ya, Nak.”

Auriga menatap tangan Papa Geya dan Bang Atma bergantian lalu mencium tangan pria yang lebih tua darinya itu. “Iya, Om.”

Papa Geya tertawa. “Jangan panggil Om, panggil Papa aja biar samaan kayak Geya.” Pria paruh baya itu kemudian mulai mengajak Auriga berbincang-bincang hal sederhana, seperti umurnya berapa, rumahnya di mana, kuliah jurusan apa, dan lain-lain.

Di sisi lain Geya menatap aneh sang papa. Sejak kapan papanya bisa seramah itu dengan orang baru.

“Mama yang bilang ke Papa untuk ramah sama Auriga.” Mama Geya tiba-tiba muncul, membuat gadis cantik itu menatapnya. “Abang udah cerita semuanya sama Mama. Gimana Auriga jagain kamu di sini selama kita ada di Jepang. Ya, Mama rasa dengan ceritain itu ke Papa bisa buat dia nerima Auriga sebagai pacar kamu.”

“Mama ….” Geya langsung memeluk tubuh sang mama erat. Dia merasa bersyukur karena secara tidak langsung mamanya menerima Auriga. “Terima kasih, Ma.”

Pemuda berambut coklat itu tersenyum lebar saat menatap rumah bercat biru muda di hadapannya. Ini pertama kalinya dia menginjakan kakinya di rumah ini setelah lima tahun menetap di Jepang.

Dia mulai melangkah memasuki halaman rumah itu. Dia berhenti sesaat ketika melihat sebuah motor yang terparkir di sana. “Bang Atma beli motor? Kok gak bilang,” ucapnya lalu kembali berjalan masuk ke rumah.

“Halo kawan-kawan akhirnya gua nyampe rumah!” Pemuda itu berseru senang seraya melempar tasnya ke sofa. “Ini gak ada yang mau nyambut gua?” tanyanya sedikit kesal karena tidak ada yang merespon ucapannya tadi.

Dia melangkah menuju dapur saat indera pendengarnya menangkap suara seseorang yang sedang mengobrol. Dia mendapati Geya sedang mengobrol dengan seorang pemuda sambil tertawa kecil. “Lo gak mau nyambut gua?” tanyanya membuat Geya menatapnya terkejut.

Sontak gadis itu berjalan menuju pemuda itu lalu mengacak rambutnya. “Cie yang pulang ke Indonesia,” ucap Geya sambil tertawa. “Lo bawa oleh-oleh apa, Jer?”

Jeremy berdecak kesal lalu mencubit pipi kakak kembarnya itu sebagai pelampiasan. “Gua baru nyampe, lo malah cari oleh-oleh. Btw, cowok itu siapa?” tanyanya seraya menunjuk pemuda yang tadi mengobrol dengan Geya.

Gadis berambut panjang itu langsung menarik tangan Jeremy mendekat ke arah Auriga. Dia menatap sang kekasih lalu tersenyum. “Auriga, dia Jeremy adik kembar aku.” Geya beralih menatap Jeremy di sebelahnya. “Dia pacar gua, namanya Auriga.”

Jeremy mendelik saat menyadari cara bicara Geya yang berbeda saat bicara dengannya dan Auriga. “Pilih kasih. Sama pacarnya aja lemah lembut, giliran sama gua kayak nenek lampir.”

Jeremy menatap Auriga dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Cakepan gua dari pada dia,” ucapnya lalu berjalan menuju kamar miliknya, meninggalkan sepasang kekasih itu di dapur.

“Kayaknya adik kamu gak suka aku,” celetuk Auriga sambil terkekeh ringan. Dia tersenyum simpul saat melihat ekspresi wajah gadis itu yang berubah murung. Dia kemudian merangkul bahu Geya dan berujar, “Aku gak apa-apa, santai aja. Sekarang mending habisin bubur kamu.”

by aeadyvyn

“Bukan dunia yang sempit, Amora. Tapi gua yang terus berusaha ada di sekitar lo.”


Akhir-akhir ini air langit lebih sering turun dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, wajar saja karena sekarang mulai memasuki musim hujan. Langit yang menjadi gelap, angin yang bertiup kencang dan suhu yang menurun menjadi pertanda turunnya buliran air dari langit.

Amora tidak membenci hujan, tapi juga tidak menyukai hujan. Hujan selalu membawa perasaannya melayang jauh ke langit dan jatuh kembali ke tanah dengan mudah, memainkan perasaannya seolah ia adalah permainan yang menyenangkan. Hujan selalu punya caranya sendiri untuk menyimpan semua kenangannya, entah itu kenangan yang menyenangkan atau menyedihkan. Hujan selalu menjadi saksi bisu berbagai peristiwa, entah itu pertemuan atau perpisahan.

Gadis berusia 24 tahun itu menghela napas berat, sepertinya dia harus pulang sekarang sebelum hujan bertambah deras. Dia melepas apron yang dipakainya dan menyimpannya di lemari khusus, setelah itu berjalan ke meja kasir untuk merapikan barang-barangnya.

“Amora.” Seorang pemuda membuka pintu cafe dan berjalan ke arah gadis itu dengan paper bag di tangannya.

Amora tahu siapa pemuda itu, Kheeva, kakak tingkatnya semasa kuliah dulu. Kheeva bukan sekedar kakak tingkatnya, tapi dia adalah orang yang Amora sukai sejak empat tahun lalu.

Gadis itu tersenyum tipis dan mempersilahkan Kheeva untuk duduk di salah satu meja. “Dunia sempit banget, ya. Kita ketemu lagi di sini,” ujar Amora diakhiri tawa canggung.

Kheeva mengangkat sebelah alisnya lalu tersenyum penuh makna. “Bukan dunia yang sempit, Amora. Tapi gua yang terus berusaha ada di sekitar lo.” Pemuda tampan itu terkekeh melihat wajah terkejut adik tingkatnya itu. Dia beralih mengeluarkan buket bunga anyelir merah dari dalam paper bag kemudian menyodorkannya pada Amora.

Amora yang bekerja sambilan di toko bunga milik kerabatnya jelas tahu makna dari bunga pemberian Kheeva. Bunga anyelir merah melambangkan cinta, pesona dan kekaguman. Dia mengangkat wajahnya menatap Kheeva meminta penjelasan. “Untuk apa?”

Pemuda itu menegakan tubuhnya kemudian menatap Amora tepat di matanya. Dia terdiam sesaat mengagumi betapa indahnya mata milik gadis itu sampai Amora memutus kontak mata mereka.

“Katanya bunga itu bisa jadi sarana untuk mengungkap perasaan,” jawab Kheeva santai. Pemuda berusia 25 itu menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. “Tapi kayaknya lo butuh kata-kata secara langsung, bukan yang tersirat kayak gini.”

Kheeva melirik buket bunga pemberiannya yang berada di atas meja kemudian mengulum senyum. “Bunga anyelir merah melambangkan cinta, pesona dan kekaguman. Bunga ini melambangkan rasa cinta dan kekaguman gua terhadap diri lo. Pesona lo sama seperti bunga ini, cantik dan enak dipandang setiap saat. Lo selalu menjadi candu tersendiri untuk gua.”

Amora diam seribu bahasa, bibirnya mendadak kelu, tidak tahu harus bicara seperti apa. Ucapan Kheeva barusan membuatnya terkejut. Terbesit rasa senang di hatinya saat mengetahui pemuda itu juga menyimpan rasa padanya. Apa ini yang dimaksud pernyataan cinta?

“Maaf karena butuh empat tahun untuk berani ngutarain perasaan gua.” Kheeva kembali berujar dengan lembut. Perlahan senyum terbit di wajah pemuda tampan itu. “Amora, gua cinta lo sejak empat tahun lalu. Gua terus berusaha mencari lo setelah kelulusan gua tiga tahun lalu, tapi lo seperti hilang ditelan bumi, nggak ada di mana-mana. Sampai akhirnya kita ketemu di supermarket kemarin, gua benar-benar bersyukur bisa ketemu lo lagi setelah sekian lama.”

Kheeva meraih tangan Amora lalu menggenggamnya lembut dan hati-hati seolah itu adalah benda berharga. “Amora, bahkan setelah empat tahun perasaan gua tetap untuk lo.”

Amora sontak menatap Kheeva saat mengetahui pemuda itu mencarinya selama ini. Dia pikir Kheeva melupakannya setelah kelulusan pemuda itu, tapi ternyata dugaannya salah. Selama ini dia terus menghindari segala hal yang berhubungan dengan Kheeva agar bisa melupakan perasaannya pada pemuda itu, tapi pemuda itu malah berusaha mencarinya dan masih menyimpan perasaan untuknya setelah bertahun-tahun tak bertemu.

“Lo gak perlu bilang ke gua, Amora. Gua tahu lo punya rasa yang sama kayak yang gua rasain.” Kheeva terkekeh pelan lalu mengambil sebuah kertas dari dalam paper bag dan memberikannya pada gadis itu.

Amora tau kertas itu apa, itu undangan pernikahan. Undangan pernikahan berwarna navy dengan tema minimalis itu terdapat nama Kheeva di depannya sebagai mempelai pria, tapi tidak ada nama mempelai wanita di undangan itu. Amora menggeleng tak percaya, apa Kheeva sedang mencoba memainkan perasaannya dengan mengutarakan perasaannya lalu memberikan undangan pernikahan pemuda itu setelahnya. “Gua gak ngerti ….”

“Di sini nggak ada nama mempelai wanitanya.” Kheeva menunjuk space kosong di undangan itu tepat di sebelah namanya. Diam-diam dia mengeluarkan kotak beludru berwarna merah dari sakunya dan meletakannya di samping undangan itu. “Apa lo bersedia menjadi mempelai wanitanya?”

Amora menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang terjadi sekarang. Kheeva baru saja melamarnya. “Kheeva ….”

Kheeva tersenyum simpul kemudian mengambil kotak beludru yang berada di meja. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan berlutut di sebelah Amora. Tangannya membuka kotak itu dan memamerkan isinya. “Amora, apa kamu mau menghabiskan sisa hidup dengan melihat aku saat pertama kali bangun tidur dan sebelum kamu tidur?”

Amora rasa matanya memanas dan mulai berair. Perlahan air mata mulai mengaliri pipinya, dia merasa terharu karena tindakan Kheeva barusan. Gadis cantik itu menganggukan kepalanya seraya tersenyum, menerima ajakan Kheeva untuk menghabiskan sisa hidup bersama.

“Terima kasih, Amora.” Kheeva tersenyum lebar, mata pemuda itu juga terlihat berair. Dengan cepat dia memakaikan cincin itu di jari manis Amora. Cincin itu terlihat semakin indah ketika dipakai gadis itu. Kheeva mencium tangan Amora lembut kemudian memeluk daksa gadis cantik itu erat dan penuh kasih sayang.

Untuk kesekian kalinya, hujan memiliki peran dalam momen hidup mereka. Kali ini hujan kembali menyimpan kenangan indah, kenangan yang tak akan Kheeva dan Amora lupakan selama hidup mereka. Hujan juga menjadi saksi bisu kisah cinta mereka, bagaimana Kheeva akhirnya berani melamar gadis pujaan hatinya sejak empat tahun lalu itu.

Kheeva dan keberaniannya yang muncul saat hujan datang dengan bantuan bunga anyelir merah yang membantunya mengungkapkan perasaannya pada Amora. Kheeva tidak akan pernah melupakan semua ini, bunga anyelir merah dan hujan.

Geya berjalan cepat turun menuju ruang tamu. Senyumnya mengembang begitu melihat Auriga tengah duduk di ruang tamu dengan kantung pelastik berwarna merah berukuran sedang di hadapannya.

Pemuda tampan itu menoleh ke samping saat merasakan seseorang berjalan mendekat ke arahnya. “Berhenti di situ!” perintah Auriga memberhentikan Geya yang tinggal beberapa langkah darinya. “Diem di situ dulu, gua mau ngomong.”

Auriga menarik napas dalam, mendadak gugup. Dia berani bersumpah jika ini merupakan momen paling menegangkan sepanjang hidupnya. Dia mengulum bibirnya lalu berucap, “Gua yakin lo udah baca suratnya. Gua cuman mau ngomong beberapa hal aja.”

Pemuda itu kembali menarik napas dalam. “Gua gak tau gimana caranya ngutarain perasaan yang bener, tapi gua cuman mau bilang kalau gua merasa nyaman saat bareng lo dan gua ngerasain apa itu cinta saat bareng lo. Gua tau pertemuan kita memang terhitung singkat, tapi cinta itu gak bisa dihitung dari seberapa lama lo kenal orang itu kan. Ini mungkin kedengaran agak alay, tapi gua suka lo dari awal pertemuan kita di koridor waktu itu.”

Auriga tertawa pelan mengingat kejadian di koridor beberapa bulan lalu, pertemuan awal mereka berdua. Dia tersenyum lembut pada gadis pujaan hatinya itu. “Gua gak tau gimana bilang ini ke lo, tapi gua bener-bener cinta sama lo. Every day I fall in love with you more and more.”

Pemuda itu mengambil kantung pelastik yang tadi dia bawa kemudian menatap Geya lagi. “Kalau lo terima perasaan gua dan bersedia untuk jadi pacar gua, ambil kantung ini, kalau lo gak terima dan gak bersedia jadi pacar gua, lo bisa ninggalin gua di sini sendiri dan balik lagi ke kamar lo.”

Geya meneguk ludahnya gugup, perasaannya menjadi campur aduk setelah mendengar pengakuan dari Auriga barusan. Dia menatap kantung pelastik yang dipegang Auriga dan pemuda itu bergantian. Jantungnya berdegup kencang, apakah pilihannya ini benar atau tidak.

Geya mengambil satu langkah mundur, membuat Auriga yang sedari tadi memperhatikannya menahan napas. Apa dia akan ditolak?

Tiba-tiba tubuh pemuda itu terhuyung kebelakang saat Geya tiba-tiba memeluknya. Gadis itu mengambil kantung yang dipegang Auriga lalu meletakannya di meja, kemudian melingkarkan tangannya di tubuh tegap milik pemuda itu.

Auriga yang sudah sadar dari keterkejutannya langsung membalas pelukan gadis yang berstatus sebagai kekasihnya beberapa detik lalu itu dengan erat. Dia terus menggumamkan kata terima kasih sambil mengusap lembut kepala Geya.

Geya melonggarkan pelukannya dan mendongakan kepalanya agar dapat menatap wajah Auriga. “Makasih, ya, udah mau jujur tentang perasaan lo dan mau memperjelas hubungan kita,” dia berujar sambil tersenyum manis.

“Harusnya gua yang bilang terima kasih. Makasih udah mau terima perasaan gua.” Auriga tersenyum kemudian mencium kening Geya lembut, menyalurkan rasa cinta dan terima kasihnya pada gadis itu.

Geya membuka amplop tanpa stamp di depannya seperti yang disarankan Bang Atma. Dengan ragu dia membuka lipatan kertas itu lalu membacanya. Matanya membulat sempurna saat membaca surat itu, surat pernyataan.

“Ini….” Gadis itu menggantungkan ucapannya saat membaca surat pernyataan itu sampai akhir. Dia tidak dapat menahan keterkejutannya, ini benar-benar diluar dugaannya.

Buru-buru dia membuka amplop terakhir yang terdapat stamp kampus. Pikirannya sudah melayang entah ke mana, dia merasa takut jika isi amplop itu adalah surat teguran dari kampus.

Gadis cantik itu memantapkan niatnya dan segera membuka amplop itu. Kali ini berisi surat teguran, tapi bukan surat teguran dari kampus seperti bayangannya.

Dia tertawa saat membaca surat itu, terlebih saat membaca nama seseorang yang tertera di sana. “Dasar orang aneh, buat panik aja,” gumamnya sambil tersenyum salah tingkah.