
01
“Itu siapa?” Karin menunjuk tiga orang pemuda yang tengah duduk santai di pinggiran lapangan basket. Dia tahu dua dari tiga pemuda itu. Itu Dean dan Abima, tapi siapa pemuda satunya?
Asha, sahabat Karin, mengikuti arah telunjuk Karin. Dia memicingkan matanya mencoba menatap lebih jelas wajah para pemuda itu. “Itu Dean, Abima, sama Johan.”
Kening gadis kelahiran Juni itu berkerut bingung, dia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. “Johan siapa? Kakak kelas atau adik kelas?” tanyanya lagi.
Asha yang geregetan dengan Karin langsung memukul bahunya agak kencang. “Demi apa lo gak tahu Johan? Dia tuh famous, Rin. Dia seangkatan sama kita.”
“Jadi, dia famous karena apa?” Karin bertanya lagi.
“Dia tuh satu geng sama Dean dan Abima.” Asha kembali menunjuk tiga serangkai itu. “Ya, kayak yang lo tahu lah. Dean itu ketua OSIS, Abima itu wakil ketua penyiaran, dan terakhir Johan itu anggota basket,” jelas Asha panjang lebar.
Dia merangkul bahu Karin. “Jadi, lo naksir yang mana nih? Tetap sama Dean atau pindah haluan ke wakil ketua penyiaran atau anak basket?”
Karin menyingkirkan tangan Asha dari bahunya. “Pertama-tama, gua sama Dean cuman teman doang, lo juga tahu gua sama dia udah temenan dari kecil. Yang kedua, gua gak tertarik sama Abima, dia cuman teman biasa. Terakhir, gua bahkan gak kenal sama Johan, paling besok juga lupa lagi namanya.”
Asha berdecih mendengar jawaban Karin. Apa-apaan sahabatnya ini. “Palingan si Johan jadi future boyfriend lo.”
“Gak mungkin lah.” Karin menggeleng kuat. Kemudian matanya bergulir kembali menatap tiga serangkai itu, lebih tepatnya sosok bernama Johan. Ya, dia akui Johan cukup tampan. Hanya itu.
Dean melempar botol air mineral titipan Johan kemudian duduk di antara pemuda itu dan Abima. “Jangan lupa ganti uang gua.” Peringatnya.
“Pelit banget. Cuman tiga ribu padahal,” cibir Johan kemudian meneguk airnya hingga sisa setengah. Dia menyeka keringatnya menggunakan tangan. Entah kenapa hari ini terasa lebih panas dari pada biasanya. “Hari ini panas banget.”
Abima mengangguk setuju. Matanya sibuk menatap sekitar sampai tiba-tiba dia memukul paha Dean ribut. Dia menunjuk ke arah dua orang siswi yang duduk di koridor. “Si Karin tuh. Dia lagi bareng Asha.”
Dean melirik Karin yang duduk di koridor sana lalu tersenyum kecil. Cantik, batinnya.
Karin, gadis berparas cantik itu lebih muda satu tahun darinya dan mereka sudah berteman sejak taman kanak-kanak. Mengenal gadis itu sejak lama membuat Karin memiliki tempat tersendiri di hati Dean.
“Karin siapa?” Johan mengikuti arah pandang Dean dan Abima. Dia mengangkat sebelah alisnya, ia tahu Asha, tapi dia tidak mengenal gadis yang bernama Karin itu. Dia bahkan tidak pernah melihat gadis itu di sekolah.
“Dia teman sekelas Asha. Anaknya emang pendiem dan gak begitu menonjol. Jadi, wajar kalau lo gak pernah lihat dia.” Abima menjelaskan tanpa diminta dan itu cukup untuk menjawab rasa penasaran Johan.
Johan hanya mengangguk seraya menggumamkan kata ‘oh’ yang panjang. Matanya masih fokus menatap sosok itu.
Gadis itu, Karin, dia cantik. Sangat.
Karin mengayunkan kakinya seraya bersenandung kecil. Dia sedang menunggu ojek online-nya sampai. Sejujurnya dia merasa sedikit takut karena kawasan sekolah mulai sepi. Hampir seluruh warga sekolah sudah pulang dan hanya meninggalkan beberapa siswa dan guru yang masih di sekolah.
Untuk mengurangi rasa takutnya, dia mengedarkan matanya ke sekitar dan tak sengaja bertabrakan dengan mata legam milik seorang pemuda yang tengah menatapnya juga. Pemuda itu bernama Johan jika Karin tidak salah ingat.
Dia tersenyum pada Johan yang malah direspon pemuda itu dengan mengalihkan pandangannya. Kemudian pemuda itu malah berjalan masuk kembali ke dalam sekolah dengan santai seolah tak melihat keberadaan Karin di sana.
Karin berdecih. “Dih, dasar cowok aneh,” cibirnya. Sombong sekali pemuda itu. “Di mana-mana tuh balas senyum! Balas senyum aja kayaknya susah banget. Gak mau lagi gua senyum ke dia.”
“Bukannya gak mau senyum, tapi senyum lo aneh,” gumam Johan di lain sisi. Dia berdiri di dekat pos satpam untuk mengawasi Karin dari jauh. Sekolah yang mulai sepi dan Karin yang terlihat sedikit takut membuat Johan menahan diri untuk pulang dan memilih mengawasi gadis itu hingga dia pulang.
Johan juga tidak tahu pasti apa yang membuatnya tetap di sekolah sampai gadis yang baru saja melempar senyum padanya itu pulang. Yang dia tahu, dia hanya merasa enggan meninggalkannya sendiri di sini.
Dia menarik napas berat sebelum melanjutkan kalimatnya tadi. “Senyum lo aneh. Aneh bisa buat jantung gua berdebar.”
Untuk pertama kalinya Johan merasakan sensasi aneh pada dadanya. Dadanya terasa menghangat kala mendapati senyum manis terpatri di wajah gadis itu.
Matanya menatap lamat Karin yang tengah mengomel entah pada siapa, sepertinya dia masih kesal karena tadi senyumnya tak dibalas. Tanpa Johan sadari, sudut bibirnya terangkat hanya karena memperhatikan gadis itu.
Ada yang berbeda pada Karin yang mampu membuat Johan tak bisa berkata-kata sehingga dia hanya mampu memandang kagum sosok itu. Karin benar-benar berbeda.
Dean memencet remot TV, mencoba mencari acara yang menarik di sana. Perhatiannya teralih saat pintu utama rumah itu terbuka. Karin baru saja pulang. “Lama banget pulangnya,” ucapnya basa-basi.
“Tadi piket dulu.” Karin meletakan tasnya di karpet lalu berjalan menuju kulkas untuk mengambil minum. Tenggorokannya terasa kering karena sibuk mengomeli pemuda sombong tadi. Walau sebenarnya dia hanya mengomel sendiri. “Lo ngapain di sini? Gak punya rumah?” tanyanya sewot.
Dean terkekeh mendengar nada bicara Karin. Sepertinya mood gadis itu sedang tidak bagus. “Gua gabut. Di rumah gak ada orang, jadi, gua ke sini aja. Bunda lo juga gak masalah tuh.” Kemudian Dean menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengkode Karin untuk duduk di sana. “Ada cerita apa hari ini?”
Karin menganggukan kepalanya singkat lalu ikut duduk di sofa bersama Dean. Ini yang dia suka dari pemuda itu. Dean selalu menyempatkan diri untuk bertanya tentang hari-harinya walaupun mereka satu sekolah. “Gua baru tahu lo punya teman namanya Johan.”
Dean mengerutkan keningnya bingung. “Johan yang mana? Gua kenal empat orang yang namanya Johan.” Tak salah Dean bertanya seperti itu, pemuda yang menjabat sebagai ketua osis di sekolahnya itu memang mempunyai banyak teman, entah itu dari dalam sekolah atau luar sekolah.
“Yang tadi duduk di lapangan bareng lo.” Karin memutar tubuhnya agar benar-benar menghadap Dean. “Sejak kapan lo temenan sama dia? Dia anaknya kayak gimana?”
Dean menatap aneh Karin yang tiba-tiba bertanya seperti itu. Ini seperti bukan Karin yang dia kenal. Seingatnya Karin tidak suka bertanya hal-hal seperti ini. “Kenapa nanya kayak gitu? Lo naksir dia? Lo naksir Johan, Rin?”
Karin tertawa renyah kemudian melambaikan tangannya. “Naksir Johan? Bercanda, ya, lo? Gak ada namanya naksir-naksir cowok sombong itu,” jawabnya dengan menggebu-gebu. Dia masih kesal karena kejadian tadi.
“Sombong?” ulang Dean bingung. “Sombong kayak gimana? Johan gak sombong kok.”
“Dia tuh sombong!” pekik Karin tertahan. “Lo harus tahu, ya! Tadi gua senyumin dia, tapi dia malah buang muka dan pergi gitu aja seolah gak ngelihat gua. Kesel banget tahu nggak! Udah bagus gua senyumin, eh, malah pura-pura nggak lihat.”
Dean mengusap pelan telinganya yang terasa pengang karena Karin bercerita sambil berteriak. “Johan gak sombong kok, Rin. Mungkin dia malu buat bales senyum lo,” balasnya berusaha menenangkan teman kecilnya itu.
“Malu kenapa, sih?” Karin menggembungkan pipinya kesal. Alasan yang diberikan Dean tidak masuk akal baginya. Memangnya kenapa Johan harus malu membalas senyumnya?
Dean yang gemas dengan tingkah Karin reflek mengusak rambut gadis itu. “Karena senyum lo manis,” ujarnya pelan. Pemuda itu kemudian terkekeh dan mencubit pelan hidung Karin. “Asal lo tahu, ya. Senyum lo tuh manis banget, Karin.”