vyn

“Gak ada yang mau kamu sampaikan sama saya?” Pemuda dengan pakaian serba hitam itu mengetuk-ngetuk pelan meja yang menjadi pemisah antara dirinya dan lawan bicaranya.

Lawan bicaranya menarik napas tertahan kemudian menegakan tubuhnya. “Gak ada. Memangnya saya harus bicara apa sama kamu?”

“Kamu nggak merasa berhutang pada saya?” tanyanya memancing si lawan bicara. “Keterlaluan jika kamu nggak ingat itu.”

Gadis berambut cepol yang menjadi lawan bicaranya mengernyit heran. “Saya gak ngerasa punya hutang sama kamu, jangan mengada ada.”

Si lelaki menghela napas berat. Seketika tatapannya menajam, menatap sengit gadis itu. “Kamu berhutang penjelasan kepada saya.” Dia mendekatkan wajahnya pada sang lawan bicara lalu berbisik, “Bagaimana bisa kamu tahu suku Asrey?”

Tubuh gadis itu menegang, dia tahu dari awal memang itu tujuan dari pemuda di hadapannya, bertanya mengenai suku yang sudah lama menghilang itu. “Kamu ingin jawaban yang seperti apa? Jawaban kalau saya tahu suku itu… atau jawaban kalau kamu bahkan lebih dari tahu tentang suku itu?”

Senyum miring terbit di bibir gadis itu ketika melihat wajah terkejut si pemuda. “Kenapa terkejut? Bukan harusnya saya yang terkejut?”

Pemuda itu memalingkan wajahnya seraya mengusapnya kasar. Kepalanya mendadak pening, ini di luar dugaannya.

“Pertanyaan kamu terdengar seperti tidak mengenal suku itu sama sekali, tapi mana mungkin seperti itu.” Kini gadis itu mendekatkan wajanya pada pemuda di hadapannya, ia menyeringai. “Kamu sangat tahu tentang mereka, bahkan lebih tahu dibanding saya. Benar kan, ketua suku, Gale Narain atau mungkin lebih tepatnya, Garvin Ardolph.”

Gale atau mungkin bisa kita panggil Garvin itu tertawa meledek. “Sudah ingat? Saya pikir saya harus menunggu reinkarnasi berikutnya agar kamu mengingat saya.”

Gadis itu berdecak. “Bukankah itu terlalu lama.”

“Memang.” Gale tersenyum manis. “Saya bersyukur bisa kembali bertemu kamu, walau dulu kamu adalah penyebab hancurnya suku saya.”

“Jadi, kamu masih menyalahkan saya atas tenggelamnya suku Asrey?” tanya gadis cantik itu sedikit kesal.

Pemuda bertubuh tegap itu menggeleng. “Itu bukan hanya salah kamu, itu salah saya juga. Kisah cinta kita memang akan membawa bencana bagi suku Asrey. Manusia dan hydreca memang tidak akan pernah bisa bersatu.”

Gadis itu bungkam, ucapan pemuda di depannya ini benar. Manusia dan hydreca tidak akan bisa bersatu.

“Lupakan itu. Saya senang kamu terlahir kembali sebagai manusia dengan nama yang sama, Kirene Itzel.”

Pemuda yang berjabat sebagai ketua suku itu berjalan santai menyusuri jalan kota. Sudah menjadi kebiasaannya berkeliling melihat keadaan para penduduk di sore hari seperti ini.

Acara berkeliling kota itu akhirnya selesai. Dia memutuskan untuk pergi ke sebuah danau tua yang berada di pinggi kota. Tidak ada banyak rumah di sana, hanya ada sekitar lima rumah dengan jarak yang berjauhan. Tapi ada satu rumah yang berada paling dekat dengan danau, rumah itu terlihat tua, tapi nyaman disaat bersamaan.

Sebagai ketua suku yang baik dia menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya, sekedar menyapa si pemilik rumah tidak masalah bukan. Tiga kali dia mengetuk pintu kayu itu, tapi tidak ada sahutan dari dalam sana. Mungkin memang sedang tidak ada orang.

“Mencari siapa?” Suara lembut itu berhasil menyihirnya, membuat pemuda itu sontak memutar tubuh untuk menatap si pemilik suara. Seorang gadis dengan gaun berwarna biru muda tengah tersenyum manis padanya.

“Anda mencari siapa?” tanya gadis itu ulang karena pemuda yang berdiri di depan pintu itu tidak kunjung menjawab.

“Ah, itu… saya mencari pemilik rumah ini.” Pemuda itu tersenyum simpul. “Apa kamu pemilik rumah ini?”

Gadis berparas cantik itu mengangguk. “Apa yang membuat anda datang ke rumah saya di sore hari seperti ini?”

Pemuda itu mengulum bibirnya, mencari jawaban yang tepat. “Saya seorang ketua suku, saya hanya berkeliling untuk memeriksa keadaan kota.”

Gadis itu sontak membungkuk hormat pada sosok laki-laki itu. “Maafkan saya, saya tidak tahu jika anda ketua suku.”

Pemuda itu tersenyum manis, tidak mempermasalahkan itu walau jauh dilubuk hatinya penasaran bagaimana bisa gadis ini tidak mengetahui jika dia adalah ketua suku. “Tidak masalah, kamu juga tidak tahu hal itu, saya mewajarkannya.”

Gadis itu kembali menegakan tubuhnya dan mengangguk pelan. Dengan kikuk dia membuka pintu rumahnya. “Apa anda ingin berkunjung sebentar?”

Pemuda itu tertawa pelan mendengar suara gadis itu yang sedikit bergetar karena gugup. “Mungkin lain kali, ini sudah terlalu sore. Saya mungkin akan berkunjung kembali ke sini besok pagi.”

“Besok pagi?”

Pemuda itu mengangguk. “Iya, besok pagi. Apa kamu keberatan dengan hal itu, Nona?”

Wajah gadis itu bersemu merah, dengan malu-malu dia menggeleng. “Tidak, Tuan.”

Pemuda itu tersenyum puas. “Kalau begitu, saya pamit terlebih dahulu, sampai jumpa besok pagi.”


Pagi ini gadis bersurai cokelat itu sudah sibuk di dapur, entah membuat apa di pagi hari seperti ini. Yang jelas, dia sedang berusaha menyajikan makanan terbaiknya untuk sang ketua suku.

Sebuah sup yang selalu disajikan turun temurun di keluarganya lah yang akhirnya ia masak untuk ketua suku. Sederhana, tapi sup itu selalu disajikan setiap adanya peristiwa baik yang datang.

Pintu rumahnya diketuk beberapa kali, sepertinya ketua suku itu sudah datang. Dia berjalan cepat menuju pintu dan membukanya.

“Selamat pagi, Nona,” sapa pemuda itu dengan senyum manis di wajahnya.

Gadis itu membungkuk hormat. “Selamat pagi, Tuan. Silahkan masuk.” Dia mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam kediamannya dan memintanya untuk duduk di meja makan.

“Kamu tidak perlu menyiapkan sesuatu seperti ini.” Pemuda itu tertawa gemas karena gadis itu menyiapkan makanan untuknya. “Kita belum berkenalan, nama saya Garvin Ardolph, ketua suku.”

“Nama saya Kirene Itzel,” jawab Kirene gugup. Jujur saja, duduk di satu meja yang sama dengan ketua suku itu benar-benar menegangkan, walau sebenarnya Tuan Garvin tidak mengeluarkan aura intimidasinya sama sekali.

Garvin tersenyum gemas. “Jangan gugup seperti itu, Kirene.” Dia mengambil sendok lalu menyuapkannya ke dalam mulut. “Supnya enak, kamu pintar memasak, ya.”

Kirene tersenyum senang karena Tuan Garvin menyukai masakannya. “Syukurlah anda menyukainya.”

“Apa kamu tidak masalah jika saya datang setiap pagi untuk makan sup buatan kamu?” tanya Garvin setelah menghabiskan supnya.

Kening Kirene berkerut bingung, memangnya ketua suku punya waktu luang sebanyak itu. “Apa anda punya waktu sebanyak itu untuk datang ke sini setiap pagi?”

“Tentu.” Garvin menyeka bibirnya dengan sapu tangan. “Saya selalu punya waktu untuk kamu dan sup buatanmu.”

Sejak hari itu Garvin selalu menyempatkan datang ke rumah Kirene, entah itu untuk makan sup atau berbincang hal-hal acak dengan gadis itu. Hari demi hari yang mereka lewati bersama cukup membuat benih benih perasaan di antara mereka tumbuh.

Sampai suatu hari Garvin menemukan Kirene di belakang rumahnya tengah membaca suatu buku tebal yang nampak tua. “Kalau boleh saya tahu, buku apa itu?” tanyanya menginterupsi kegiatan Kirene.

Gadis itu sontak menutup bukunya dan menyembunyikannya di balik tubuh. “Ini bukan buku apa-apa, tidak begitu penting.”

Pemuda tampan itu mengernyit bingung dengan respon Kirene yang terkesan panik. “Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari saya?”

Kirene bertambah panik, keringat sebesar biji jagung turun dari keningnya. Dia berusaha menarik napas perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum kembali berbicara. “Ada banyak yang saya rahasiakan dari anda, dan anda memang tidak perlu tahu itu.”

“Benarkah?” Garvin merasa tertarik dengan rahasia Kirene karena sedari awal mereka berkenalan, dia tidak pernah mengetahui latar belakang keluarga gadis itu. Bahkan dia sampai membuka data penduduk suku Asrey, tapi tidak ada satupun nama Kirene atau keluarganya. “Bisakah saya tahu satu rahasia anda?”

“Kenapa anda ingin tahu itu?” tanya balik gadis itu.

“Jujur saja, sejak awal kita berkenalan saya tidak tahu latar belakangmu. Bukankah ini tidak adil? Kamu tahu latar belakang saya, tapi tidak dengan saya,” jawab Garvin dengan nada sedih yang dibuat-buat.

Kirene nampak menimang-nimang, haruskah dia memberitahukan satu rahasianya? Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Garvin. Ditariknya pelan tengkuk pemuda itu kemudian berbisik tepat ditelinganya. “Satu rahasia saya… saya bukan manusia.”

Garvin berusaha menahan terkejutannya dan bertingkah seolah fakta baru tadi adalah hal biasa. “Kalau begitu, kamu ini sebenarnya apa?” tanyanya ikut berbisik.

Kirene menarik diri kemudian tersenyum simpul. “Kenapa kamu tidak menggunakan jabatanmu untuk mencari tahu itu?” Gadis itu berjalan masuk ke dalam rumahnya, dia berbalik dan menatap Garvin sesaat. “Saya rasa anda tidak akan datang ke sini lagi esok hari. Sampai jumpa.” Dia membungkuk lalu menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Garvin yang ditinggalkan begitu saja mendadak mengeraskan rahangnya, dia merasa tertantang untuk mencari tau siapa Kirene. Akhirnya siang hari itu dia habiskan berjam-jam di ruang arsip, mencari data-data tentang penduduk kota yang bukan manusia.

Pencariannya berakhir dengan sebuah buku tua yang tebal tentang makhluk mitologi di pulai Ankergia. Dengan terpaksa dia kembali menghabiskan malam harinya dengan membaca buku itu. Pada saat yang bersamaan, malam itu dia kedatangan tamu dan harus meninggalkan buku itu yang terjatuh di lantai karena tersenggol saat dia handak berjalan membuka pintu utama kediamannya.

Sekembalinya, dia mengambil buku itu yang terbuka tepat di halaman 281. “Hydreca,” gumamnya membaca judul di halaman tersebut. Dia berjalan menuju sofa dan kembali melanjutkan acara membaca bukunya itu.

“Hydreca atau lebih dikenal sebagai hydre adalah salah satu makhluk mitologi yang berasal dari pulau Ankergia. Merupakan makhluk dengan kemampuan mengendalikan air dan angin. Ada satu keluarga Hydreca yang tinggal di bagian utara pulau Ankergia, yaitu keluarga Itzel.” Garvin membulatkan matanya, Kirene merupakan seorang Hydreca.

“Dikatakan bahwa manusia dan Hydreca tidak akan bisa bersatu karena itu akan menyebabkan dunia tidak seimbang dan berdampak buruk bagi manusia.”


Pagi hari ini Kirene dikejutkan dengan suara ketukan di pintu rumahnya. Dugaannya kemarin salah, pemuda itu tetap datang hari ini. Kali ini dengan segenggam bunga mawar di tangannya. “Selamat pagi, Nona cantik.” Garvin mengulurkan bunga itu pada Kirene. “Bunga yang cantik untuk Nona cantik seperti anda.”

Kirene mengambil alih bunga itu kemudian menatap datar Garvin. “Kamu sudah menemukan jawabannya?”

Garvin mengangguk. “Sudah. Kamu adalah Hydreca, benar bukan?” Gadis itu mengangguk membenarkan ucapan Garvin. “Kalau kamu sudah tahu itu, sekarang pergilah.” Dia hendak menutup pintu, tapi pemuda itu langsung menahannya.

“Tidak bisakah kita mencoba?” minta Garvin penuh harap. Dia yakin bukan hanya dia yang jatuh dalam perasaan ini.

“Tidak,” ucap Kirene cepat. “Kamu tidak bisa mengorbankan orang lain hanya karena kita, Garvin.”

Pemuda itu menarik tangan Kirene dan meletakannya di dada kirinya. Dapat gadis itu rasakan detak jantung milik pemuda itu yang berdetak dengan sangat cepat. “Apa ini juga tidak bisa membuatmu berubah pikiran?”

“Garvin….”

“Tidak bisakah kita egois kali ini saja? Saya mencintaimu.” Pemuda itu menarik tubuh kecil gadis pujaan hatinya ke dalam pelukannya. Dapat dia rasakan gadis itu membalas pelukannya dan mengangguk pelan, menyetujui ucapan pemuda itu.

“Saya juga mencintaimu, Garvin.”


Dua minggu kemudian cuaca di kota mulai berubah. Hujan yang turun setiap hari dan badai yang merusak beberapa fasilitas kota. Kirene yang sadar akan itu meminta Garvin datang ke rumahnya, mereka harus bicara.

“Dunia mulai tidak seimbang, Garvin, kita tidak bisa melanjutkan ini,” ucap gadis itu putus asa.

“Biarkan aku mencoba, Kirene. Kita semua akan baik-baik saja.” Garvin berusaha menenangkan sang kekasih hati walau dia juga tengah kalut saat ini. “Kita tidak akan baik-baik saja, Garvin,” ucap Kirene penuh penekanan di setiap katanya. “Sudah cukup kita egois, sekarang semua harus kembali seperti awal.”

Garvin menagkup wajah gadis kesayangannya itu. “Kirene, dengarkan saya. Kita akan baik-baik saja, percayakan itu pada saya.”

Kirene terlihat tidak mau membalas ucapan Garvin, dia hanya sibuk menatap wajah tampan itu untuk terakhir kalinya, mungkin.

“Sekarang saya harus pergi, jaga dirimu baik-baik, saya akan datang lagi nanti sore.” Garvin mencium kening Kirene lembut sebelum berjalan keluar dari rumah itu dan kembali ke pusat kota.

Hari itu badai kembali datang, kali ini beserta petir yang menyeramkan. Garvin harus menunda janjinya pada Kirene hingga selesai mengevakuasi para warga ke tempat yang lebih aman.

Tepat saat matahari terbenam, seluruh warga sudah dievakuasi, tapi badai sampai saat ini belum juga selesai. Pikirannya langsung tertuju pada sang kekasih hati, apakah dia baik-baik saja selama badai ini berlangsung? Tanpa pikir panjang dia langsung bergegas pergi menuju kediaman gadis itu. Selama perjalanan segala doa dia rapalkan untuk sang terkasih agar selalu baik-baik saja.

Tapi nyatanya doanya kali ini tidak didengar tuhan. Bukan sambutan hangat yang dia dapatkan saat sampai di halaman rumah gadis itu, tapi hanyalah puing-puing bangunan yang berserakan di tanah.

Seorang pria bertubuh besar dengan jubah hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya termasuk wajahnya itu mendekat ke arah Garvin. “Apa kamu ingin tau ke mana gadis itu pergi? Gadis itu kini ada di atas sana, menjadi awan dan turun membasahi kota ini. Aku sudah memperingatimu di buku itu tantang dampak kisah cinta kalian.”

Tubuh Garvin jatuh ke tanah, kakinya mendadak lemas. Kirene, gadis itu pergi meninggalkannya. Tangannya terulur ke depan berusaha menangkap setiap air hujan yang jatuh, air itu adalah gadisnya, gadis yang sangat dia cintai. “Atas nama Dewa dan Dewi, aku mengutukmu agar tidak bisa meninggalkan dunia ini dan akan terus merasakan penyesalanmu selama kamu hidup di dunia,” ucap pria itu lantang lalu menghilang begitu saja.

Garvin menangis, entah menangisi kesedihannya karena kehilangan Kirene atau kesedihannya kare dikutuk memiliki kehidupan abadi. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menyesal dan menangis. “Kirene, mencintaimu sama seperti air, sejuk dan menenangkan, tapi juga berbahaya. Kirene, jika mencintaimu malah membuat saya kehilanganmu, saya akan memilih untuk menyimpan perasaan saya sendiri, menyimpannya jauh di dalam sana hingga tidak ada satupun yang mengetahuinya.”

Setelahnya air danau yang berada di sampingnya mulai meluap dan membanjiri tanah. Dan dengan cepat air yang entah datang dari mana saja itu menenggelamkan bagian utara pulau Ankergia atau lebih tepatnya kota di mana suku Asrey tinggal. Malam itu adalah hari terakhir bagian utara pulau Ankergia terlihat sebelum tenggelam seutuhnya.

Tidak ada satupun warga yang selamat hanya ada Garvin yang sekarat, sesuai dengan kutukan yang pria bertubuh besar itu ucapkan, Garvin tidak akan meninggalkan dunia ini bagaimanapun caranya.

![] (https://i.imgur.com/719kXtj.jpg)

Dafka dan Gista saling pandang saat melihat Geya yang terus mengecek ponselnya, seolah menunggu pesan dari seseorang.

“Lo ngapain bolak-balik buka hp sih?” tanya Gista penasaran karena biasanya Geya tidak bertingkah aneh seperti ini.

Geya mematikan ponselnya lalu meletakannya di meja kantin. “Ngecek jam.”

Dafka menunjuk jam dinding yang sengaja di tempel di dinding dekat mereka bertiga duduk. “Itu ada jam, ngapain lihat di hp.”

Dafka dan Gista tertawa pelan saat Geya diam, gadis itu terlihat kebingungan harus menjawab seperti apa. “Nanti dia datang, tunggu aja,” ujar Gista lembut.

Dafka mengambil tasnya lalu menyenggol lengan Gista. “Ayo, balik, lo mau nugas di perpustakaan kan, gua ikut ya.”

“Lah, iya gua mau nugas.” Gista mengambil tasnya dan bangkit. “Lo di sini sendiri gak papa, Ya?”

Geya mengangguk mantap. Dia sudah besar, tidak masalah ditinggal sendiri di kantin seperti ini. “Gak papa, pergi aja gih, tugas lo jangan sampai telat dikumpulin.”

“Maaf ya, Ya. Gua sama Dafka duluan, ya.” Gista melambaikan tangannya lalu segera berjalan keluar kantin bersama Dafka.

Geya menghela napas pelan saat melihat kedua punggung sahabatnya itu perlahan menghilang.

Jujur hari ini dia merasa agak kesal karena Auriga yang tiba-tiba menghilang dan dia yang terpaksa ditinggal Dafka dan Gista ke perpustakaan.

Tiba-tiba ada sebuket bunga yang diletakan di mejanya. Bunga itu benar-benar indah.

Beautiful flowers for beautiful girl.” Suara berat milik seorang pemuda yang dia kenali sebagai mantan kekasihnya selama satu minggu itu berhasil membuat gadis itu mengangkat wajahnya agar bisa menatap si pemilik suara.

Auriga tersenyum manis lalu duduk di sebelah Geya. “Gua memohon maaf sebesar-besarnya karena buat lo nunggu. Tadi bunga ini telat datang ke toko, jadi, gua tungguin sebentar, eh, malah gua yang telat ketemu lo,” jelas pemuda itu tanpa diminta. “Jadi, gua dimaafin nggak, ya?”

“Terus kenapa pesan gua gak dibales?” tanya Geya dengan nada kesal. Sepertinya dia benar-benar kesal karena Auriga yang tiba-tiba menghilang tadi.

Pemuda itu tertawa canggung. “Takut dimarahin lo.” Auriga memasang wajah sok imut agar Geya merasa iba. “Jangan marah, ya, Eya.”

Geya menghela napas pasrah kemudian mengangguk. Dia tersenyum manis sampai pemuda yang melihatnya itu ikut tersenyum. “Iya, nggak marah, udah jangan sok imut gitu.”

Auriga menatap lamat wajah gadis itu lalu menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangannya. “Lo manis banget, gua nggak kuat.”

Geya tertawa gemas karena tingkah Auriga. “Lo gemes banget sih.” Setelahnya mengusap pelan rambut tebal pemuda tampan yang tengah mengisi hatinya saat ini. “Jadi suka deh.”

“Ini pempek lo.” Bang Atma meletakan kantung plastik berisi makanan khas kota Palembang itu di meja makan. Dia berjalan memutari meja dan duduk tepat di hadapan sang adik.

“Ngapain lo ketemu Auriga?”

Bang Atma tersenyum aneh kemudian memasang wajah pura pura berpikir. “Hm, gua ngapain, ya, ketemu dia.”

“Yang bener, Bang Atma!” Gadis itu mulai kesal. “Ganti pertanyaan, lo ngomong apa sama Auriga?”

Bang Atma tersenyum miring. “Gua ngomong kalau dia gak boleh deket deket sama lo.” Pemuda itu tersenyum menang ketika melihat Geya mengepalkan tangannya.

“Mulai sekarang lo berangkat bareng gua atau Dafka. Gak ada lagi berangkat sendiri naik ojol dengan alasan membantu perekonomian orang lain.”

“Gak bisa gitu dong!” pekik gadis itu tidak setuju. Dia memejamkan matanya seraya menarik napas perlahan, Auriga melarangnya bertengkar dengan Bang Atma. “Gua lagi gak mau berantem sama lo, Bang. Jadi, jangan pancing emosi gua.”

Bang Atma menaikan sebelah alisnya. “Kenapa emosi? Bukannya lo gak suka si Auriga? Bagus dong, gua bantu lo jauh-jauh dari dia.” Pemuda itu tersenyum karena Geya kembali diam, dia bangkit dan hendak berjalan menuju kamarnya.

“Gua nggak.”

Pemuda yang lebih tua itu berhenti berjalan dan berbalik menatap adiknya. “Lo ngomong apa barusan?”

“Gua nggak bilang nggak suka Auriga,” ucap Geya penuh penekanan. “Dan lo udah kelewatan karena ikut campur masalah percintaan gua, Bang.”

Geya ikut bangkit dari duduknya dan mengambil semua barang-barangnya, setelah itu berjalan menuju kamarnya. Tapi sebelum masuk ke dalam kamar, dia berbalik dan menatap serius sang kakak. “Satu lagi, gua mulai suka Auriga. Kalau lo menghargai gua sebagai adik lo, gua harap lo gak ikut campur lagi.”

Perempuan yang lebih tua tiga tahun itu meletakan teko berisi air dingin dan gelas di meja ruang tamu. “Teman-temanya Abi, ya?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Iya, Mbak, kita juga teman sekelasnya di sekolah.” Galih mengangguk seraya tersenyum, wajah kakak Abi benar-benar mirip seperti Abi.

“Panggil Mbak Aya aja.” Perempuan itu tersenyum lalu duduk di sofa kosong yang berada di sana. Dia melirik ke arah dapur di mana Abi tengah mencuci beberapa piring yang kotor. Setelah memastikan Abi tidak akan datang mendekat, Mbak Aya mulai berbicara. “Kalian beneran temannya Abi?”

Sahya mengerutkan keningnya, merasa bingung karena pertanyaan dari Mbak Aya terdengar seperti meragukan kalau mereka teman Abi. “Maaf, tapi kenapa Mbak nanya kayak gitu ya?”

Mbak Aya menggeleng kemudian tersenyum senang. “Saya pikir Abi bohong tentang dia yang punya teman di sekolah, ternyata nggak.”

Batara dan Khalil saling tatap, mereka menyadari apa yang terjadi sekarang.

“Kalau boleh tanya lagi.” Mbak Aya berucap menggantung. “Abi di sekolah baik baik aja kan?”

Kelima pemuda itu saling tatap, bingung merespon seperti apa. Akhirnya Hussain bersuara, mewakilkan yang lainnya. “Maksudnya gimana, Mbak?”

Raut wajah Mbak Aya berubah drastis. Wajah yang sebelumnya terlihat senang mendadak jadi murung. “Beberapa kali saya temuin Abi pulang dalam keadaan babak belur. Dia... gak di-bully kan?”

Sahya menelan ludahnya kasar. Dia harus menjawab seperti apa jika sudah begini. Haruskah dia mengatakan kalau Abi dipukul Angga beberapa hari lalu di rooftop? Atau haruskah dia mengatakan kalau Abi di cap sebagai anak miskin belagu oleh warga sekolah?

Hussain menarik napas dalam. “Abi gak di-bully kok, Mbak. Abi anak baik.”

Sepasang kakak beradik itu berjalan beriringan menghampiri seorang pemuda yang tengah duduk santai di lapangan kampus. Bang Atma yang melihat Auriga tengah menatap mereka berdua langsung menggandeng tangan Geya dan berpura-pura seolah mereka benar-benar pacaran.

“Akting dulu bentar,” bisik Bang Atma sambil tersenyum jahil saat melihat wajah kesal Auriga.

“Oh, lo pacar barunya Geya.” Auriga menatap tak suka Bang Atma. Sorot mata pemuda itu menajam dan penuh rasa ketidak sukaan. “Nyali lo gede juga, ya.”

Bang Atma tersenyum miring lalu mendekati Auriga. Dia menatap remeh pemuda yang seumuran dengan adiknya itu. “Oh, jelas nyali gua gede. Omong-omong nyali lo gede juga, ya, sampai bisa macarin Geya. Gak takut dilabrak sama Abangnya?”

“Halah, Abangnya doang mah gampang,” ujar Auriga meremehkan. “Gua sentil dikit aja pasti udah nangis-nangis minta maaf.”

“Oh, ya?” Bang Atma menatap Geya sekilas lalu kembali tersenyum miring. Dia membuka jaketnya dan menyisakan kaus tanpa lengan berwarna putih. “Mau coba satu lawan satu nggak?”

Pemuda yang lebih muda itu meneguk ludahnya gugup, otot bisep Bang Atma terlalu menyeramkan, sekali dia dipukul pasti langsung masuk rumah sakit.

“Kenapa diam aja?” Bang Atma menaik turunkan alisnya menggoda Auriga yang terlihat sedikit takut. Pemuda yang lebih tua tiga tahun itu maju selangkah mendekat ke arah pemuda itu. “Btw gua abangnya Geya, jadi nyentil gua nggak?”

Auriga rasa jantungnya jatuh ke perut, kakinya mendadak lemas, di depannya berdiri kakak dari sang mantan kekasih. Kalau waktu bisa diulang pasti dia tidak akan berbicara aneh-aneh terhadap Bang Atma.

Dia melirik Geya yang berdiri tidak jauh darinya dan Bang Atma, meminta bantuan. “Maaf, Bang, tadi cuman bercanda,” cicitnya lalu berlari ke arah Geya dan bersembunyi di balik tubuh gadis itu. “Tolongin gua, Eya. Gua kaga tau dia Abang lo. Gua gak mau dipukulin Abang lo, yang ada gua jadi remahan rengginang nanti.”

Geya tertawa pelan mendengar ucapan Auriga yang terdengar benar-benar ketakutan. “Gua bantuin doa aja, ya.”

“Woi, Auriga! Sini dong.” Bang Atma menarik Auriga dari balik punggung Geya. Dia menatap tajam pemuda itu sambil merangkul bahunya. “Jangan deket-deket adik gua dong, lo mau gua sentil?”

Pemuda tampan yang memakai hoodie hitam itu mengetuk pelan pintu kamar sosok terkasihnya, dapat dia dengar isakan pelan yang berasal dari gadis itu. Suara isakan itu cukup membuat hatinya terasa nyeri, gadisnya menangis karenanya, dia pacar yang buruk. “Noura, boleh keluar kamar? Gua di sini, kangen kan?”

Sesaat setelahnya isakan gadis itu tidak terdengar lagi, berganti dengan suara rusuh dari dalam sana. “Lo ngapain ke sini? Pulang aja, capek kan habis rapat,” ucapnya dengan suara serak khas orang yang baru saja menangis.

Jeno menghela napas tertahan mendengar suara Noura, separah itu kah kesalahannya sampai membuat gadis itu menangis hingga suaranya serak seperti itu. “Karena gua capek makanya ke sini, mau ketemu lo,” ucapannya terjeda. “Lo mau ketemu gua nggak?”

Diam. Gadis itu tidak menjawab apapun, bahkan tidak ada suara dari dalam kamar itu, sedangkan Jeno ikut diam menunggu gadis itu bersuara, tapi nyatanya gadis itu tetap diam dan tak bersuara sama sekali. “Gak mau, ya? Kalau gitu gua pamit pulang, ya. Nanti kalau gua udah pulang, lo turun ke bawah, ada roti bakar di meja makan. Lo bilang lo suka roti bakar buatan gua kan, udah gua buat tadi, jangan lupa dimakan, ya.”

Pemuda tinggi itu menghela napas berat, gadis itu tidak merespon sama sekali. Dia berbalik hendak berjalan turun, tapi baru satu langkah, pintu kamar itu terbuka dan dengan cepat si penghuni kamar memeluk tubuh tegap si pemuda dari belakang. Dapat pemuda itu dengar sang kekasih kembali terisak pelan. “Noura.”

“Jangan balik badan!” larang gadis itu cepat karena Jeno yang berusaha memutar tubuhnya agar menghadap Noura.

“Kenapa?”

“Malu,” cicit gadis itu pelan. Dia berani bersumpah pasti sekarang wajahnya merah dan ingus yang mengalir dari hidung, benar-benar menjijikan.

Jeno terkekeh gemas kemudian memutar tubuhnya, mengabaikan larangan gadis itu tadi. Dia merengkuh tubuh itu erat dan menyembunyikan wajah cantik si gadis dalam dekapannya. “Lo malu?” tanyanya yang dibalas anggukan Noura. “Lo ikutin langkah gua, gua anterin ke kamar mandi.”

Senyum manis terbit di bibir gadis itu seraya mengikuti langkah Jeno menuju kamar mandi yang ada di lantai dua rumah itu. “Kenapa harus lo anterin? Kan gua bisa pergi sendiri, lo tinggal tutup mata aja,” tanya Noura bingung karena Jeno mempersulit acara ke kamar mandinya.

Jeno mendekatkan bibirnya ke telinga gadis pemenang hatinya itu. “Karena gua masih mau meluk lo, jarang-jarang bisa peluk lo kayak gini soalnya.” Dia tersenyum lebar karena menyadari telinga gadis itu yang memerah.

Setelah sampai di depan kamar mandi dan menyalakan lampunya, Jeno melepas pelukannya dan berjalan menjauh dari kamar mandi, membiarkan gadis itu mencuci wajahnya sampai dia tidak merasa malu lagi dengan penampilannya. “Kalau udah selesai bilang, ya.”

Lima menit kemudian gadis itu keluar dari kamar mandi dan menepuk pelan bahu si pemuda. “Udah.”

Jeno menoleh lalu mengangguk, dia menautkan jarinya dengan jari milik Noura. “Tangan lo enak digenggam, besok-besok gua genggam lagi ya,” ucapnya santai lalu menarik gadis itu agar turun ke ruang tamu.

Pemuda itu meminta Noura untuk duduk di ruang keluarga sementara ia pergi ke dapur untuk mengambil roti bakar milik gadis itu. “Dimakan roti bakarnya, spesial buat lo karena bisa menangin hati gua.”

“Apa banget dih,” ujar gadis itu tergagap karena salah tingkah. Dia bahkan mengalihkan pandangannya dari Jeno karena dia yakin wajahnya pasti memerah.

Jeno tersenyum lebar melihat respon malu-malu gadis itu. “Gua izin buka hoodie, ya.” Dia bangkit lalu membuka hoodie yang dikenakannya dan menyisakan kaus putih polos yang melekat pada tubuh atletisnya.

Noura yang melihat sang kekasih hanya mengenakan kaus putih polos mendadak gelagapan. “Lo pakai lagi aja deh hoodie-nya, gak gua izinin lepas hoodie.”

“Kenapa?” Sebelah alis pemuda itu terangkat bingung.

“Lo ganteng banget, gua bisa mimisan kayaknya,” ucap gadis itu polos membuat Jeno tertawa gemas lalu menarik pelan hidung si cantik.

“Ganteng banget emangnya?” tanya pemuda itu menggoda. “Nanti gua sering-sering pakai kaus kayak gini pas bareng lo deh.”

Noura membulatkan matanya kemudian menyilangkan tangannya membentuk tanda silang. “Nggak, gak usah kayak gitu. Gua gak mau mati muda, ya.”

“Ya udah nggak, sekarang habisin dulu roti bakarnya.” Dia menunjuk roti bakar milik Noura yang masih tersisa satu suap.

“Kenapa buru-buru banget? Lo mau pulang?” tanya gadis itu beruntun.

Jeno menggeleng. Dia beralih menatap netra cokelat gadis itu. “Gua belum mau pulang. Ada yang mau gua lakuin pas lo udah selesai makan, jadi, jangan coba-coba dilama-lamain makannya.”

Noura tertawa karena ucapan Jeno yang seolah tau jika dia akan memperlambat acara makan roti bakarnya. “Emang lo mau ngapain?” tanyanya kemudian memasukan suapan terakhir roti bakar ke dalam mulutnya.

Jeno tersenyum penuh makna. “Rahasia.” Dia memberikan gelas berisi air pada gadis itu ketika selesai makan. “Udah selesai kan?”

Gadis itu mengangguk seraya menelan air yang berada di mulutnya. “Jadi, apa yang mau lo lakuin?”

Bukannya menjawab Jeno malah mengubah posisi duduk gadis itu menjadi menghadapnya. “Nah, gini baru pas,” ucapnya puas. “Lo tadi nanya kan gua mau ngapain, sekarang siap gak?”

Gadis itu mengangguk kikuk, bingung dengan apa yang akan pemuda itu lakukan, tapi di lain sisi dia juga penasaran.

Jeno mengambil tangan gadis itu lalu menggenggam tangan itu lembut. “Selamat malam, Noura. Gimana harinya? Ada kabar baik apa hari ini? Ada masalah gak?”

Noura mengerjapkan matanya terkejut dengan tingkah Jeno. Apa benar ini Jenonya?

Pemuda itu tersenyum simpul melihat ekspresi bingung dan kaget yang begitu ketara di wajah Noura. “Tadi pelajaran di sekolah ada yang susah nggak? Tadi katanya ada ulangan kimia, ya? Bisa ngerjainnya nggak?”

Kening gadis itu berkerut bingung. “Jeno….”

Pemuda itu tidak membalas ucapan Noura, dia malah mengusap tangan kecil gadis itu sebagai respon.

“Lo kenapa tiba-tiba kayak gini? Gua… bingung….” Gadis itu berujar pelan. Dia tidak mengerti kenapa sifat Jeno bisa seberubah ini.

Samar pemuda itu tersenyum kecut, dia terlalu dingin pada sang kekasih hingga saat dia memperlakukannya seperti ini gadis itu malah kebingungan. “Gua terlalu cuek, ya, sampai lo ngerasa ini bukan gua? Maaf, ya, karena jadi terlalu cuek padahal lo pacar gua.”

Noura diam, otaknya sibuk mencerna apa yang terjadi sekarang, Semua inderanya bekerja berusaha memahami keadaan yang terjadi sekarang.

Jeno menarik napas tertahan setelah itu memeluk tubuh mungil sang kekasih dengan lembut seolah dapat menghancurkannya jika tidak berhati-hati. Dia meletakan kepalanya di pundak sang kekasih. “Maaf, Noura. Maaf karena jadi terlalu cuek, maaf karena ngalihin pembicaraan kita sore tadi, maaf karena gak ngabarin lo, maaf karena udah buat mata yang selalu gua tatap malam nangis, maaf buat lo harus nahan rindu, maaf untuk semuanya, Noura.”

“Jeano…”

“Maaf, Noura. Gua sayang banget sama lo, tapi gua bingung gimana cara nunjukin itu ke lo. Kalau lo pikir gua gak kangen lo, itu salah besar, gua selalu kangen lo setiap tarikan napas gua. Gua benar benar sayang lo, Noura. Selalu.”

Geya berjalan dengan hati-hati sambil membawa dua mangkuk mie instan yang masih panas yang baru saja dia masak. Dia meletakan mangkuk itu di meja di ruang keluarga.

“Widih enak bener nih.” Bang Atma menggosok kedua tangannya lalu mengambil salah satu mangkuk mie instan itu. “Makasih bestie.”

“Gua bukan bestie lo,” sinis Geya lalu duduk di samping Bang Atma. “Lo gak mau cerita ke gua, Bang?”

Atma menatap Geya sejenak lalu menghabiskan makanan di dalam mulutnya. “Bukan harusnya gua yang suruh lo cerita, ya? Auriga siapa?”

“Lo kenal dari mana Auriga?”

Atma menunjuk ponsel Geya yang terletak di atas meja dengan matanya. “Barusan dia chat lo, terus gua lihat aja dari notifikasi. Dia pacar lo?”

Geya menggeleng singkat. “Udah putus.”

“Dia gamon kayaknya,” celetuk Atma santai.

“Emang.” Geya meletakan mangkuknya di meja. “Sekarang jangan alihin pembicaraan. Lo kenapa tiba-tiba pulang?”

Bang Atma mendengus kesal mendengar pertanyaan dari si paling muda. “Emang kenapa sih kalau gua pulang ke rumah sendiri? Lo gak suka ketemu Abang lo yang paling ganteng ini?”

Gadis cantik itu bergidik. “Geli banget gua dengernya. Tumben inget rumah, gua pikir lo sejenis sama papa, betah di negara orang, lupa sama rumah sendiri.”

Atma memilih diam dan tidak membalas ucapan sang adik. Dia lebih dari paham dengan ucapan sarkas gadis cantik itu.

Gadis cantik bersurai panjang itu berjalan menyusuri koridor kampus, dia berniat untuk pulang sekarang karena urusannya di kampus sudah selesai untuk hari ini. Langkahnya terpaksa terhenti karena segerombolan gadis yang sepertinya adik tingkatnya itu mengerubunginya.

“Kak Geya, ini buat Kakak.” Satu dari tujuh gadis itu menyodorkan boneka beruang berukuran kecil pada Geya.

Geya mengambil boneka itu dengan raut bingung yang begitu ketara di wajahnya. “Makasih, ya. Tapi ini buat apa, ya?”

Bukannya menjawab enam gadis lainnya ikut menyerahkan barang yang mereka bawa pada Geya, setangkai bunga mawar merah dan cokelat. Gadis pertama tadi mengeluarkan sebuah surat dari sakunya dan memberikannya pada Geya. “Tolong dibaca ya, Kak. Kalau gitu kita permisi dulu.”

Geya menatap aneh segerumbulan adik tingkatnya yang langsung kabur begitu saja. “Aneh banget,” gumamnya. Dia membuka surat yang tadi diberikan padanya. Isinya hanya beberapa kalimat, cukup to the point.

Sedangkan itu di sisi lain seseorang menatap Geya dengan senyum lebar di wajahnya. Ia tertawa gemas ketika melihat wajah kebingungan gadis cantik itu. Setelah puas menatap gadisnya dari jauh akhirnya dia memberanikan diri mendekati gadis itu. “Gimana? Mau nggak?”

Geya menatap malas Auriga yang tersenyum sambil menaik turunkan alisnya jahil. “Balikan sama lo? Lain kali aja.”

“Widih ngapain lo di sini.” Dafka memarkirkan motornya di halaman rumah Geya. Dia menyerahkan bungkusan kantung pelastik pada Gista dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah menemui Geya.

“Cewek gua mana?” tanya Auriga cepat. Sesekali mengintip ke dalam rumah lewat pintu yang terbuka.

Dafka turun dari motor dan berdiri di depan pintu, berusaha menghalangi Auriga. “Mantan kali, lo berdua kan udah putus,” ucapnya sambil tertawa. “Dia ada di dalem, lagi nonton tv kali.”

Auriga menggeser tubuh Dafka dan hendak masuk ke dalam rumah ketika dia melihat gadis itu sepintas. Tapi Dafka justru menahan Auriga agar tidak masuk ke dalam rumah. “Mau ke mana lo? Gak ada masuk masuk, pulang sana.”

“Gua mau ketemu—”

“Geya gak mau ketemu,” cela Dafka. Dia mendorong pelan tubuh Auriga agar pergi dar rumah sang sahabat. “Udah sana pulang aja, dia gak mau ketemu lo. Berjuang yang bener biar dia mau sama lo.”

Auriga terlihat enggan meninggalkan rumah itu, dia mau bertemu dengan gadis itu sekali saja. “Tapi gua mau ketemu dia sekali aja.”

Dafka menepuk bahu pemuda itu pelan. “Dengerin kata gua, mending sekarang pulang. Lo mau nyoba gimana pun juga dia gak mau ketemu lo. Pulang aja.”