Pemuda yang berjabat sebagai ketua suku itu berjalan santai menyusuri jalan kota. Sudah menjadi kebiasaannya berkeliling melihat keadaan para penduduk di sore hari seperti ini.
Acara berkeliling kota itu akhirnya selesai. Dia memutuskan untuk pergi ke sebuah danau tua yang berada di pinggi kota. Tidak ada banyak rumah di sana, hanya ada sekitar lima rumah dengan jarak yang berjauhan. Tapi ada satu rumah yang berada paling dekat dengan danau, rumah itu terlihat tua, tapi nyaman disaat bersamaan.
Sebagai ketua suku yang baik dia menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya, sekedar menyapa si pemilik rumah tidak masalah bukan. Tiga kali dia mengetuk pintu kayu itu, tapi tidak ada sahutan dari dalam sana. Mungkin memang sedang tidak ada orang.
“Mencari siapa?” Suara lembut itu berhasil menyihirnya, membuat pemuda itu sontak memutar tubuh untuk menatap si pemilik suara. Seorang gadis dengan gaun berwarna biru muda tengah tersenyum manis padanya.
“Anda mencari siapa?” tanya gadis itu ulang karena pemuda yang berdiri di depan pintu itu tidak kunjung menjawab.
“Ah, itu… saya mencari pemilik rumah ini.” Pemuda itu tersenyum simpul. “Apa kamu pemilik rumah ini?”
Gadis berparas cantik itu mengangguk. “Apa yang membuat anda datang ke rumah saya di sore hari seperti ini?”
Pemuda itu mengulum bibirnya, mencari jawaban yang tepat. “Saya seorang ketua suku, saya hanya berkeliling untuk memeriksa keadaan kota.”
Gadis itu sontak membungkuk hormat pada sosok laki-laki itu. “Maafkan saya, saya tidak tahu jika anda ketua suku.”
Pemuda itu tersenyum manis, tidak mempermasalahkan itu walau jauh dilubuk hatinya penasaran bagaimana bisa gadis ini tidak mengetahui jika dia adalah ketua suku. “Tidak masalah, kamu juga tidak tahu hal itu, saya mewajarkannya.”
Gadis itu kembali menegakan tubuhnya dan mengangguk pelan. Dengan kikuk dia membuka pintu rumahnya. “Apa anda ingin berkunjung sebentar?”
Pemuda itu tertawa pelan mendengar suara gadis itu yang sedikit bergetar karena gugup. “Mungkin lain kali, ini sudah terlalu sore. Saya mungkin akan berkunjung kembali ke sini besok pagi.”
“Besok pagi?”
Pemuda itu mengangguk. “Iya, besok pagi. Apa kamu keberatan dengan hal itu, Nona?”
Wajah gadis itu bersemu merah, dengan malu-malu dia menggeleng. “Tidak, Tuan.”
Pemuda itu tersenyum puas. “Kalau begitu, saya pamit terlebih dahulu, sampai jumpa besok pagi.”
Pagi ini gadis bersurai cokelat itu sudah sibuk di dapur, entah membuat apa di pagi hari seperti ini. Yang jelas, dia sedang berusaha menyajikan makanan terbaiknya untuk sang ketua suku.
Sebuah sup yang selalu disajikan turun temurun di keluarganya lah yang akhirnya ia masak untuk ketua suku. Sederhana, tapi sup itu selalu disajikan setiap adanya peristiwa baik yang datang.
Pintu rumahnya diketuk beberapa kali, sepertinya ketua suku itu sudah datang. Dia berjalan cepat menuju pintu dan membukanya.
“Selamat pagi, Nona,” sapa pemuda itu dengan senyum manis di wajahnya.
Gadis itu membungkuk hormat. “Selamat pagi, Tuan. Silahkan masuk.” Dia mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam kediamannya dan memintanya untuk duduk di meja makan.
“Kamu tidak perlu menyiapkan sesuatu seperti ini.” Pemuda itu tertawa gemas karena gadis itu menyiapkan makanan untuknya. “Kita belum berkenalan, nama saya Garvin Ardolph, ketua suku.”
“Nama saya Kirene Itzel,” jawab Kirene gugup. Jujur saja, duduk di satu meja yang sama dengan ketua suku itu benar-benar menegangkan, walau sebenarnya Tuan Garvin tidak mengeluarkan aura intimidasinya sama sekali.
Garvin tersenyum gemas. “Jangan gugup seperti itu, Kirene.” Dia mengambil sendok lalu menyuapkannya ke dalam mulut. “Supnya enak, kamu pintar memasak, ya.”
Kirene tersenyum senang karena Tuan Garvin menyukai masakannya. “Syukurlah anda menyukainya.”
“Apa kamu tidak masalah jika saya datang setiap pagi untuk makan sup buatan kamu?” tanya Garvin setelah menghabiskan supnya.
Kening Kirene berkerut bingung, memangnya ketua suku punya waktu luang sebanyak itu. “Apa anda punya waktu sebanyak itu untuk datang ke sini setiap pagi?”
“Tentu.” Garvin menyeka bibirnya dengan sapu tangan. “Saya selalu punya waktu untuk kamu dan sup buatanmu.”
Sejak hari itu Garvin selalu menyempatkan datang ke rumah Kirene, entah itu untuk makan sup atau berbincang hal-hal acak dengan gadis itu. Hari demi hari yang mereka lewati bersama cukup membuat benih benih perasaan di antara mereka tumbuh.
Sampai suatu hari Garvin menemukan Kirene di belakang rumahnya tengah membaca suatu buku tebal yang nampak tua. “Kalau boleh saya tahu, buku apa itu?” tanyanya menginterupsi kegiatan Kirene.
Gadis itu sontak menutup bukunya dan menyembunyikannya di balik tubuh. “Ini bukan buku apa-apa, tidak begitu penting.”
Pemuda tampan itu mengernyit bingung dengan respon Kirene yang terkesan panik. “Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari saya?”
Kirene bertambah panik, keringat sebesar biji jagung turun dari keningnya. Dia berusaha menarik napas perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum kembali berbicara. “Ada banyak yang saya rahasiakan dari anda, dan anda memang tidak perlu tahu itu.”
“Benarkah?” Garvin merasa tertarik dengan rahasia Kirene karena sedari awal mereka berkenalan, dia tidak pernah mengetahui latar belakang keluarga gadis itu. Bahkan dia sampai membuka data penduduk suku Asrey, tapi tidak ada satupun nama Kirene atau keluarganya. “Bisakah saya tahu satu rahasia anda?”
“Kenapa anda ingin tahu itu?” tanya balik gadis itu.
“Jujur saja, sejak awal kita berkenalan saya tidak tahu latar belakangmu. Bukankah ini tidak adil? Kamu tahu latar belakang saya, tapi tidak dengan saya,” jawab Garvin dengan nada sedih yang dibuat-buat.
Kirene nampak menimang-nimang, haruskah dia memberitahukan satu rahasianya? Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Garvin. Ditariknya pelan tengkuk pemuda itu kemudian berbisik tepat ditelinganya. “Satu rahasia saya… saya bukan manusia.”
Garvin berusaha menahan terkejutannya dan bertingkah seolah fakta baru tadi adalah hal biasa. “Kalau begitu, kamu ini sebenarnya apa?” tanyanya ikut berbisik.
Kirene menarik diri kemudian tersenyum simpul. “Kenapa kamu tidak menggunakan jabatanmu untuk mencari tahu itu?” Gadis itu berjalan masuk ke dalam rumahnya, dia berbalik dan menatap Garvin sesaat. “Saya rasa anda tidak akan datang ke sini lagi esok hari. Sampai jumpa.” Dia membungkuk lalu menutup pintu rumahnya rapat-rapat.
Garvin yang ditinggalkan begitu saja mendadak mengeraskan rahangnya, dia merasa tertantang untuk mencari tau siapa Kirene. Akhirnya siang hari itu dia habiskan berjam-jam di ruang arsip, mencari data-data tentang penduduk kota yang bukan manusia.
Pencariannya berakhir dengan sebuah buku tua yang tebal tentang makhluk mitologi di pulai Ankergia. Dengan terpaksa dia kembali menghabiskan malam harinya dengan membaca buku itu. Pada saat yang bersamaan, malam itu dia kedatangan tamu dan harus meninggalkan buku itu yang terjatuh di lantai karena tersenggol saat dia handak berjalan membuka pintu utama kediamannya.
Sekembalinya, dia mengambil buku itu yang terbuka tepat di halaman 281. “Hydreca,” gumamnya membaca judul di halaman tersebut. Dia berjalan menuju sofa dan kembali melanjutkan acara membaca bukunya itu.
“Hydreca atau lebih dikenal sebagai hydre adalah salah satu makhluk mitologi yang berasal dari pulau Ankergia. Merupakan makhluk dengan kemampuan mengendalikan air dan angin. Ada satu keluarga Hydreca yang tinggal di bagian utara pulau Ankergia, yaitu keluarga Itzel.” Garvin membulatkan matanya, Kirene merupakan seorang Hydreca.
“Dikatakan bahwa manusia dan Hydreca tidak akan bisa bersatu karena itu akan menyebabkan dunia tidak seimbang dan berdampak buruk bagi manusia.”
Pagi hari ini Kirene dikejutkan dengan suara ketukan di pintu rumahnya. Dugaannya kemarin salah, pemuda itu tetap datang hari ini. Kali ini dengan segenggam bunga mawar di tangannya. “Selamat pagi, Nona cantik.” Garvin mengulurkan bunga itu pada Kirene. “Bunga yang cantik untuk Nona cantik seperti anda.”
Kirene mengambil alih bunga itu kemudian menatap datar Garvin. “Kamu sudah menemukan jawabannya?”
Garvin mengangguk. “Sudah. Kamu adalah Hydreca, benar bukan?”
Gadis itu mengangguk membenarkan ucapan Garvin. “Kalau kamu sudah tahu itu, sekarang pergilah.” Dia hendak menutup pintu, tapi pemuda itu langsung menahannya.
“Tidak bisakah kita mencoba?” minta Garvin penuh harap. Dia yakin bukan hanya dia yang jatuh dalam perasaan ini.
“Tidak,” ucap Kirene cepat. “Kamu tidak bisa mengorbankan orang lain hanya karena kita, Garvin.”
Pemuda itu menarik tangan Kirene dan meletakannya di dada kirinya. Dapat gadis itu rasakan detak jantung milik pemuda itu yang berdetak dengan sangat cepat. “Apa ini juga tidak bisa membuatmu berubah pikiran?”
“Garvin….”
“Tidak bisakah kita egois kali ini saja? Saya mencintaimu.” Pemuda itu menarik tubuh kecil gadis pujaan hatinya ke dalam pelukannya. Dapat dia rasakan gadis itu membalas pelukannya dan mengangguk pelan, menyetujui ucapan pemuda itu.
“Saya juga mencintaimu, Garvin.”
Dua minggu kemudian cuaca di kota mulai berubah. Hujan yang turun setiap hari dan badai yang merusak beberapa fasilitas kota. Kirene yang sadar akan itu meminta Garvin datang ke rumahnya, mereka harus bicara.
“Dunia mulai tidak seimbang, Garvin, kita tidak bisa melanjutkan ini,” ucap gadis itu putus asa.
“Biarkan aku mencoba, Kirene. Kita semua akan baik-baik saja.” Garvin berusaha menenangkan sang kekasih hati walau dia juga tengah kalut saat ini.
“Kita tidak akan baik-baik saja, Garvin,” ucap Kirene penuh penekanan di setiap katanya. “Sudah cukup kita egois, sekarang semua harus kembali seperti awal.”
Garvin menagkup wajah gadis kesayangannya itu. “Kirene, dengarkan saya. Kita akan baik-baik saja, percayakan itu pada saya.”
Kirene terlihat tidak mau membalas ucapan Garvin, dia hanya sibuk menatap wajah tampan itu untuk terakhir kalinya, mungkin.
“Sekarang saya harus pergi, jaga dirimu baik-baik, saya akan datang lagi nanti sore.” Garvin mencium kening Kirene lembut sebelum berjalan keluar dari rumah itu dan kembali ke pusat kota.
Hari itu badai kembali datang, kali ini beserta petir yang menyeramkan. Garvin harus menunda janjinya pada Kirene hingga selesai mengevakuasi para warga ke tempat yang lebih aman.
Tepat saat matahari terbenam, seluruh warga sudah dievakuasi, tapi badai sampai saat ini belum juga selesai. Pikirannya langsung tertuju pada sang kekasih hati, apakah dia baik-baik saja selama badai ini berlangsung?
Tanpa pikir panjang dia langsung bergegas pergi menuju kediaman gadis itu. Selama perjalanan segala doa dia rapalkan untuk sang terkasih agar selalu baik-baik saja.
Tapi nyatanya doanya kali ini tidak didengar tuhan. Bukan sambutan hangat yang dia dapatkan saat sampai di halaman rumah gadis itu, tapi hanyalah puing-puing bangunan yang berserakan di tanah.
Seorang pria bertubuh besar dengan jubah hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya termasuk wajahnya itu mendekat ke arah Garvin. “Apa kamu ingin tau ke mana gadis itu pergi? Gadis itu kini ada di atas sana, menjadi awan dan turun membasahi kota ini. Aku sudah memperingatimu di buku itu tantang dampak kisah cinta kalian.”
Tubuh Garvin jatuh ke tanah, kakinya mendadak lemas. Kirene, gadis itu pergi meninggalkannya. Tangannya terulur ke depan berusaha menangkap setiap air hujan yang jatuh, air itu adalah gadisnya, gadis yang sangat dia cintai.
“Atas nama Dewa dan Dewi, aku mengutukmu agar tidak bisa meninggalkan dunia ini dan akan terus merasakan penyesalanmu selama kamu hidup di dunia,” ucap pria itu lantang lalu menghilang begitu saja.
Garvin menangis, entah menangisi kesedihannya karena kehilangan Kirene atau kesedihannya kare dikutuk memiliki kehidupan abadi. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menyesal dan menangis. “Kirene, mencintaimu sama seperti air, sejuk dan menenangkan, tapi juga berbahaya. Kirene, jika mencintaimu malah membuat saya kehilanganmu, saya akan memilih untuk menyimpan perasaan saya sendiri, menyimpannya jauh di dalam sana hingga tidak ada satupun yang mengetahuinya.”
Setelahnya air danau yang berada di sampingnya mulai meluap dan membanjiri tanah. Dan dengan cepat air yang entah datang dari mana saja itu menenggelamkan bagian utara pulau Ankergia atau lebih tepatnya kota di mana suku Asrey tinggal. Malam itu adalah hari terakhir bagian utara pulau Ankergia terlihat sebelum tenggelam seutuhnya.
Tidak ada satupun warga yang selamat hanya ada Garvin yang sekarat, sesuai dengan kutukan yang pria bertubuh besar itu ucapkan, Garvin tidak akan meninggalkan dunia ini bagaimanapun caranya.
![] (https://i.imgur.com/719kXtj.jpg)