vyn

“Dia, perempuan cantik yang berdiri di balik meja kasir itu namanya Adena.”

Aku mengikuti arah pandangnya menuju meja kasir. Perempuan itu memang cantik. Matanya bulat penuh kasih sayang, dengan bola mata kecoklatan yang nampak indah. Rambutnya panjang sepunggung yang juga berwarna kecoklatan saat terkena cahaya matahari, cantik. Senyumannya manis, bisa membuatku ikut tersenyum saat melihatnya. “Dia blasteran?” tanyaku karena warna bola mata dan rambut perempuan itu tidak seperti kebanyakan orang.

“Iya, blasteran surga.” Orang itu tertawa lebar sembari memperhatikan Adena. Tawanya perlahan berhenti dan berganti menjadi senyuman penuh makna. Dia menoleh padaku kemudian berkata, “Dia cantik ‘kan? Cocok jadi istrimu. Nikahin dia sana.”

Aku mendelik dan langsung menggeleng tak setuju. “Kamu aja yang nikahin dia, aku gak mau. Aku gak kenal dia, apa lagi suka dia,” jawabku jengkel karena orang itu dengan seenak hati menyuruhku menikah.

“Ya karena kamu gak kenal dia makanya sekarang aku kenalin dia ke kamu,” balas orang itu masih berusaha membujukku. “Besok kuajak kamu ketemu orang tuanya, biar kamu kenal dia dari orang tuanya saja.”

Aku menatapnya sinis. “Kenapa gak kamu aja yang nikahin dia? Dia jauh lebih cocok sama kamu dibanding sama aku.”

Orang itu menghela napas berat kemudian memaksakan senyumnya padaku. “Kalau aku bisa pasti aku lakukan. Kalau aku gak bisa ngelakuin itu nanti, tolong lakuin itu untukku, ya.”

“Lakuin apa?” tanyaku bingung, tak mengerti maksud ucapannya barusan. Memangnya kenapa dia tidak bisa melakukan itu sendiri? Memangnya dia mau pergi jauh sampai tidak bisa melakukannya?

“Nikahi dia,” jawab orang itu, “nikahi Adena, Ju.”

Aku terdiam tak tahu harus merespon ucapan orang itu seperti apa. Nada bicaranya yang terdengar putus asa membuatku bimbang.

Beberapa detik kemudian sebuah suara lembut menyapa indera pendengaranku. Perempuan tadi, Adena, tersenyum ke arahku sambil melambaikan tangannya senang. Ah, salah, dia bukan melambaikan tangannya padaku, tapi pada orang yang duduk bersamaku ini.

Tanpa kusadari aku mulai berdoa dalam hati jika orang itu tak bisa melakukannya hingga aku yang harus menikahi Adena. Perempuan cantik pemilik senyum yang membuatku terpukau selama beberapa saat ketika melihatnya.

Sejak saat itu aku tersadar, jika aku jatuh hati padanya.

Dengan langkah terburu dia menelusuri jalan sempit yang minim penerangan itu. Suara genangan air yang terinjak menggema di sepanjang jalan. Tembok besar di sampingnya begitu tinggi dan tak bisa dipanjat. Lumut-lumut yang tumbuh di sana membuatnya jijik dan terus berjalan cepat, berharap segera menemukan jalan raya.

Tapi bukan jalan raya, tetapi persimpangan jalan yang sama sempitnya seperti jalan yang baru saja dia lalui. Satu hal yang dia sesali adalah pergi dari rumah dan berakhir di daerah kumuh seperti ini yang dipenuhi gang sempit yang kotor dan minim penerangan.

Dia berhenti. Menatap tiga jalur lainnya yang belum dia lewati. Ke mana dia harus pergi? Ke kanan, ke kiri, atau malah tetap lurus?

“Kenapa berhenti?”

“Jalan lagi.”

Suara misterius yang entah datang dari mana itu terdengar menyeramkan. Dia meremat kemejanya ketakutan. Keringat dingin bercucuran dari keningnya. Apa dia akan berakhir menyedihkan di sini?

Suara benda yang ditarik terdengar nyaring mengisi kesunyian tempat itu. Disusul suara robekan yang terdengar begitu memekakkan telinga. Tubuh perempuan itu bergetar hebat, ketakutan hingga menangis dalam diam.

“Ayo jalan lagi.”

Perempuan itu mengangkat wajahnya dan memutar tubuhnya ke kanan karena memilih arah itu. Dia tersentak begitu mendapati seorang laki-laki berdiri di samping sepedanya sambil menatap dirinya dengan pandangan yang kosong. Dia bahkan tidak yakin laki-laki itu manusia karena tatapannya begitu kosong.

Dia berusaha menetralkan detak jantungnya dan berbalik, hendak memilih arah lain karena di jalan itu terdapat orang lain, dan dia sedikit takut dengan orang itu. Kali ini perempuan itu memekik tertahan ketika mendapati laki-laki lainnya yang berdiri di jalan itu. Tidak, laki-laki itu tidak menatapnya, tapi menatap ke arah tembok di depan laki-laki itu.

“Ayo jalan lagi! Dia akan menangkapmu!”

Suara misterius itu terdengar lebih menyeramkan dan menuntut dari sebelumnya. Perempuan itu menangis terisak, tubuhnya bergetar hebat sampai akhirnya jatuh ke tanah lembab di bawahnya. Di bawah minimnya penerangan di jalan, perlahan mata perempuan itu tertutup.

Semuanya gelap,

Semakin gelap,

Dan akhirnya benar-benar gelap tanpa adanya cahaya sama sekali.

“Yang namanya Kayla Audina mana?” Pertanyaan dari Pak Hadi barusan membuat seisi kelas sunyi.

Beberapa siswa nampak saling pandang sampai akhirnya Kayla mengangkat tangannya. “Saya, Pak.”

Pak Hadi terlihat marah. Dia menunjuk wajah Kayla. “Kamu menjiplak tugas teman kamu, ya?” tanyanya menyudutkan. “Saya tidak akan menyebutkan siapa nama anak yang kamu jiplak tugasnya, tapi saya harap kamu sadar dengan kesalahan kamu.”

Kayla mengernyit bingung, tidak mengerti maksud Pak Hadi tentang menjiplak tugas temannya. Dia mengerjakan tugasnya sendiri semalam.

“Kamu keluar dari kelas saya. Berdiri di lapangan sampai pelajaran saya selesai di jam sembilan,” perintah Pak Hadi mutlak. “Selesai pelajaran saya langsung temui saya di ruang BK.”

Kayla mengangguk pelan, enggan membantah perintah sang guru. Pak Hadi bukan tipikal guru yang mudah diajak kompromi, dibanding dia harus berdebat dengan sang guru lebih baik dia mengikuti perintahnya terlebih dahulu.

Jauzan dan Ghazi yang melihat Kayla tidak memberi pembelaan hanya menggeram kesal. Mereka yakin Kayla tidak menjiplak tugas milik siapapun.

Jauzan rasa ada yang tidak beres di sini. Apa mungkin Kayla dijebak?

Ghazi menarik tangan Kayla melewati koridor yang masih ramai oleh siswa-siswa yang mengobrol. Beberapa dari mereka bahkan berbisik-bisik sambil menatap aneh mereka berdua. Dia membawa Kayla ke koridor yang berada di paling pojok. Ghazi menatap sekitar, memastikan tempat itu sepi kemudian melepas pegangan tangannya. Dia menatap serius lawan bicaranya itu. Tidak ada wajah konyol yang biasa dia tunjukkan pada Kayla. Hanya ada wajah marah, kesal, dan khawatir di sana.

“Gua cuman makan bareng, Zi.” Kayla tahu ke mana arah pembicaraan mereka ini. Ghazi akan kembali berkata jika dia tidak mau Kayla jauh-jauh darinya. “Tadi gua minta tolong ke dia buat temenin ke kamar mandi, terus baliknya sekalian ke kantin bareng.”

“Tapi–”

“Masa iya gua ngajak lo ke kamar mandi, yang ada malah dipanggil ke BK,” potong Kayla sebelum Ghazi protes lebih lanjut. “Udah gak usah marah-marah, cepet tua yang ada.”

“Gua gak marah tuh.” Ghazi menggeleng padahal dari nada bicaranya saja dapat diketahui jika dia marah.

“Ya udah kalau gak marah senyum dong, jangan cemberut kayak gitu terus,” bujuk Kayla sambil menekan-nekan tangan Ghazi yang diam di samping tubuhnya. “Jangan cemberut gitu, gantengnya jadi hilang. Mending senyum aja, jadi tambah ganteng.”

Perlahan tatapan Ghazi mulai melunak. Dia mengulum senyum kemudian mengalihkan pandangannya. Ghazi menutup mulutnya berusaha menyembunyikan kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas.

“Kenapa?” tanya Kayla bingung. Dia maju selangkah mendekat pada Ghazi kemudian menatap lekat wajah pemuda itu. “Kok lo malah senyum-senyum, sih.”

Ghazi menyerah. Dia tidak bisa menyembunyikan senyumannya lagi. Dibalasnya tatapan Kayla lalu terkekeh. “Nggak apa-apa.”

“Aneh.”

Ghazi kembali terkekeh mendengar cibiran Kayla. Dia menangkup wajah gadis itu kemudian memeluknya, menyembunyikan wajah cantik itu di dalam pelukannya. “Jangan lucu-lucu dong, aku jadi gemes.”

“Lagian siapa suruh marah-marah terus. Kamu pikir aku bisa langsung jauhin dia? Ya nggak lah. Nanti dia curiga kalau aku langsung jauhin dia,” jawab gadis itu teredam pelukan Ghazi.

Ghazi memekik tertahan. Dia mencium puncak kepala Kayla berkali-kali. “Pokoknya nanti pulang sekolah harus sama aku. Gak mau tahu pokoknya harus.”

Kayla mengangkat wajahnya dan menatap Ghazi yang masih asyik tersenyum. “Iya-iya, Ghazi. Nanti kita pulang bareng.”

Ghazi mendekatkan wajahnya pada Kayla hendak mencium kening gadis itu sampai ekor matanya menatap pintu ruang loker yang berada di dekat sana terbuka. Dengan cepat dia mendorong tubuh Kayla dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Rasya, orang yang baru saja keluar dari ruang loker itu menatap kedua temannya bergantian. “Lo berdua ngapain di sini?”

“Halo Rasya.”

Rasya menutup pintu lokernya dengan kasar kemudian menatap tajam sosok yang baru saja menyapanya. Itu Jihan.

“Tatapannya tajam banget, sih. Jadi takut deh,” ledek Jihan diakhiri tawa renyah. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. “Gua penasaran deh kenapa lo mau temenan sama Kayla. Apa bagusnya dia, sih?”

Rasya memutar matanya malas lalu berbalik dan berjalan meninggalkan ruang loker.

“Atau lo temenan sama Kayla cuman karena tugasnya?” tebak Jihan.

Rasya sontak berbalik dan kembali menatap tajam Jihan yang tersenyum miring dibelakangnya.

Jihan pura-pura menutup mulutnya seolah terkejut. “Oh! Bener ternyata.”

Rasya menghela napas kemudian berjalan mendekat ke arah Jihan. “Tutup mulut lo atau gua buat pita suara lo gak berfungsi lagi selamanya,” ancamnya dengan suara rendah.

Rasya menarik sudut bibirnya membentuk senyuman manis kemudian menepuk bahu Jihan. “Jangan lupa balik ke kelas karena sebentar lagi bel.”

Rasya berbalik dan berjalan pergi sambil melambaikan tangannya pada Jihan yang berdiri kaku di sana. Perubahan kepribadian Rasya menakutinya.

“Kamu lagi ada masalah, Kay?” Mama yang duduk di meja makan tiba-tiba bertanya saat melihat Kayla membuka kulkas untuk mengambil minum. “Kemarin malam Mama dengar kamu nangis. Ada masalah di sekolah?”

Kayla sontak menghentikan kegiatannya. Meneguk ludah gugup karena bingung harus menjawab pertanyaan mama seperti apa. Mana berani dia mengatakan jika sedang bertengkar dengan teman-temannya.

“Biasa lah, Ma. Kayla suka lebay kalau nonton dramanya.” Kak Abrar tiba-tiba menyahut. Dia berjalan ke meja makan dan duduk di samping Mama. “Udah biasa dia kayak gitu, suka nangis gak jelas karena drama. Mama gak usah khawatir.”

Kayla diam-diam menghela napas lega. Jawaban Kak Abrar yang seratus persen bohong itu berhasil menyelamatkannya.

Kak Abrar melirik Kayla yang masih membuka pintu kulkas dan tak ada tanda ingin menutup pintunya. “Lo gak mau nutup pintu kulkasnya?” tanyanya membuyarkan lamunan Kayla.

“Eh, iya.” Kayla dengan kikuk menutup pintu kulkas dan melupakan tujuan awalnya untuk mengambil minum.

“Kamu beneran nangis karena drama, Kay?” tanya Mama memastikan. Tidak percaya seratus persen dengan jawaban Kak Abrar.

“Iya, Ma. Aku nangisin drama yang kemarin aku tonton, ceritanya sedih banget soalnya.” Kayla tersenyum mencoba membuat jawabannya tak terlihat bohong.

Mama akhirnya mengangguk. Memutuskan untuk benar-benar percaya dengan jawaban kedua anaknya.

“Kenapa nangis?” Kak Abrar duduk di pinggir kasur Kayla. Matanya bergerak menatap seisi kamar adiknya itu.

“Gak usah nanya-nanya! Kita gak kenal,” sewot Kayla dengan suara tak jelas karena menangis.

Kak Abrar tersenyum kecil kemudian mengusap kepala Kayla dari atas selimut. “Siapa yang buat adik Kak Abrar nangis kayak gini?”

“Dibilangin gak usah nanya-nanya! Kita tuh gak kenal, ya!”

“Lo emang salah, Kay. Wajar kalau mereka marah sama lo.” balas Kak Abrar masih sambil mengusap kepala adiknya. “Malah harusnya gua juga ikut marah sama lo, tapi kalau gua ikut marah sekarang nanti lo malah berpikir gak ada yang sayang lo.”

Kak Abrar melirik Kayla yang mulai berhenti menangis kemudian menghela napas perlahan. “Kalau salah itu, ya diterima aja. Toh, lo emang salah 'kan karena udah gak ngabarin semua orang kalau lo mau pergi sama teman baru lo itu.”

“Kalau lo lupa, ada Ghazi yang harus pulang telat karena nyari lo. Sebagai orang yang dipercayain buat pulang-pergi sama lo, dia merasa lo itu tanggung jawabnya. Kalau dipikir-pikir, dia malah bisa aja langsung pulang dan bodo amat sama lo yang gak ada di depan sekolah. Tapi dia milih buat nyari lo dulu baru pulang.”

Kayla membuka sedikit selimutnya dan menatap Kak Abrar yang duduk di sampingnya.

“Kalau dilihat-lihat, masalah utamanya itu karena temen baru lo, ya.”

Kayla hendak protes, tapi Kak Abrar kembali melanjutkan ucapannya.

“Gua pribadi setuju sama teman-teman lo. Teman baru lo ini bawa dampak buruk buat lo.”

“Tapi dia baik kok sama gua.” Kayla akhirnya membalas. Dia bangun dan duduk dengan benar di kasur. “Jihan baik kok sama gua. Lo percaya 'kan, Kak?”

Kak Abrar mengangguk kecil. “Iya, gua percaya.”

“Tapi gua gak melihat dan ngalamin secara langsung gimana baiknya teman lo itu,” lanjutnya membuat Kayla mengernyit bingung.

“Lo tuh cuman anak kecil naif yang gak bisa bedain mana beneran baik sama yang cuman pura-pura, Kayla.” Kak Abrar menatap serius adiknya itu. “Kalau Kak Abrar minta kamu jauhin teman baru kamu itu... kamu bisa?”

Kayla menenteng kantong plastik berisi nasi gorengnya sambil tersenyum lebar. Dia sudah tidak sabar untuk memakan makanannya saat sampai di rumah.

Gadis itu berjalan menuju sepedanya yang terparkir tidak jauh dari tempat penjual nasi goreng. Matanya tidak sengaja melihat seorang pemuda aneh yang tengah berjongkok di samping sepedanya. Pemuda itu tengah berbicara entah pada siapa. “Itu orang stres atau gimana dah?” tanyanya dalam hati.

Kayla mengabaikan rasa bingungnya dan kembali pada tujuan utamanya, yaitu mengambil sepedanya lalu pulang.

Baru saja gadis itu menggantung kantong plastik berisi makanan itu di sepeda, pemuda aneh yang berjongkok di samping sepedanya itu tiba-tiba tiba terjungkal ke belakang, yang di mana di belakang pemuda itu terdapat parit yang tidak ditutup.

Kayla yang bingung hanya bisa mengerjapkan matanya seraya mencoba mencerna kejadian ini. Dia menepuk pipinya pelan ketika indera pendengarannya menangkap suara pemuda itu yang merintih kesakitan. Kemudian dia mengulurkan tangannya untuk membantu pemuda itu keluar dari parit. Untung saja tangan pemuda itu tidak terkena air kotor yang berada di parit.

“Lain kali jangan jongkok di deket parit, Mas,” tukas Kayla memperingati pemuda itu. “Lagian Mas-nya ngapain sih jongkok di deket parit begitu. Jatoh kan.”

Pemuda itu tertawa konyol sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Saya lagi ngobrol sama jentik-jentik di parit, Mbak. Kasihan mereka kesepian.”

Kini Kayla yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengajak bicara jentik-jentik? Katanya jentik-jentik itu kesepian? Yang benar saja. Kayla tersenyum kikuk lalu berpamitan pada pemuda itu karena dia harus segera pulang untuk memberikan pesanan milik Kak Abrar.

“Orang-orang hari ini pada kenapa sih?” monolognya saat mulai mengayuh sepedanya menjauh dari tempat tadi.

Kayla menendang kecil batu yang berada di dekat kakinya. Ini sudah hampir 45 menit dia berdiri di depan sekolah karena katanya Kak Abrar akan menjemputnya.

“Dia tuh niat jemput gak sih? Tau gini mending gua pulang sama Ghazi aja,” gerutu Kayla kesal.

Kayla melirik beberapa pemuda yang keluar gerbang seraya mengobrol. Salah satu dari para pemuda itu berpamitan lalu berjalan menuju arahnya sembari memainkan ponselnya.

“Bisa-bisanya dia jalan sambil main handphone, gak takut keserempet mobil kali ya?” gumam gadis itu masih sambil memperhatikan si pemuda.

Dan tepat sekali saat pemuda itu berada beberapa langkah darinya, sebuah mobil melaju cepat dan hampir menabraknya.

Dengan sigap Kayla menarik pemuda itu agar menjauh dari pinggir jalan. “Lain kali jangan main handphone sambil jalan,” omelnya begitu saja.

Pemuda itu mengerjapkan matanya, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Matanya menatap mobil berwarna abu-abu yang melaju cepat. Ah, dia baru saja hampir keserempet mobil.

“Iya maaf, lain kali gak diulangi lagi,” balas pemuda itu dengan suara pelan. Jika tidak ada gadis ini sudah dipastikan dia akan berbaring di ranjang rumah sakit. “Terima kasih, ya.”

“Iya, sama-sama. Jangan jalan sambil main handphone, lo bisa aja ketabrak kayak tadi.” Peringat Kayla. Dia langsung menoleh kala mendengar suara klakson mobil. Kakaknya sudah tiba. “Gua udah dijemput, duluan ya,” pamitnya lalu berlari menuju mobil Kak Abrar.

Kayla berjalan santai menelusuri koridor sekolah. Jangan tanya kenapa dia malah berjalan dengan santai padahal bel pelajaran pertama sudah berbunyi lima menit lalu.

Kayla menghentikan langkahnya ketika namanya dipanggil oleh Bu Martha, wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Dia berjalan mendekati sang guru lalu mencium tangannya. “Ada apa ya, Bu?”

“Bisa tolong panggilkan Pak Budi di depan gerbang sekolah? Bilang kalau sudah ditunggu di ruang rapat sekarang,” ujar Bu Martha seraya menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah. “Kalau gitu Ibu tinggal, ya. Sudah ditunggu kepala sekolah. Terima kasih ya, Kayla.”

“Iya Bu, sama-sama.” Kayla mengangguk mengerti dengan perintah dari Bu Martha. Lalu mulai berjalan menuju gerbang sekolah. Langkahnya semakin pelan kala dia sampai di dekat gerbang. Pak Budi sedang memarahi anak-anak yang telat.

Kayla menarik napas dalam sebelum memberanikan diri memotong acara marah-marah sang guru. “Maaf Pak Budi, bapak ditunggu Bu Martha di ruang rapat sekarang, Pak,” ucapnya dengan sedikit takut.

Pak Budi menepuk keningnya, sepertinya dia lupa jika ada rapat pagi ini. “Terima kasih sudah mengingatkan saya, Kayla. Saya lupa hari ini ada rapat.” Dia menatap beberapa siswa yang hari ini datang terlambat. “Kalian kembali ke kelas saja, saya harus rapat.”